Rabu, 03 Desember 2014

Lelaki Kecil

Kau pernah bertanya mengenai apa itu hidup. Kau juga sering bertanya mengapa kita harus bahagia. Pun tak hentinya kau bertanya mengapa kita ada.

Pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya akan kau temukan sendiri nanti. Seiring kaki-kakimu beranjak besar dan kuat. Selama kau mampu terus berjuang dan menaklukkan hidup.

Lelaki kecil, tengoklah pesawat kertas yang baru saja kubuatkan untukmu. Sesederhana itu aku mengajarimu bahagia. Taruhlah cita-citamu dan terbangkan. Angin dingin di musim ini akan membawanya jauh dan kelak kau akan menggapainya tepat saat semua usahamu diaminkan Tuhan. Maka, jangan pernah lupa berdoa.

Lelaki kecil, bermain-main dan bergembiralah. Sepuas kau mau. Bahkan kau boleh menggelitik matahari dan memantul-mantulkan bulan seperti bola basket untuk menemani hari-harimu. Atau saat kau menungguku pulang dan memelukmu.

Matamu akan menjadi langit. Masa depanmu seluas itu. Pesawat yang kau terbangkan tadi akan terus di sana. Sekali waktu, langit akan hujan. Demikianlah musim. Bukannya ingin mempermainkanmu, sungguh kau akan dikuatkan.

Kaulah itu, lelaki kecil yang sejak dipertemukan denganku telah menjadi pelindung bagi kakiku yang butuh sepatu.

Teruntuk lelaki kecilku, Gavrel Marshall.

(Pesawatku - Memes/ lagu dedikasi/ #Puisi7Lagu)

Senin, 01 Desember 2014

Bukan Hanya

Ini bukan hanya perjalanan sepanjang lorong, dari pintu menuju altar. Tetapi masing-masing sisa usia kita akan dihabiskan di sana. Selepas janji dan sepasang cincin nyaman tinggal di jari manis kita.

Ini bukan hanya kata-kata terucap dari bibir. Bukan kalimat yang tertulis di buku saja dan siapapun bisa mengucapkannya. Tetapi ini hidup kita yang pada akhirnya telah ditetapkan Tuhan sebagai takdir.

Ini bukan hanya sepasang cincin emas atau berlian bermata dua. Tetapi hidup kita yang ditautkan pada kebahagiaan. Hidupku dan hidupmu, melingkar pada satu realita; kita.

Ini bukan hanya foto-foto yang dipajang selama pesta. Ini gambaran-gambaran di mana cinta bukan sekadar rekayasa, melainkan bahagia seada-adanya.

Dan Tuhan, ini bukan hanya sekadar puisi.

(Marry Me - Train / wedding song / #Puisi7Lagu)

Arah Pulang

Yang akhirnya kutemukan selepas panjang perjalanan. Yang melabuhkan perahu di dermaga. Yang memekarkan kuncup-kuncup bunga. Yang menetapkan tujuan dan arah pulang.

Tak lagi harus aku melihat kompas. Tak juga melulu aku melongok peta. Tidak lagi aku tersesat.

Pada akhirnya aku menyadari, aku telah pergi dari rumah ibuku dan telah akan pulang menuju ibu anak-anak detakku. Tidak kubawa bekal, selain ingatan tentang pelukan dan doa-doa tulus ibu. Aku telah menyimpannya sepanjang perjalanan di dada dan akan kubuka waktu kutemukan rumah itu. Bersamamu.

Lalu aku menuliskannya di sini. Sebab sungguh, mencintai dan memilikimu adalah catatan yang harus dibaca kelak oleh anak cucu kita. Cerita sederhana atau sajak-sajak dengan kata-kata mudah dieja.

Dan pada senja yang mengaltarkan kita, cinta jadi satu-satunya janji paling abadi di atas kitab suci. Aku memohonkanmu kepada Tuhan, supaya aku dipulangkan kepada pelukanmu. Sebelum pada akhirnya perjalananku selesai dan tak bisa lagi bermain dengan anak-anak di halaman belakang rumah.

Ini aku, dengan kamu sebagai arah pulang.

(Beautiful in White - Shane Filan / bebas / #Puisi7Lagu)

Minggu, 30 November 2014

Terjebak

Akan tidak lagi kutemukan matahari terbit dari matamu. Hari kian panjang dan cahaya terhimpit di antara waktu dan ketiadaanmu. Jarum jam makin payah detikannya. Aku terjebak di sini.

Memandangi ranjang yang masih fasih bau-bau tubuhmu. Sedu sedan ingatan atas apa yang tertinggal. Di ruang ini aku punya semua, tapi tak memiliki apa-apa. Aku kehilangan. Aku hilang. aku terjebak di sini.

Akan ku apakan semua pernah? Hanya piring-piring bekas makanku tadi malam  yang akan kucuci, tapi air telah habis jadi airmataku pagi ini. Mana ada sungai, sedang gunung-gunung telah selesai mengirim mengirim arus. Aku terjebak di sini.

Untuk ke berapa kali aku harus kehilangan? Sementara aku sudah tak punya apa-apa dan milikku satu tertinggal di patahan yang kamu.

(Untitled - Simple Plan / Patah Hati / #Puisi7Lagu)

Sabtu, 29 November 2014

Jarak

Kita tidak hidup di jalan. Tapi kerikil, aspal dan trotoar fasih dengan telapak kaki kita. Begitu juga para pengemis di beberapa persimpangan yang hapal benar kapan aku atau kamu bergantian bertandang, dan mereka begitu gembira kita lewat di sana.

Aku pikir inilah waktu di mana kita tak pernah lelah berangkat atau menunggu. Waktu di mana perihal kau pulang adalah debarku, dan waktu di mana perihal kau pergi lagi (meski berkali-kali) adalah doa-doa yang semakin meneguhkan doaku. Dan kangen yang jatuh setelahnya bukanlah pisau yang akan sanggup membunuh aku.

Ada beberapa kegelisahan yang mungkin tak kamu tahu. Kegelisahan yang menemani tidurku sampai kamu kembali lagi. Kegelisahan yang panjangnya lebih dari waktu tungguku atau tempuhanmu kepadaku. Tapi kuharap, kegelisahan ini tak ikut ke kotamu dan menemani hari-harimu. Sungguh rasanya tak mengenakkan, seperti aku harus menelan brokoli yang ibu beli dari pasar pagi tadi.

Di antara jauh yang harus kita tempuh, kita sering menertawakan kangen yang begitu bayi, sebab selalu merengek minta peluk. Atau mengelus dada, waktu kangen merajuk dan meminum asin airmatanya sendiri.

Maka satu-satunya cara, kamu dan aku harus terus saling menghidupi dengan doa-doa dan tak pernah berhenti cuma di sana, sampai jarakmu dan jarakku tinggal satu spasi denyut nadi.

(Hey There Delilah - Plain White T's / LDR / #Puisi7Lagu)

Kamis, 27 November 2014

Sebatas

Yang menyala di mataku. Yang mengalir di tubuhku. Yang menjadi akar di pohon-pohon napasku. Yang menjatuhkan seluruhku.

Tanah basah dan bebatuan pecah yang lepas menangkap aku. Padahal di tubuhnya terpancang jaring-jaring. Aku jatuh di atas tanah dengan harapan bertumpuk-tumpuk. Kau mengambil hujan sambil tersenyum dan memerciki wajahku. Bermain-main.

Tanganku bisa merengkuh tubuhmu. Kecupku sampai di dahimu. Aku merasakan hangat dari dadamu yang detak. Pipimu yang basah sering kutegur dengan usap tanganku. Pun lengkung senyummu melegakan dada dan mendebarkan jantungku.

Tapi bisik sunyi menyerupai angin mendesau lain. Dingin yang lebih runcing dari pucuk es batu. Siapa yang akan memecahkan itu? Bahkan kuku-kukuku telah patah dan mati kugigiti sendiri.

Ini harapanku begitu luas, sehampar gurun. Sedang tanganmu hanya sebatas telapak.

(dari lagu It Hurts - Angels Airwaves/ friendzone/ #Puisi7Lagu)

Di Sebuah Rumah

Akhirnya aku tiba di sebuah rumah.
Halamannya luas ditanami bunga warna-warni. Rumah bercat putih dan berpagar tinggi. Ada pula teras -- kubayangkan ada sepasang tua menghabiskan sisa usianya sambil tertawa, rambut penuh uban juga penuh kenangan yang terus saja disimpan -- kita.

Akhirnya aku tiba di sebuah rumah.
Rumah berpintu cokelat tua besar tanpa bel. Aku harus mengetuk untuk masuk. Mengenal penghuninya dan bertamu.

Akhirnya aku tiba di sebuah rumah.
Rumah yang dihuni seseorang. Berbulumata lentik dan mata yang rahasia. Mungkin ia dilahirkan oleh kebahagiaan. Di tiap kedipnya aku melihat anak-anak ikan dilepas bebas ke laut, disambut ombak yang derunya menyanyikan kabar damai berirama napas.

Akhirnya aku tiba di sebuah rumah.
Atapnya meneduhkan, terik matahari dan deras hujan geming. Cuma ada hangat dan lembut, seperti ibu memeluk bayinya di dada.
Dinding-dinding adalah bahu juga suara yang sanggup menopang dan menenangkan.

Akhirnya aku tiba di sebuah rumah.
Dan aku ingin tinggal.

(dari lagu Terpukau - Astrid / #Puisi7Lagu / jatuh cinta)

Minggu, 16 November 2014

Biar Saja Putih dan Bersih Sekali

Kau telah membangun dinding. Mengecatnya dengan cat warna putih, lebih putih dari kulit tubuhmu. Tapi juga tak putih pucat seperti wajahku, waktu kau meninggalkan aku.

Aku ragu menuliskan sesuatu di sana. Bahkan takut, walau hanya sekadar mencoret. Bagaimana jika aku ingin menancapkan paku, jika aku mau menggantung lukisan yang seminggu lalu kubeli? Aku tak ingin melukaimu.

Tak ada.
Lalu tak ada yang tertulis. Biar saja putih dan bersih sekali.

Sampai-sampai bayangan yang jatuh dari tubuhku limpung. Dan ini pertama kalinya, cahaya tabah tak membiaskan apa-apa. Biar saja putih dan bersih sekali.

Dinding itu, adalah hatimu. Berisi kesucian. Biar saja putih dan bersih sekali.

(#duetpuisi - untuk @duetpuisi)

Kamis, 13 November 2014

Hujan di Atas Kepala

Abu-abu yang membentang jauh di langit sana telah bergulung-gulung. Tinggal menunggu kau sentuh dengan jemarimu, lalu hujan.

Rambut-rambutku akan jadi atap. Akan menjadi yang pertama menangkap segala jatuh-jatuhan hujan. Dan menyimpan semua derasan di dalam kepala, menyembunyikan segala ramai atas bulir-bulir dari atas sana. Kepalaku jadi pasar malam pada hari pertama buka. Riuh sekali.

Ini bukan lagi tik-tik-tik. Bukan hanya sekadar rintik, bukan kedip matamu yang lentik. Bukan itu.

Hujan betapa deras, sungguh telah membuahi kepala. Bahwa sebentar saja akan melahirkan anak-anak ingatan sepanjang kenangan telah berjalan.

Sementara, atap yang kupasang tak lagi sanggup meredam. Meski akan memuntahkanmu lebih lambat.

(@duetpuisi - #cerau)

Senin, 10 November 2014

Bunyi-Bunyi Suaramu

Suara sehening apa pun akan mampu mencabik-cabik daun telingaku yang tertutup rambut. Atau sekadar bisikan yang membangunkan seluruh ingatan, seperti pagi.

Rupanya aku mengenal satu suara--yang hangat melebihi selimut tapi tidak pelukan. Aku pikir, suara itu adalah bebunyian pesan dari bibir yang meniupkan harmonika. Nada-nadanya lahir jadi tangisan bayi yang menggemaskan.

Aku sendiri tak mampu menirukannya.

Tapi semakin sering aku mendengarnya, menaruhnya di daun telinga, semakin pula aku asing oleh nadanya.

Tapi itulah suaramu, bunyi-bunyi dari pita suara yang ditelan gendang telingaku sepanjang hari. Dan aku tak pernah bisa membenci ketenangan yang sukar kuterjemahkan ini.

(@duetpuisi - #eufoni)

Sabtu, 08 November 2014

Musim Semi di Kepala

Kita sedang duduk sambil memantau mendung. Apakah hujan akan jatuh, sedang di kepala kita masing-masing telah bermula musim semi?

Tak ada yang bergetar dari langit. Sama sekali. Bahkan, tak ada satu nadapun gemuruh tiba.

Daun-daun tumbuh di dalam ingatan. Dan mata kita jadi taman yang banyak dikunjungi keluarga untuk bermain dengan tawa-tawa.

Tetapi langit masih saja mendung. Musim di luar dan musim di kepala kita hidup di pisah benteng.

Sungguh kita adalah tunas-tunas daun yang haus matahari. Ada begitu banyak harapan; aku yang kamu dan kamu yang aku.

Maka, kepada kepala kita masing-masing yang menyimpan musim semi, semoga tak ada musim lain yang tega menggunduli. Perihal waktu, biarkan semuanya silih berganti dan menuntun usia untuk terus memanjang dan menunggu.

(@duetpuisi -  #musim)

Kamis, 06 November 2014

Sesungguhnya engkau

Ranting-rantingnya basah mandi hujan paling bening
air dari langit, hambar bukan asin

Daun-daunnya adalah rambut
lebat seperti hutan yang sekalipun tak pernah disambangi penebang
dan sanggup menyembunyikan berbagai kalut dalam kepala

Buah-buahnya ranum
siap dipetik
bukti panen dari semua musim ketabahan

Satu dua kuntum bunga tersisa
tinggal di pucuk dengan warna sejuk

Ia tumbuh di atas tanah
pernah mengubur kesedihan
yang menjadikan akar-akarnya menyusu pada dingin dan kesendirian
sabar

Maka,
engkaulah pohon
mahir memulangkan segala tubuh yang butuh teduh

(@duetpuisi - #alam)

Sabtu, 02 Agustus 2014

Tak Ada

Jam dinding berdenyut, mendengar sendu angin oleh malam.
Tak ada suara melebihi lukaku.
Tangis kaku atas sisa-sisa mati waktu.
Bintang bulan bersenggama.
Kita tak ada.
Ini malam lebih sakit dari jerit.
Kujahit satu persatu nganga dalam dadamu.
Biar nanti tiada lagi rindu menyaru-nyaru.

Kita tak ada.
Bahkan di kota yang tenang doa-doa.

Rabu, 14 Mei 2014

sakitmu sakitku

suatu ketika kau datang kepadaku seperti hujan deras yang tiba-tiba. tanpa mengetuk sambil menjinjing gigil berdiri sendirian di depan pintu. masuk dan duduk di ruang tamu yang masih menyimpan baumu setahun lalu.

kau bercerita, kau kesepian. sakit.

apa aku harus ikut sakit juga? sedangkan sakitku sudah ada sejak kamu pergi waktu itu. sakit yang telah berdansa di lantai waktu. juga sakit karena mabuk kehilanganmu. apa aku harus sakit lagi?

(aku sudah kehabisan es untuk mengompres dahiku. lalu akan kupakai apa untuk bisa mengompres dahimu dan dahiku lagi? oh ya, kumpulkan gigilmu saja, nanti biar kubungkus saputangan)

dengan sakitmu kau berhasil sampai ke rumahku. kau tak lagi lupa jalan. ruang tamu ini akan merawat tubuhmu, sama ketika ruang ini merawat ketiadaanmu dengan sepi dan bau khas yang tak mampu dihindari penciumanku.

kau sembuh, dan aku tetap saja sakit yang tak kau buat jenuh.



~ teras atas, 14 mei 2014

Sabtu, 03 Mei 2014

yang pernah

ini tubuh yang pernah kau singgahi peluh
ini mata yang jadi saksi kau pernah ada
ini tangan yang pernah bertaut hangat genggaman
ini bibir yang pernah kau pagut meski getir
ini kaki yang pernah berjalan beriring berhari-hari
ini telinga yang pernah di isi suara yang kau punya
ini hidung yang pernah menciumi baumu sampai melambung
ini dada yang pernah kau rebahi kepala
ini lengan yang pernah jadi rumah oleh sebuah pelukan
ini jiwa yang pernah kau buat jadi gila

~ teras atas, 04 mei 2014 - 00:18

Minggu, 27 April 2014

perihal yang akan kau baca

ini sajak terakhir di tubuh ketiga pertemuan. sebagaimana kertas telah diadu tinta berwarna sisa, ia menyimpan rindu dan rasa sebanyak yang aku bisa. satu lagi pertemuan yang ke tiga.

lalu tentang berbagai perihal yang kau lempar -- potongan-potongan sajak sudah kujejal. kusampaikan salam kepada kau yang telah menggali tanah ini jadi laut tempat ranting-ranting tentang perihal yang kuhanyutkan berkumpul.

kau bukan belibis yang menunggu tebing-tebing batu. kau sedang membasuh waktu jadi musim panen sajak-sajak. dan aku akar kayu tua yang hampir sama dengan ranting yang hanyut ke sungai; demikian tegas menuliskan perihal hati dengan sungguh tegas.

sajak ini, kutulis dan kukirim untukmu, sebab jabat tangan belum tersampaikan jarak. bacalah dan kau akan mendengar ucap terima kasih dariku melalui angin setelah kata terakhir ini.

untuk @aa_muizz dan @acturindra atas #PuisiHore-nya

Minggu, 20 April 2014

empat elemen kesedihan

Mula-mula aku membakar daun-daun yang jatuh di kepala, supaya ada satu cahaya tiba dari kobar paling ingatan.  Kau, seseorang, yang pernah lupa karena ingkar janji atas api, yang meredam sendiri bara atas masa lalunya.
Setiap ada percik selepas pantik, di kepalaku telah hangus anak-anak rambut.

Dan kau, bisa jadi asin air yang jatuh sebagai hujan, membasahi bukit pipiku setelah selesai pembakaran. Aku sedang mengambil caping, akan kupanen garam dari kumpulan airmataku sendiri; hujan di musim kesedihan yang telah kau ciptakan. Aku jadi petani sukses dari banjir kehilangan.

Kemudian aku akan memulangkan tubuhku yang dipendam garam ini kepada tanah. Kukembalikan seluruh kesedihanku kepada apa yang dahulu telah diambilkan untuk satu hidupku. Tanah atas nama rahim ibuku. Tidak ada yang perlu menggali karena api dan hujan telah menggemburkannya.

Maka takkan kudapati udara. Takkan kumiliki lagi napas, dan sesak dadaku paripurna. Helaanmu akan mencatat semuanya dengan huruf-huruf yang telah diajari untuk kebal pada sakit hati. Sementara aku telah sembuh dan takkan lagi mencampuri paru-parumu dengan bau masa lalu.

~ teras atas, 20 april 2014

Kamis, 17 April 2014

Berkali-kali

Siapa yang membawa mata ke tubuh berjauh-jauh. Ada dua atau lebih wajah berlapis pandang kesedihan. Kau tahu akupun tak tahu. Kesedihan itu turut ke mataku dan oleh sebabnya satu demi satu ada yang tiba-tiba saja berjatuhan seperti serpih kayu. Pedih.

Dan garis-garis yang tembus di permukaan merayu sepi untuk tegas seperti garis wajahmu.

Siapa yang menyaji gambar bila kesedihan-kesedihan itu tak berkesudahan. Wajahmu sekali lagi menipu dan kehilangan sudah memburu.

Sekali lagi.

Aku mengharapkanmu tak hanya mata yang memandang berkali-kali, atau kesedihan itu takkan berhenti sama sekali.

Minggu, 13 April 2014

tercatat malam ini

dalam lampu yang telah kupadamkan, tanpa kantuk menyetubuhi malam, maka tak ada lagi kolam selain diriku sendiri yang bisa kurenangi. tak ada lain, selain bertekur menghadap langit yang langit-langit; semuanya diam, kecuali kepalaku dan beberapa penyesalan.

mengapa melulu gelap benar-benar kehilangan ucap? saat lampu suar yang tak membacakan apa-apa menampar pipiku lebih dulu daripada langkah yang jauh akan sudah. aku sampai di sini, adakah yang memiliki arti?

tapi kelahiran telah tercatat, sebagaimana akhirnya aku ada.

dari mata yang tak mampu menangkap apa-apa selain gelap di kamar ini, seribu lebih makna coba kupanen. tuhan yang maha, bagi-mu aku ada. maka pada malam ini dosa-dosa yang menjelma ular telah kumakamkan.

Minggu, 06 April 2014

BAYI

Biarkan aku merawat, seperti pengasuh yang dibayar untuk mengganti popok anak-anakmu.

Atau memandikannya, padahal tanganmu masih sanggup mengangkat gayung dan membalur tubuh lembut berbau surga. Kau juga bisa menatap matanya -- sama waktu pertama kali kau jatuh cinta. Ada begitu banyak rahasia dan kau memilikinya.

Yang akan kubedaki, meski wangi masih lekat sebasah apapun keringat. Ia takkan berbicara apa-apa, selain tangis yang ia pelajari dari ibunya; ketika bersedih karena disakiti laki-laki, atau kecewa angan-angannya lebih tinggi dari langit lalu jatuh terhempas.

Itulah tubuh yang akan kurawat. Sebab di dalamnya telah kutanam berbagai macam mimpi.



~ teras atas, 06 april 2014

Rabu, 02 April 2014

mengingat kami

Kami tak menyebut diri sebagai pahlawan. Suara kami berasal dari rengekan anak-anak yang meminta susu dan baju baru. Kami orang-orang yang nasibnya lebih sering terapung dan hanyut menabrak-nabrak pinggiran sungai kotor penuh sampah dari tangan-tangan wakil kami.

Hidup jauh dari tubuh yang darahnya sama mengalir di tubuh kami adalah ketakutan yang menjadi ketaatan. Melangkah ke luar rumah dan masuk rumah lain yang tanahnya tak segembur tanah ladang di kampung. Kalian akan menemukan kami tersebar di seluruh bumi. Hidup dihajar nasib.

Kadang kami beruntung, tapi sering juga menunggu mati di tiang gantung. Saudara-saudara kami jauh takkan sanggup menempuh. Cuma doa-doa kalian yang jadi tangan pemeluk tubuh tanpa daya hukum.

Semoga tidak lagi ada tubuh gemetar meringkuk dengan bekas tampar, atau di sudut ruang basah penjara terkapar.

Pemimpin kami yang baik budi, kami masih ada jika kau sedikit lupa. Tolong kami dari nasib dingin, jangan cuma prihatin.

Kami tak menyebut diri sebagai pahlawan.


~ teras atas, 03 april 2014 #menolaklupa #PuisiHore3

Rabu, 26 Maret 2014

kau

Kau secangkir kopi panas hitam pekat di meja kerjaku. Mengepul sejak pagi sampai sore atau senja hidup dari pekat panas yang kutuang lagi.

Kau alir sungai yang dijatuhi daun-daun kuning guguran dari pohon di tepian. Meramaikan riak dan dingin batu-batu keras yang entah pada hujan ke berapa akan pecah dan terbelah.

Kau buah apel. Baru saja dipetik dari kebun ayahku. Menumpuk berton-ton dan menyembunyikan para petani dari kelelahan merawatmu. Kegembiraan dari tetesan keringat yang menjagamu. Laba.

Kau kata-kata yang pada akhirnya kutulis dari diam kepalaku. Jari-jariku menjadi penurut seperti orang-orang yang dibayar lima puluh ribu rupiah untuk ikut meramaikan kampanye di lapangan-lapangan.

Kau.

~ teras atas, 26 maret 2014

Kamis, 13 Maret 2014

Dari Tepi Danau

Aku mendengar kecipak di danau sana
Angsa-angsa berenang dari tepi ke tengah
Aku penasaran dan menerka mengenainya

"Adakah mereka tak khawatir jika tenggelam
sedang danau begitu dalam dan hening
pun sayap-sayap mereka terlalu lembut bulunya."

Aku masih menyaksikannya dari kejauhan
Dari tepi berlawanan sisi
Lalu mengingatmu

Kau begitu cemas akan waktu
Berhari-hari denganku hanya berkubang di masa lalu
Mungkin aku harus mengajari ingatanmu berenang
Sebab seluruh tubuhmu akan terbenam
Hanya kecemasanmu yang mengapung, seperti lembut bulu-bulu angsa

Maka aku menyobek selembar kertas dan kujadikan perahu
Menemani angsa-angsa berenang
Menampungmu sebelum tenggelam


~ teras atas, 14 maret 2014

Rabu, 12 Maret 2014

Penampung Bias Cahaya

Siapa yang menampung malam, saat di matamu telah penuh seribu bias cahaya bulan?

Rindu yang telah kita tahbiskan itu, kerap menggelar pesta di teras atas. Mengundang ribuan angin dan empat helai gugur daun.
Puan, pada bunyi tik-tik di arloji tangan kirimu semuanya diam.
Juga pada kenyataan yang menyebutkan kau tak lagi milikku, puisi menyimpan luka di bait-baitnya.

Kita masing-masing menunggu dalam spasi di tiap tulisan; jeda antara perbincangan yang kian enggan diteruskan.
Kita entah siapa kita.

Bulan yang bias cahayanya kau tampung di matamu, telah mengakali waktu dan mengasingkan kesedihanku.
Kesedihan-kesedihan yang perlahan mengubah dirinya menjadi pilar. Terpancang kuat di dadaku - dadamu, sebagai jembatan penghubung masa lalu.

Oh, puisi ini takkan terbaca.
Kau mata yang hanya menampung bias cahaya.
dan aku buta.


~ teras atas, 13 Maret 2014

Minggu, 02 Maret 2014

Terima Kasih

Selamat sore, Kak Chicko a.k.a @gembrit

Ini hari ke tiga puluh saya menulis surat. Hari terakhir Anda menjadi tukang pos saya. Cepat sekali sudah tiga puluh hari, rasanya baru kemarin saya menulis untuk hari pertama. Lelahkah menjadi tukang pos? Pasti iya, tapi karena sepeda fixie sudah diganti agya sama bosse, saya rasa lelahnya berkurang.

Terima kasih sudah mengantarkan surat-surat saya dan penulis lainnya. Dan ini tepat surat ke tiga puluh (termasuk surat di hari jumat yang seharusnya khusus untuk surat kaleng). Sekali lagi, #30HariMenulisSuratCinta membuat saya belajar mengenai komitmen. Rasanya lega bisa memenuhi janji saya sendiri. Pun aksaralain ini tak lagi tampak berdebu.

Kak Chicko, tukang pos yang baik, surat ini hanya berisi terima kasih saya. Anda takkan menemukan apa-apa lagi. Tak ada kado atau bingkisan apapun. Tapi ada satu lagi; doa, semoga kebahagiaan menyertaimu selalu. Sampai jumpa lagi di #30HariMenulisSuratCinta tahun depan (semoga tetap ada).

Terima kasih.

Salam,
Penulis surat.

(Surat ke #30 yang terakhir tahun ini)

Sabtu, 01 Maret 2014

Semesta Lelah Bermain

Sasi,
Semesta sudah lelah bermain, ia menyerah seperti angin yang tak sengaja mempertemukan dua daun gugur di tanah gembur. Juga sama dengan pagi yang tak mau kehilangan bulan meski matahari sudah bercokol dari timur.

Kita bertemu.

Kau memang putri bulan yang lahir di antara putri malu. Sudah kubilang, kan, kau harus mengurangi sifat pemalumu itu. Tapi aku juga jadi gagap oleh senyummu. Lidahku cekat, mungkin aku matahari yang sinarnya jatuh di depan bulan dan tak sampai bumi. Oh, aku gerhana. Gerhana kata-kata.

Sudut menepikan sepi, jadi saksi temu antara bulan dan matahari. Kamu dan aku. Maaf jika harus melalui Anto aku memanggilmu. Aku benar-benar cekat. Tapi terima kasih kau mau menemuiku di sudut menepikan sepi.

Sesungguhnya masih banyak yang ingin kubicarakan denganmu. Kita baru berkenalan. Kau pemalu, tapi lucu. Terima kasih sudah membuatku banyak tertawa. Akan kuusahakan aku juga membuatmu tertawa. Aku kaku, ya. Ya begitulah. Matahari kadang sok bersinar paling panas, padahal sekalinya mendung ia juga tak berkutik jika harus hujan. Hahahaha

Sasi, terima kasih untuk pertemuan dan kopi gratisnya. Senja nanti, kalau kau tak keberatan datanglah ke taman putri malu, kutraktir kau jagung  bakar dan permen kapas. Tentunya sambil berbincang tentang inginmu di pasar malam.

Aku senang.

Salam,
Suvan Asvathama

(Membalas surat Sasi Kirana @_bianglala)

Jumat, 28 Februari 2014

Musim Kamu

Februari selesai. Maret menapakkan kakinya. Dengan semua harapan yang ada, aku masih berjalan. Di secarik surat ini, kau membawaku ke padang rumput yang hijaunya menari bersama angin juga cahaya matahari, dari matamu yang pagi.

Aku menulis surat ini, sayang, ingin mengingatkanmu tentang musim. Mengenai waktu, di mana daun akan gugur dan tanah di kepalamu menjadi subur. Barangkali kau lupa, ada satu musim di hidupmu tak berganti.

Bulan baru sudah di depan matamu. Jika kau tak merasakan apa-apa, angin yang senantiasa menemaniku akan menyadarkan ketidakacuhanmu. Mungkin hal ini pula yang akan mengenalkanmu pada musim tak berganti itu. Kunamai saja itu musim kamu, karena kau yang terus dipetiki oleh kangen di dadaku, juga yang akan dipanen oleh kepalaku sebagai ranum ingatan.

Sayang, musim kamu tak hanya di kepala dan dada. Di tanganku kini, telah tergenggam beberapa bulir hujan yang jatuh dari keranjang angan di langit sana. Ketabahanku, adalah setumpuk mimpi yang tajamnya melebihi pucuk es dari hujan yang membeku di kutub sana. Oh, bagaimana rasanya itu? Aku tak tahu, karena aku mencintaimu.

Salam,
Pengarung musim demi musim.



(Surat ke-29)

Teras Atas

Di mana lagi jika tidak di sini? Bangku panjang di teras atas. Selain tubuhku yang duduk, aku bisa meletakkan apa saja. Bahkan lelah yang kubawa seharian.

Teras atas,
Kau mungkin takkan bisa membaca, tapi kau akan selalu tahu tentang apa yang akan dituliskan penaku di kertas, yang acapkali menghabiskan senjanya di sini. Atau waktu aku hanya duduk menikmati malam dan kopi, di sinilah ketenangan mengabdikan dirinya kepadaku. Waktu aku ditikam sepi bermalam-malam panjang, di sini jugalah gigil menjadi sangat nyaman untuk berbagi peran dengan rindu.

Teras atas,
Mari sebut ini keberuntunganku menemukan tenang. Malam kadang tak punya bulan, tak disapa bintang, diguyur hujan, dibanjiri tempias, dan dibelai angin. Ada kalanya juga aku hanya membagi bisu dan menumpahkan kopi -- meluapkan apa yang pada siapapun tak bisa kuungkapkan.

Bangku panjang di teras atas. Jika kunamai ini setia, maka demikianlah tunggu benar-benar ia taruh tanpa lelah. Terima kasih sudah terus menunggu, meski tak setiap hari aku menemuimu. Malam ini, kopi lagi-lagi kubiarkan dingin di atasmu.

Salam,
Penghunimu

Mengenai Temu, Akankah?

Sasi,
Untuk pertama kalinya aku menulis puisi bukan untuk kekasihku, atau yang kau sebut nona matahari itu. Rasanya sungguh berbeda, apalagi puisi itu mengenaimu. Debar di dadaku jauh lebih bergemuruh. Aku tak tahu alasannya. Ada rasa sesal. Bukan, bukan karenamu, tapi sesal mengapa tak kutulis sejak dulu pertama aku melihatmu.

Menulismu sebagai puisi mengantarkan aku pada jalan menuju padang rumput yang hangat. Kau sinar itu. Tidak, aku tak menggombalimu. Mana bisa aku gombal, bahkan merayu kekasihku saja aku tak sanggup.

Sasi,
Aku senang kalau kau membaca puisiku berulangkali. Gemetar tanganku terbayar lunas. Terima kasih.
Oh ya, sudah berapa kali kita bertukar surat? Bukankah kita seringnya berada di tempat yang sama? Tidakkah kau mau bertemu denganku? Mungkin kita bisa bertukar cerita. Aku mau tahu kau dapat resep dari mana, sampai membuatku betah seperti ini. Tapi aku tak memaksamu. Seperti biasa, aku ada di sudut menepikan sepi. Setiap senja.

Salam,
Suvan Asvathama

(Membalas surat Sasi Kirana @_bianglala)

Rabu, 26 Februari 2014

Aku Menyesal

Sayang,
Aku menyesal, tapi bahagia..

Setelah lampu kamar padam, malam itu, entah mengapa kantuk malah pergi dan tak jadi menggagahi mata kita. Aku coba diam pada debar yang sebelumnya belum pernah aku rasakan. Aku takut, tapi bukan pada gelap. Tiba-tiba saja aku kedinginan dan mencari tubuhmu. Kita bertemu peluk di atas bisu kasur. Di bawah langit-langit yang menutup mulut.

Kita kehilangan ucap, tapi tidak kecup. Tak ada kata-kata, hanya lenguh sesekali mengudara. Demikian kita mbuk kesenangan. Sungguh, aku mencintaimu.

Barangkali ini satu dari seribu cara yang akan terus kusampaikan kepadamu, betapa aku menyesal meski bahagia. Akan terus kurenangi rahasia milik kita, sampai nanti lampu kamar yang sengaja kita padamkan bukan lagi keringat yang menetes sesal.

Sekarang nyalakan lampu kamarnya, dan kita bicarakan bagaimana jalan ke depan akan kita tempuh, supaya tak lagi limbung oleh penyesalan.

Salam,
Kekasihmu yang sungguh menyesal meski bahagia, karena padam lampu kamar malam itu sesungguhnya belum milik kita.

(Surat ke-27)

Selasa, 25 Februari 2014

Panas Di Ujung Malam

Untukmu,
Aku ingin menceritakan sebuah malam yang kulalui, yang mungkin saja kau belum tahu.

Begini.. Di sebuah malam, aku membiarkan gelap membuatku gerah. Aku kepanasan. Padahal angin datang cukup rapat. Aku melepas bajuku, sampai dadaku bersentuhan langsung dengan dingin yang dibawa angin. Tapi aku masih kepanasan. Aku telanjang di separuh tubuhku, di bagian dada yang detaknya mengendarai ingin ke jarak tanpa peduli lagi bahwa udara sungguh sangat tak bersahabat. Panas di tubuhku, dingin di ujung waktu.

Maka tubuh inilah yang menangkap angin sebagai isyarat. Pertama kali memahami malam masih akan panjang dan pagi belum sampai di sini. Tapi dadaku yang mulai kedinginan perlahan menyadari embun satu persatu sujud di lelap daun-daun. Sampai manakah tubuh ini akan bertahan? Panas di tubuhku, dingin di ujung waktu.

Demikian sepi dan kuatnya aku bertahan, sayang. Jika kau tahu, inilah pertama kalinya aku bermain dengan seluruh kemauanku. Kau melempar dadu, dan aku menjalankan bidak ini sendirian. Berlari-lari mencari tangga menghindari ular yang akan menjauhkan tujuan. Sampai aku kepanasan dan membiarkan malam melepas bajuku. Sepertinya aku mencintaimu. Panas di tubuhku, dingin di ujung malam.

Ini ceritaku waktu malam
Demikian
Aku mencarimu

Salam,
Pencarimu

(Sebut Saja) Puisi

Sasi,
Apa yang kau takutkan? Kalau kau tak takut hantu, mengapa kau takut tentang sesuatu yang tak kembali? Kesempatan kedua memang ada, tapi akan sangat berbeda. Kau tak perlu takut. Kau punya cahaya.

Kau juga tak perlu minta maaf. Itu cuma masa laluku yang kini maknanya tak seberapa. Bukannya aku mau menyama-nyamakan, tapi ada bagian dalam diriku yang seperti lahir di atas pantai. Sampai-sampai jika aku hanya mendengar satu hal saja mengenainya, atau apapun yang termasuk di dalamnya, aku tiba-tiba melesat ke sana. Seperti ada mesin jet yang mengirimku.

Baiklah, aku memberanikan tanganku untuk menulis (sebut saja) puisi untukmu. Jika tak seperti inginmu, maafkan aku yang masih gemetaran ini.

"Kaukah itu, malu-malu di ujung malam?
Menggelitik ombak dari surut ke pasang
Membaringkan cahaya di kasur laut
Malam demi malam

Cahayamu melambai
Dari jauh letakmu kutempuh
Akukah yang tiba-tiba jatuh?

Purnama bulan
Menjatuhkan sinar
Di jantungku yang debar"

Aku pesan dua cangkir kopi untuk menenangkan dadaku setelah menulis ini. Menulis puisi untukmu, aku benar-benar berada di antara tabuh drum.

Salam,
Suvan Asvathama

(Membalas surat Sasi Kirana @_bianglala)

terima kasih

Selamat sore, Lala a.k.a @_bianglala

Entahlah apa yang harus kutulis untukmu. Bahkan seharusnya aku hanya tinggal mengambil ponselku dan mengirimkan pesan yang ingin kutulis untukmu melaluinya. Tapi terkadang, ada hal-hal yang tak bisa kukatakan lewat pesan singkat line. Oh ya, jika tulisanku di sini sedikit kacau, maklumi saja. Kepalaku masih berasap akibat meeting siang tadi. Padahal aku sudah duduk di bawah pendingin ruangan.

Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih, karena kamu telah menjadi pasangan menulisku dalam #duahati. Terima kasih sudah mau menjadi Sasi Kirana. Dan tak pernah kubayangkan, aku begitu senang saat menjadi Suvan karena teman menlulis suratnya, yaitu Sasi, begitu mengasyikkan. Bahkan aku terkadang lebih memilih menjadi Suvan; seseorang yang lebih nyaman dengan dirinya sendiri. Bukan berarti aku tak nyaman menjadi aku. Terima kasih, Sasi.

Aku butuh kopi untukmeredam asap di kepalaku, dan aku ingat satu racikan darimu, yaitu kopi kayu manis. Untung pantry di kantor ini cukup lengkap dan aku menemukan bubuk kayu manis bertengger di sudut dapur. Rasanya enak, tapi jadi wangi. Mungkin karena aku terlalu banyak menaruh bubuk kayu manis di dalam kopinya. Tapi terima kasih untuk racikannya.

Sudah, ya. Daripada apa yang kutulis semakin tak jelas. Sekali lagi terima kasih untuk menemani Suvan menulis di sudut menepikan sepi, dan terima kasih untuk kopi kayu manis.


Salam,
el diaz

(surat ke #25)

Senin, 24 Februari 2014

Pantai dan Puisi

Sasi,
Kau takkan menemukan dermaga. Tak ada yang mau membangunnya di sini, meski pantai dekat sekali dengan hidup. Seperti katamu, di sini tak ada yang menanti, tak ada pula yang ingin melepas. Yang pergi akan terus pergi dan tak mengenal kata kembali, mungkin kembali telah dihapus dari kamus kami.
Bermainlah saja di pantai bersama pasir, ombak dan angin. Kau bisa melihat bagaimana ombak akan menghapus jejak atau nama yang kau ukir dengan kakimu di pasir dengan cepat. Sekali datang, langsung menghilang.

Cerita-cerita yang kau baca itu, Sasi, telah membawamu pada satu cerita yang pernah kutulis. Itu tentang mantan kekasihku yang dulu sering mengajak ke pantai, sekadar bermain pasir. Setelah aku kehilangan karena cinta tak kami lanjutkan, aku menulis mengenainya bersama cerita pantai, ombak, dan jejak.

Kau ingin menjadi puisiku? Benarkah? Aku bahkan tak berani berangan jika suatu saat kau jadi puisiku. Mungkin aku akan menulis sambil gemetaran sampai sering typo. Juga detak jantungku akan bersuara seperti dentuman paling keras dan cepat di muka bumi ini. Tapi aku akan mengumpulkan keberanian itu untuk menulismu sebagai puisi.

Kedaimu memang tak pernah sepi, tapi ramai di sini adalah riuh yang paling nyaman kutinggali.

"Bagaimana mungkin aku menulismu sebagai puisi, sedang kau adalah ibu segala sajak yang dimiliki hati."

Salam,
Suvan Asvathama

(Membalas surat Sasi Kirana @_bianglala)

Kau Tak Boleh Bersedih

Teruntukmu ,

Tak apa kau menangis. Aku takkan menertawakanmu atau menyebutmu jelek karena kau cemberut. Banyak hal memang bisa terasa berat. Sesungguhnya bila kau paham, hal itu hanyalah hebat yang menunggu berbuat. Sekencang apapun kau menangis, aku takkan menutup telinga. Aku akan tetap di sini tanpa perlu kau minta. Atau kalau kau memperkenankan, aku juga akan ikut bersedih lalu sama-sama menangisinya.

Kesedihan atau apapun namanya yang kau tangisi itu, kau tak harus menanggungnya sendiri. Kau boleh percaya boleh tidak, tapi aku sudah di sini dan siap kau bagi dengan perasaanmu. Apa saja. Jika kau tak memberikannya, aku akan mencuri kesedihanmu itu. Aku tak bermaksud apa-apa, hanya ingin memenangkanmu karena kau tak selayaknya bersedih. Kesedihan yang jatuh bersamaan dengan airmatamu itu kesia-siaan. Aku akan berusaha memenangkanmu sampai kita benar-benar bahagia.

Kalau begitu, mari simpan kesedihan di dalam kantong plastik bekas kita membeli makanan ringan sore tadi. Setelahnya kita ikat dan taruh di tempat sampah depan rumah. Besok pagi, bahkan sebelum kita terbangun tukang sampah akan mengangkut dan membawanya ke tempat yang seharusnya.

Sayang, membahagiakanmu dan mengambil kesedihanmu adalah caraku bersyukur kepada Tuhan.

Salam,
Pencuri sedihmu

(Surat ke #24)

Minggu, 23 Februari 2014

Mengenalmu

Bacalah surat ini saat kau tak bersamaku, karena kalau kau membacanya di depanku, aku jadi malu.

Sayang,
Coba kau hitung sudah berapa lama kita saling mengenal. Aku ingat waktu pertama kali menjabat tanganmu sambil menyebut nama. Kaupun demikian sembari menaruh senyum di ujung ucap namamu. Sejak saat itu aku jadi tahu rasanya menunggu. Menunggu kapan lagi kita bisa bertemu.

Maka waktu dijadikan Tuhan sebagai kabulan doa. Bahkan lebih dari temu, kau dan aku menyatu. Kau jadi matahari di pagi aku terbangun, jadi angin yang menyejukkan siangku, jadi kopi yang menyentuh tubuhku hangat waktu malam sepinya laknat.

Sejak itu pula aku hapal wangi parfummu yang jadi oksigenku. Teh tawar hangat yang kau pesan di tiap kau makan. Aku juga hapal senyum di bibirmu; senyum karena kau senang, senyum karena ingin menyenangkanku saja -- yang setelahnya aku harus memelukmu, senyum karena  kau kehabisan kata-kata   di tatapanku, atau senyum yang artinya kau bahagia tanpa tahu alasannya. Aku sudah bisa membedakannya sekarang. Juga tentang hal yang akan membuatmu marah sampai menangis.

Aku mengenalmu. Aku melakukannya karena aku mencintai kamu.

"Aku bisa mengenal siapa saja, tapi aku memilih kamu karena kukira Tuhan juga memilihkanmu untukku."

Salam,
Aku yang mencintaimu, karena mengenalmu.

(Surat ke #23)

Jumat, 21 Februari 2014

Jangan Merasa Sepi

Sasi,

Kulewatkan satu senja tanpa duduk di sudut menepikan sepi kedaimu. Tidak, aku tak pergi jauh. Pernah kukatakan padamu, aku tak pernah meninggalkan kota ini, dan kurasa aku takkan sanggup meninggalkan kota kecil ini. Aku hanya harus menemui seseorang. Mendadak memang, tapi demi pekerjaan daripada aku tak digaji, nanti bagaimana aku pesan kopi di Kayu Manis ini? Ehehehe.. Lagipula sudah menjadi tanggung jawabku. Hari ini aku kembali. Tapi aku tak melihatmu di dapur. Kau ke mana? Semesta masih mengajak kita bermain rupanya.

Aku pernah bertemu Anto di depan rumahku.  Dia sedang mencari rumah temannya. Sayang waktu itu dia tak sempat mampir. Bahkan saat kemarin dia mengantar surat ini, aku tak bertemu dengannya. Anto tak sempat mampir lagi. Anto meletakkan suratmu di depan pintu dan aku menemukannya malam waktu aku pulang.

Kau takkan pernah kesepian. Kedaimu bahkan tak pernah sekalipun kosong. Kau bisa menemukan banyak tawa hanya dengan bersembunyi di dapur dan mengintip ke luar. Taman putri malu, aku juga sudah cukup lama tak ke sana. Pekerjaanku cukup menyita waktu. Untung aku masih punya sedikit waktu luang untuk sekadar menepikan sepi  di sudut kedaimu.

Sasi,
Terima kasih untuk cup cake-mu. Bagaimana mungkin aku tak menghabiskannya. Racikan tanganmu sangat memanjakan lidahku.

"Jika tibaku tak juga sampai, kau tak perlu risau. Ada banyak senyum bisa kau rangkai, jangan jadikan sepi sebagai pisau."

Salam,
Suvan Asvathama


(Membalas surat Sasi Kirana @_bianglala)

Selamat Berbahagia

Selamat siang, kamu yang bukan lagi kamuku

Selamat hari sabtu dan selamat untuk kelahiran anak pertamamu. Maaf belum sempat menengok kau dan jagoan kecilmu itu. Dan maaf karena tak datang di pernikahanmu.
Kalau boleh jujur, masih ada satu hal yang membuatku enggan untuk menemuimu. Kau tahu perihal itu. Sebaiknya aku tak membahasnya di sini, karena surat ini isinya bukan mengenai hal itu.

Dua hari yang lalu aku bertemu Agni, sahabatmu. Dia masih cerewet seperti dulu, tapi berkat kecerewetannya aku dapat kabar soal kebahagiaanmu ini. Kau punya jagoan kecil. Ia lahir tepat di hari kasih sayang yang perayaannya masih sering dijadikan bahan perdebatan. Tapi mulai sekarang kau tak perlu mendebat apapun, karena di tanggal itu kau akan merayakannya dengan suka cita besar. Selamat.

Kuharap ia punya wajah seperti kau. Biar orang tak pernah mudah untuk melupakannya. Sama sepertiku yang tak mudah melupakan kau. Jika tak keberatan, semoga ia punya mata seperti aku. Tak bermaksud apa-apa. Hanya saja kau pernah bilang bahwa mataku tak pernah bisa membohongimu. Semoga kau selalu menemukan kejujuran di dalam matanya. Ia akan membuatmu bahagia.

Selamat berbahagia. Dia malaikat yang  dikirim Tuhan untuk membahagiakanmu, karena bukan aku.

Salam,
Aku yang turut berbahagia.

(Surat ke #22)

Jika Aku Tak Lagi Mencintaimu

Selamat siang, kesayangan..

Aku masih di kantor. Ini masih jam makan siang, dan aku sudah menyelesaikan makanku. Tinggal menunggu jam istirahat ini selesai, kira-kira tiga puluh menit lagi. Dari kubikelku yang dekat dengan jendela, aku bisa melihat jelas sekali di luar hujan sangat deras. Dan seperti biasa, suasana seperti ini membuat ingatanku mengambil kamu dengan mudahnya.

Karena kamu tempias di kepalaku yang jendela.

Aku mencintaimu. Lalu di kepalaku muncul pertanyaan; apa ini akan selamanya? Bagaimana jika aku tak lagi mencintaimu? Dan aku menulis surat ini. Kalau-kalau cinta tak lagi berpihak kedapa kita.

Jika aku tak lagi mencintaimu.
Petiklah mawar dan taruhlah dalam vas berisi air. Dan bagaimanapun nanti, biarkan ia layu dengan caranya yang ke seribu. Tanpa aku.

Jika aku tak lagi mencintaimu.
Kau akan tetap melihat pelangi selepas hujan. Mejikuhibiniu yang ajaib itu akan bersinar sampai matamu dan mendadanimu. Andaipun langit abu-abu, itu takkan jadi warna hidupmu. Tanpa aku.

Jika aku tak lagi mencintaimu.
Kenakanlah pelampung dan kau takkan tenggelam. Terkadang kesedihan lebih bah ketimbang air. Kau juga bisa berenang-renang sambil menyanyikan lagu kesukaanmu. Tanpa aku.

Hmmmm..
Cukup buatku untuk membayangkan aku tak lagi mencintaimu. Menyesakkan. Seperti masuk ke dalam ruangan yang penuh asap rokok. Aku butuh oksigen.

Bacalah surat ini. Tanpa aku. Tanpa jika aku tak lagi mencintaimu.

Salam,
Kekasihmu.

(surat ke #21)

Rabu, 19 Februari 2014

Sebuah Cerita yang Kedua

Selamat siang, sayang. Sudahkah kau baca surat dongengku yang kukirim sebelum surat ini? Semoga kau paham apa yang kutulis. Dongeng yang kubuat sendiri, dongeng yang isinya tentang apa yang kualami sendiri. Dongeng tentang kau.

Sekali lagi aku mengirimimu surat. Aku ingin bercerita tentang seorang asing yang kutemui saat aku sedang lemah-lemahnya waktu itu. Kau harus tahu bagaimana dia sanggup membantuku berjalan, bahkan sekarang aku mampu berlari.

Aku bertemu orang asing itu di tepi pantai, waktu senja hampir saja tiba. Kira-kira jam lima lebih dua puluh menit. Dia mengenakan bando warna merah di kepalanya. Dia cantik, dan sungguh menenangkan jika melihat wajahnya, meski hanya sekilas. Tiba-tiba saja aku ingin jadi salah satu rambutnya. Selain bando yang menjadikannya indah, tangannya begitu lembut menyibak helaian hitam ikal itu. Seperti lidahmu saat menyentuh eskrim.

Selepas senja, aku melepas kegelisahanku bersamaan dengan melihatmu yang tetap di situ. Aku mengikuti angin dengan menujumu. Berusaha tak merusak nyamanmu, aku menyapa dengan santun. "Boleh kujadikan kau sebuah sajak bersama senja dan pantai ini, Nona?" Dia kebingungan tapi mengangguk.

Sejak anggukannya, dia selalu jadi sajak di tiap aku menulis. Di tiap aku ingin meninabobokan gelisah. Sampai pada akhirnya aku bertemu dengan hari yang lagi-lagi mempertemukannya denganku, meski tak di pantai dan waktu senja.

Keberanianku melebihi Bima Satria Garuda saat melawan monster-monster suruhan Rasputin untuk menumpas kejahatan. Menemuinya untuk yang kedua kali ini sungguh di luar dugaanku, dan tak kuduga juga aku seberani itu. Senjataku hanyalah secarik kertas dan sebuah pena,  ditambah kegigihanku tentang mimpi-mimpi mengenainya. Hanya sebuah ingatan dan sajak-sajak yang terus kutuliskan membuaku jatuh cinta.

"Nona, bersediakah kau jadi nama yang selalu ada dalam sajakku. Seumur hidupku?"

Dia tak menjawab, dia hany memelukku untuk pertama kali yang lama. Aku tidak tahu apa yang membuatnya jatuh cinta kepadaku. Yang aku tahu, dia begitu tulus sampai aku dengan mudahnya melepas kegelisahan yang selama ini lekat dengan dadaku.

Ini ceritaku. Sayang, setelah kau membaca surat ini, pakailah bando warna merah yang kuletakkan di laci meja rias kamarmu. Dan temui aku di pantai senja nanti.

Salam,
Aku.

(surat hari ke #20)

Selamat Menunggu

Sasi,

Sudah kucatat semua tentang apa yang ingin kau lakukan di pasar malam nanti. Tinggal menunggu saja pasar malam itu membangunkan tidurnya saat liburan sekolah tiba. Kau bisa menunggu, kan? Liburan sekolah masih cukup lama. Atau sembari kau menunggu pasar malam, kau bisa mencatat apa saja yang ingin kau lakukan. Akan kutemani kau.

Kau bisa jadi pasar malam, dengan senyummu bahagia sudah dirayakan.

Terima kasih cup cake-nya. Sebenarnya sayang jika aku harus memakannya. Sungguh cantik. Tapi aku harus merasakannya, bukan? Dan aku menghabiskannya. Rasanya mau memesan lagi, namun aku mau tidur malam ini. Ah, andai saja gula tak berpengaruh apa-apa buatku. Laib kali saja aku memesan lagi. Toh aku juga sering ke kedaimu.

Membaca suratmu aku juga jadi hangat. Kata-katamu mirip dengan kopi; menghangatkan tubuhku dari mata di kepalaku, sampai penuh di dalam dadaku.

Selamat senja, Sasi. Selamat menunggu.

Salam,
Suvan Asvathama

(membalas surat Sasi Kirana @_bianglala)

Selasa, 18 Februari 2014

Dongeng Bintang Jatuh

Aku ingin bercerita kepadamu. Kusampaikan saja lewat kata-kata, supaya kelak jika kau ingin mengulang ceritanya lagi, kau tinggal membuka surat ini. Kau juga bisa membacakannya kepada anak-anakmu yang bisa jadi adalah anak-anakku juga.

Suatu kali dari langit jauh di atas sana, sebuah bintang jatuh menuju rumah. Waktu itu sudah malam, tepat setelah matahari nyenyak selepas siang ia begitu keras mengeringkan jemuran ibuku. Bintang itu sampai di depan rumahku, kuajak saja ia masuk sebagai tamu.

Rupanya bintang jatuh tak memakai sandal atau sepatu, tetapi kakinya bersih dan aku lega tak harus menyapu dan mengepel lantai. Bintang jatuh ini masih mempunyai cahaya yang lekat menempel di matanya. Tiba-tiba dia tertunduk. Kukira ia lelah setelah perjalanan jauhnya dari langit hingga sampai di depan rumahku. Aku berlari ke dapur, mengambilkannya segelas air dan cepat-cepat aku menyerahkan kepadanya.

Ia tak meminumnya, tapi memasukkan beberapa tetes air ke dalam matanya. Ia menangis. Matanya yang bercahaya kini jadi anak sungai. Tidak, tidak ada ikan yang hidup di sana, dan aku tak dapat memancing apa-apa selain kesedihan. Satu lagi, yang membuatku heran adalah kecipak air yang entah dari mana datangnya, yang melahirkan cahaya lebih terang dari sebelumnya.

Di ruang tamu aku menerima bintang jatuh sebagai mata cahaya yang menangis, aku terbangun dari mimpiku dan menemukan bintang lain sedang tertunduk menutupi kesedihan karena ditinggal kekasihnya. KAU.

Semoga kau membaca surat dongeng ini tidak sambil menangis, karena kekasihmu yang nakal itu tak lagi berani menampakkan batang hidungnya. Dan bintang jatuh di dalam mimpiku sudah kuhapus airmatanya.

Salam,
Pemimpi di ruang tamu yang mendapati bintang jatuh itu sebagai kekasihnya kini.

(surat ke #19)

Janji Pasar Malam

Sasi,

Ah, maafkan aku. Kau begitu takut dengan badut. Maaf, ya. Lain kali tak akan kuceritakan lagi tentang badut, meskipun aku terpingkal. Tidak akan. Karena aku tahu bagaimana ketakutan itu sangat menyiksa. Sama seperti aku, waktu mendengar tentang cerita hantu. Bahkan kalau aku mendengarnya, aku seperti mau berubah jadi batu yang tak bertelinga. Aku tak mau mendengar apa-apa. Apalagi melihatnya. Bisa-bisa mati berdiri aku.

Pasar malam? Ada. Di musim liburan sekolah biasanya akan ada beberapa lapangan yang berubah jadi ramai. Ada bianglala, komidi putar, rumah hantu yang pasti takkan pernah aku kunjungi, tong setan, dan masih banyak lagi. Kau juga bisa berbelanja di sana nanti. Tapi kalau sekarang belum ada. Begini saja, kalau nanti pasar malam itu ada, aku janji akan mengajakmu ke sana. Kupastikan tidak akan ada badut yang akan menakutimu. Kau bisa pegang kata-kataku, karena laki-laki harus sanggup menepati janjinya.

Kau memang harus keluar dari sifat pemalumu. Jadilah bulan yang bersinar tak hanya dalam gelap malam, tapi juga di antara sinar lainnya. Karena kau akan tahu betapa indah dirimu di antara yang lain.

Sesungguhnya, dengan suratmu pun aku menyadari akan satu hal tentang diriku sendiri. Aku jadi sedikit membuka diri. Sebelumnya, mana pernah aku mau bercerita kepada orang lain. Apalagi orang asing. Aku terlalu lama dan banyak menyimpan rasaku sendiri.

Terima kasih, Sasi, kau membuka satu halaman bukuku, dan aku jadi anak kecil yang kembali berani mendongeng. Boleh buatkan aku cup cake dengan lambang Chelsea saja. Beberapa waktu lalu mereka mengalahkan Manchester City.

Ingatkan aku tentang pasar malam, ya..

Salam,
Suvan Asvathama

(membalas surat Sasi Kirana @_bianglala)

Jalan-Jalan

Hai, kak Chicko a.k.a @gembrit

Seturut dengan tema #30HariMenulisSuratCinta hari ini, aku mau mengajakmu kencan.. Ehm, atau mungkin bisa dibilang ajakan jalan-jalan. Nanti kalau aku mengajakmu kencan, aku diputusin pacarku lagi :(

Entah aku mau mengajakmu ke mana. Sepasang kakiku masih kuat jika harus berjalan, tapi jangan jauh-jauh, nanti ankleku kambuh. Kau masih kuat berjalan? Tidak, tidak. Kita tidak akan berjalan. Aku mau mengenalkanmu kepada teman yang akan mampu membawa kita jauh menuju. Bahkan kalau mau mengelilingi Ciayumajakuning.

Nah, gimana kalau kak Chicko ngajak aku keliling tempat itu. Eh, tapi jadinya bukan aku yang ngajakin jalan-jalan, ya. Kalau gitu kita jalan-jalan aja. Keliling Indonesia kalau perlu. Oh iya, sampai lupa kan, belum kukenalkan siapa yang akan memanjakan kaki-kaki kita saat jalan-jalan.

Namanya Agya, lengkapnya Toyota Agya. Dia cakep, ga gampang rewel, kecil dan lincah, irit lagi. Ga suka belanja-belanja juga, kok. Ga diapa-apain juga dia udah kece. Jadi kalah kita jalan sama dia, ga perlulah kita repot-repot ke salon. Eh.
Ya sudah segitu aja suratku. Ayo, kak, kita jalan-jalan #NaikAgya aja.

Salam,
el

(surat hari ke #18)

Senin, 17 Februari 2014

Semesta dan Cinta

Setiap senja, waktu cahaya sedang merah-merahnya, aku seperti kupu-kupu yang sanggup terbang tinggi. Atau apa sajalah yang dengan mudahnya bisa mengepakkan sayapnya. Kau biasanya tak ada di sini. Cahaya kurangkum sendiri, terkadang cakrawala tak tega melihatku dan cepat meninabobokan matahari. Dan malam jatuh bersamaan dengan kepak sayap kelelawar. Ramai sekali.

Aku jatuh cinta kepada cakrawala yang dengan caranya menenangkan aku. Padahal aku tak menuliskan apa-apa, tapi aku bisa membaca di tiap bentangnya. Aku tersenyum. Apa aku bermimpi?

Mencintaimu barangkali cuma kebahagiaan yang selewat. Dari ingin ke dingin. Kau begitu angin. Melewatiku terus menerus hingga jaketku bergetar karena menggigil.

Kepada semesta yang begitu mengenal aku dan berada tepat di depanku, dan juga menyaksikan bagaimana aku mencintai, kumohon tetaplah di sini dan tak meninggalkan. Akan kupecahkan pelukan demi kalian semua. Bahkan jika lengan dan tubuhku haruslah rubuh.

Salam,
Seseorang yang sedang mencintai.

(surat hari ke #17)

Minggu, 16 Februari 2014

Kepada Putri Bulan

Sasi,

Selain anak ibuku, aku adalah anak kota ini. Tangisku pertama kali pun di dengar oleh telinga sudut kota. Sekalipun aku belum pernah melangkahkan kakiku keluar. Aku belum pernah ke mana-mana. Selain buku dan imajinasiku yang jauh membawa angan-angan.

Ah, kau jangan terlalu berteman dengan putri malu, Sasi. Lihat sifatmu yang pemalu itu. Hati-hati nanti kau terkurung sendiri di sana. Eh, maaf. Aku menilaimu. Abaikan saja jika tidak berkenan.

Kau menggodaku dengan hal-hal seperti itu. Kuanggap saja lucu seperti badut-badut ulang tahun yang dulu pernah sangat menghiburku. Aku sampai tertawa terpingkal-pingkal. Kau suka jugakah?

Putri Bulan,
Terima kasih sudah memikirkanku. Hati-hati kau nanti akan diserang penyakit paling mematikan; tak bisa melupakan aku. Hahaha....

Asal kau tahu juga, jingga matamu seringkali mengisi kosong di waktu senjaku. Aku merasa bersalah akan itu. Sungguh tak ada maksud. Seperti sela jendela yang dimasuki cahaya. Ditutuppun ia akan mencari celah lain. Aku bisa apa?

Tidak usah membahas nona matahari. Ia sudah kubahas bersama Tuhan setiap hari.

Terima kasih sudah mencatat pesananku. Aku rewel, ya. Ya begitulah. Mungkin karena dari dulu ibuku selalu menuruti kemauanku, sampai sekarang masih saja kubawa-bawa itu.

Terima kasih, Putri Bulan.

Di antara malam dan keheningan, kaulah rapat samar yang memperkenalkan aku dengan cahaya.

Salam,
Suvan Asvathama

(surat balasan untuk Sasi Kirana @_bianglala)

Menu di Kencan Kita

Ini lucu sekali. Aku berusaha mengikuti kesukaanmu dan kau juga ingin mengerti apa kesukaanku. Kita sering saling diam atau bertanya tentang masing-masing kemauman. Dan kita hanya menemukan dua mangkuk bakso dan dua gelas es jeruk di depan kita.

Mangkuk-mangkuk berdenting bertemu dengan ayunan sendok kita. Memecah sepi yang ombak dan sampai di telingaku telingamu yang pantai. Maka tangkaplah suara itu sebagai gemuruh paling tanya; apakah kau suka dengan menunya?

Uap panas dari bakso itu mengembun di kacamataku. Sampai juga di liontin di depan dadamu. Anggap saja itu cinta yang malu-malu menyatakan menu ini tak apa.

Es jeruknya menetes acap kali kau angkat gelas dari mejamu. Kita masih diam menikmati menu, meski sesungguhnya kita tersiksa atas nama menu dan bisu basi kita.

Sudahlah, sayang, yang penting kita berkencan.

Salam,
Penentu menu, kekasihmu.

(surat hari ke #16)

Sabtu, 15 Februari 2014

Sesuatu Di dalam Kepala dan Dadaku

Ada pertanyaan-pertanyaan yang acap kali mengusik kepalaku. Bahkan nyenyak tidurku sering dibangunkan keingintahuan yang terjerembab belum bisa mengangkat dirinya untuk sampai kepadamu.

Genggam tangan, pelukan, kecup, sampai cumbuanmu di tubuhku tak melengkapkan yakin. Bahkan jika kulihat dan kurasakan semuanya teramat pas. Aku sendiri tak paham mengapa ini masih saja terjadi. Bukankah kita sudah cukup lama?

Mungkin ini hanya keraguan sebatas yakinku saja. Semoga tidak berlanjut ke mana-mana dan kita tetaplah kita. Keingintahuanku tentang perasaanmu yang sesungguhnya, mungkin rasa penasaranku karena kau juga pernah memenggenggam, memeluk, juga mencium tubuh lain sebelum aku.

Sekarang di dalam dadaku semacam ada batu besar yang jatuh dari longsor tebing. Aku ingin menyingkirkannya tapi tak mungkin aku kuat menggesernya sendiri. Aku sadar, aku bukan Samson.

Kau mencintaiku sebesar apa? Tolong jawab sejujurmu. Dan itu akan sangat membantu menyingkirkan batu besar di dadaku. Seperti palu besar yang dibawa tukang kayu memukul-mukulnya.

Salam,
Kekasihmu yang masih meragukanmu. Maaf.

(surat hari ke #15)

Kamis, 13 Februari 2014

Semoga jadi kado valentine

Selamat siang, dra..

Kau mungkin masih dalam perjalanan pulang ke rumah. Pagi ini, semoga kau tak lupa mengenakan masker atau apa saja yang bisa menutup hidungmu. Abu vulkanik dari Gunung Kelud tiba lebih pagi dari matahari.

Di mana-mana ada abu. Aku sudah lima kali menyapu lantai kamarku. Padahal pintu dan jendela selalu kututup rapat. Aku juga belum mandi saat menulis surat ini. Tenanglah, badanku masih wangi.

Hari ini valentine, dra. Aku ma mengajakmu ke suatu tempat. Bukan tempat romantis, bukan pula tempat yang akan membuatmu jatuh hati. Barang kali kau malah akan takut. Tapi aku sudah janji dengan seseorang untuk mengenalkanmu padanya. Eits, seseorang itu bukan kekasih baruku, bukan selingkuhanku juga. Mana berani aku menduakanmu, dan betapa bodohnya aku kalau sampai melakukannya. Kau akan mengetahuinya nanti.

dra, ada satu rahasia yang harus kau ketahui dari masa laluku. Kau tahukan aku pernah bilang bahwa aku benci sekali dengan rokok. Dan kau selalu bertanya apa alasannya. Hari ini, di hadapanmu dan di hadapannya akan kuceritakan semua. Syaratnya, asal kau mau kuajak ke tempat di mana seseorang ini berada sekarang.

Saat kau sampai rumah, kau akan menemukan surat ini dalam pesan singkat di bbmmu. Aku akan menemuimu setelah kau setuju dengan permintaanku ini.

Terima kasih sudah mau membaca surat ini, dan segera temui aku dengan maumu.

Aku mencintaimu.
Selamat hari valentine, kesayangan..

(surat hari ke #14)

Turut dalam Duniamu

Sasi,

Biarlah semesta yang bekerja. Sedang kita tetap di sini, berdetak dan ada.

Kau menyukai pagi tampaknya. Menyaksikan putri malu menutup diri dalam tangkapanmu. Bertemu dengan cahaya matahari. Padahal kau bulan, sinar paling terang setiap malam. Sedang, aku selalu nyaman dengan malam, bahkan dini hari adalah waktu paling indah untukku menikmati hari. Asalkan tidak ada cerita hantu. --"

Oh, maaf untuk ibumu. Semoga beliau bertemu ibuku di surga. Mengenai ayahmu, seperti doamu semoga beliau baik di manapun beliau berada.

Kau sudah menemukan sesuatu mengenai kota ini. Kau sudah menemukan sesuatu sebagai duniamu. Jika duniamu adalah kedai ini, maka aku juga turut dalam duniamu, Sasi. Kuharap aku tak mengacaukan hidupmu.

Menu barumu, Sasi, sangat memanjakan lidahku. Tapi memang manisnya cukup kuat, mungkin karena yang membuatnya punya senyum yang begitu gula, atau mungkin karena aku sendiri sudah teramat manis? hahaha.. Bercanda, Sasi. Lain kali kupesan dengan catatan gulanya dikurangi. Bukannya takut gemuk, aku hanya takkan bisa tidur jika terlalu banyak gula masuk ke tubuhku. Dari kecil aku begitu.

Nona matahari? Dia berada jauh denganku sekarang. Kilometernya tak kuhitung, lagi pula aku tak begitu berminat untuk menghitungnya. Aku sudah kerepotan dengan hitungan kangenku sendiri.

jarak bukan lagi perihal hitungan, doa mengantarkannya begitu cepat begitu dekat.

Salam,
Suvan Asvathama

(membalas surat Sasi Kirana @_bianglala)

Untuk Besok

Teruntuk salah satu penghuni surga..

Hae..
Besok hari valentine, dan tiba-tiba aku mengingatmu. Terkadang kangen memang nakal, menggoda tetang apa yang bahkan sudah lama tak tampak ada.

Apa kabarmu di surga, Wid?

Aku merindukanmu, meski aku sudah punya kekasih lagi. Tak apa, kan? Di surga sana pasti banyak yang mau jadi kekasihmu. Aku berani bertaruh untuk itu. :D

Kau pernah mengukur jarak antara surga dan bumi? Pada saat kau pergi waktu itu, kau sempat mengukur tidak? Berapa puluh, ehm... berapa juta kilometer? Tapi sudahlah, seberapapun jauhnya surga, aku masih bisa menemuimu dalam doa, juga mimpi yang acap kali menyambangi. Pun kau masih jadi penghuni di laci meja kamarku, dalam bingkai biru.

Besok aku mau ke makammu. Akan kukenalkan kau dengan kekasihku kini. Semoga kau masih suka mawar putih, kubawakan delapan tangkai besok. "Delapan saja, karena itu angka kesukaanku", katamu yang masih jelas ngiangnya di kepalaku, waktu dulu kutanya mau seberapa banyak bunga di valentinemu. Beberapa tahun lalu. Aku masih ingat, kan. Mau kubawakan cokelat juga? Tapi lebih baik cokelat itu kuberikan pada adikmu. Sudah besar dia sekarang, cantik lagi. Sudah lama juga aku tidak bertemu dengan ibu dan bapakmu. Terakhir kali aku bertemu mereka di minimarket dekat SMPku dulu. Katanya membeli bekal untuk mengantar adik bungsumu ke sekolah asramanya. Mereka semakin menua, tapi raut bahagia terpancar di wajah mereka.

Jam istirahat makan siangku hampir habis, Wid. Makanan pesananku masih utuh. Baiknya kusudahi surat ini dan aku menghabiskan makananku. Aku tak mau telat ke kantor, bosku lumayan galak. Daripada aku kena marah, mending kusudahi aku menulis. Lagi pula kita masih bisa bertemu di mimpi atau doa-doa. Pun besok di pusaramu kita akan bersua. Kuharap kau hadir di sana, meski sebagai angin atau dedaunan gugur saja. Aku tahu kau akan ada.

Kita rayakan valentine bersama. Kalau-kalau di surga tak ada.

Salam,
Seseorang yang pernah terpaksa menjadi mantan kekasihmu.

(surat ke #13)

Rabu, 12 Februari 2014

Pantai dan Jejak Kakimu

Siang yang hening..

Surat ini, sayang, kukirim lewat laut yang sepi. Mungkin saja ombak sedang tertidur. Musim sedang langut, angin larut di antara air yang surut. Apakah nanti surat ini akan dibaca, atau sekadar sebagai pengisi samudera.

Sayang, jika kau ingat tentang pagi dan keterjagaanku di pantai. Tentang getir yang sampai saat ini masih saja satir. Aku tak juga berani membayangkan pagiku tanpamu. Ketika waktu itu, tiba-tiba sebutir pasir masuk ke mataku, dan aku menangis. Pasir sialan itu masih saja turut jika aku membayangkan kepergiaanmu. Padahal kacamata sudah kukenakan setiap waktu.

Kakimu mencipta jejak. Menyapu sepi seluruh tepi. Laut menyibak ombak, persis saat kau menyibak rambut hitammu. Betapa cantiknya. Betapa aku tak lagi-lagi sanggup untuk membayangkan pergimu.

Apakah aku harus menambal seluruh pantai? Membangun benteng demi sisa jejakmu dan menjaga semua yang sudah ada. Aku mencintai pantai ketika kau pertama kali mengecupkan bibirmu di dadaku. Dan sebuah muara menjadi dua di ujung mataku.

Demikianlah, sayang, pantai dan jejak kakimu adalah cermin yang memantulkan surga. Jika pergimu ada, maka pecah dan lukalah bahagia.

Tetaplah bersamaku, sampai kita dan laut kehabisan waktu.

Salam,
kekasih yang takut kehilangan kamu.

( surat hari ke #12 )

Selasa, 11 Februari 2014

Putri Malu

Hai, Putri Bulan..

Senang rasanya, ternyata kita mempunyai makna dalam semesta. Aku dilahirkan di antara cahaya matahari, dan kau lahir di antara syahdu bulan purnama. Meski kenyataannya, bulan dan matahari tak pernah bertemu pada satu waktu di sebuah hari. Mungkin semesta sudah menempatkan kita pada masing-masing ruangnya. Atau karena semesta ingin mempertemukan mereka sebagai kita, kini?

Mari kita tunggu saja. Apa yang ingin semesta jadikan kepada kita.

Kau baru rupanya di sini. Semoga kau betah. Kota ini memang kecil, tapi jika kau mampu menemukan sesuatu yang membahagiakanmu, kau akan mendapatkan dunia bahkan lebih besar dari apa yang pernah kau duga. Oh ya, ayahmu tinggal di sini juga?

Kau suka ke taman putri malu itu? Aku menyebutnya demikian, sebab putri malu jadi penghuni paling banyak di sana. Aku juga kadang menikmati udaranya, sambil duduk di tepi. Mencari sesuatu yang mungkin saja bisa kutulis.

Dulu kukira kau lahir di taman itu. Di taman berpenghuni putri malu. Sifatmu yang malu-malu itu sering menyangkakannya demikian. Apalagi kalau aku melihat jingga matamu, selalu ada binarnya yang tersembunyi. Entah apa yang disimpannya.

Wah, menu baru. Sepertinya di mejaku nanti akan ada penghuni baru. Selain kopi dan pisang goreng madu yang telah sekian lama ini tak pernah absen di mejaku. Terima kasih, Sasi, aku pesan satu.

Salam,
Suvan Asvathama

(membalas surat Sasi Kirana @_bianglala)

Bersabarlah, Dik

Selamat siang, adik kecil..

Kau pasti sedang bosan menunggu. Kau pasti juga bertanya-tanya mengapa kau dan ibumu harus menunggu. Tenanglah, dik, ibumu sedang mengantre. Mungkin dia sedang menabung, itu pasti untukmu. Atau jika tidak, ibumu akan mengambil uang. Pasti juga itu untukmu.

Kau tak perlu menangis lagi. Antrean semakin berkurang. Aku juga masih menunggu giliran untuk bisa bertemu teller, sama seperti ibumu.

Jangan marah kepada ibumu karena harus menyertakanmu menunggu. Malah seharusnya kau berterimakasih kepada ibumu. Dik, kau telah diajari untuk tahu bersabar. Kau juga diajari untuk mau menghargai hak orang lain. Selain itu, ibumu telah mengajarimu betapa waktu seberharga dengan keberadaanmu. Kau akan paham nanti.

Dik, orang-orang yang kau pandangi itu jenuh dan tak membawamu ke mana-mana. Kau sibukkan saja dirimu dengan permen dan roti yang dibawa ibumu. Bersabarlah, karena waktu akan tiba untukmu.

Salam,
Yang sama-sama menunggu.

(surat hari ke #11 "orang asing dalam foto)

Minggu, 09 Februari 2014

Menjawab Pertanyaanmu

Puji Tuhan kau telah sembuh, Sasi.
Semesta mungkin masih ingin bemain dengan temu kita.

Tak apa. Kata ibuku, aku memang penakut bahkan sejak lahir. Aku lahir siang hari di mana matahari begitu murah memberi cahaya kepada bumi. Dan karena itu pula ibuku memberiku nama matahari; Suvan.

Kalau kukira, mungkin karena letaknya di sudut, bersebelahan dengan mejaku, oleh sebabnya jarang pengunjung memilih meja itu. Tidak seperti aku yang akrab dan mengakrabi sepi ini.

Kau bukan orang pertama yang menanyakan perihal luka di pelipis kiriku ini. Dan seperti biasa, aku akan menceritakannya. Kejadiaannya sekitar 15 tahun yang lalu. Kalau tidak salah aku masih kelas 3 SD. Waktu itu aku sedang belajar di dalam kamar, sampai aku mendengar suara ayahku yang meninggi dan isak tangis ibuku yang tertahan mungkin ibu tak mau aku mendengar ia menangis. Lalu aku keluar dan melihat tangan ayahku melayang. Aku bukan baja hitam atau power rangers, tapi aku coba untuk melindungi ibu dari tangan ayahku. Aku yang akhirnya terkena pukulan ayah. Tubuhku yang tak lebih dari 30kg waktu itu dengan mudahnya terpelanting dan pelipisku berciuman dengan sudut meja. Lukanya menganga, tapi aku tak pernah mau mengobatinya. Sejak itu, ayahku pergi dan tak pernah kembali. Aku juga tak mengharapkannya lagi.

Aku terluka, tapi ibu jauh lebih terluka. Mungkin hatinya bahkan sudah hancur. Dan kami tak pernah membicarakannya lagi sampai detik di mana ibu akhirnya menemui bahagianya.

Luka ini, jadi tanda sok jagoannya aku. Jadi tanda bahwa luka bisa terus hidup meski waktu telah menguburnya dalam dan lama.

Begitulah, Sasi..

Oh ya, jangan kasihani aku. Dari tubuh ibuku yang matahari, aku telah memperoleh kekuatan yang lebih hebat dari cahaya.

Bahkan matahari di dalam tubuhku nyaris tak bercahaya, saat ibu jantungku dipanah luka.

Jaga kesehatanmu. Kedai ini hanya akan bernama Kayu, jika manisnya tak terjaga dari senyummu itu di sini.

Salam,
Suvan Asvathama.

(Surat balasan untuk Sasi Kirana @_bianglala)

Matahari di tubuhmu

Selamat siang, ma..

Masak apa hari ini? Aku sedang menunggu nasi goreng pesananku. Mungkin kalau aku di rumah, aku bisa pesan apa saja kepadamu. Sebab tak pernah sekalipun tanganmu meracik bumbu yang salah. Tapi di luar sini, aku tak bisa begitu saja percaya dengan rasa masakannya. Makanya, nasi goreng jadi jurus utama dan terakhir yang jadi andalanku untuk memesan menu makanan.

Tenang, ma, aku memesan es jeruk untuk minumanku. Bukan kopi, karena tadi pagi setelah bangun tidur aku sudah menyeduhnya. "Secangkir kopi untuk satu hari", pesanmu. Aku tidak memesan es teh, karena es teh akan melambungkan kangen ini. Kangen yang masih harus menunggu waktu untuk bertemu. Es teh buatanmu kan nomor satu.

Siang ini udara masih terasa dingin. Mungkin karena tadi pagi kabut turun dari gunung, mencari hangat yang seperti senyumanmu, ma. Ah, kan kangenku jadi nambah kalau gini.

Entah, mungkin Tuhan menciptamu dulu bersamaan dengan ulang tahun matahari. Setiap mengingatmu, hangat yang entah dari mana datang tiba-tiba. Kau seperti matahari di pagi setiap aku bangun tidur. Karena kau tepat di sampingku dan membangunkan aku bersamaan dengan cahaya matahari dari jendela. Kadang aku berpikir, bahwa matahari berada di tubuhmu. Kau yang membawa hangat ke dalam aku dan seluruh isi rumah. Dan semua yang di dalam sana teramat betah.

Terima kasih, ma, untuk apa yang tak pernah akan mampu kubalas. Semoga apa  yang telah kulakukan untukmu selama ini, mampu menjaga hangat matahari di dalam tubuhmu. Oh ya, cucunya nanti dulu ya. Aku mencintaimu.

Salam,
Anak sulungmu.

(Surat hari ke #10)

Sabtu, 08 Februari 2014

Lagu sepanjang perjalanan

Ada banyak lagu yang belum kita nyanyikan. Begitu banyak judul yang masih saja kita simpan sepanjang perjalanan. Terkadang aku atau kamu harus kembali mengetuk ingatan, sekadar menemukan lagu-lagu yang dulu pernah singgah dalam waktu. Entah siapa pencipta dan pemilik lagu itu. Hingga kutemukan aku dalm satu waktu bersama masa lalu, atau kamu yang diam menyembunyikan ingatanmu yang bisa kutebak belum ada aku.

Kita selalu menyebutkan beberapa judul lagu. Menyebut satu persatu lalu menyanyikannya, entah hapal dari awal atau sekadar berawal dari mana ingatan kita sanggup mengeja satu demi satu liriknya. Bahkan kita pernah hanya menggumamkan nadanya saja. Kemudian tertawa karena kepala kita tak mampu mengingat sekatapun liriknya.

Pada kepala yang coba mengingat, dan pada  bibir yang coba menerka, kita masing-masing bersimpuh kepada waktu. Ada yang bisa melaju, ada pula yang tiba-tiba berhenti di situ.

Pada sebuah lagu yang mampu kita ingat sepanjang perjalanan, kita akan terus menyanyikannya. Siapa peduli dengan suara parau atau nada yang tak sampai. Kita seperti anak kecil yang sedang gembira menyanyikan lagu bintang kecil. Menyanyikan sampai angkasa, menghiasi hari yang terkadang jemu kita lalui. Dan kita semakin kencang menyanyikannya.

Aku menyaksikan kita begitu hidup. Dalam lagu yang entah ada sangkut pautnya atau tidak dengan hidup kita sebelumnya, kitalah bahagia yang teramat bebas bersuara.

Iya sayang, pada lagu sepanjang perjalanan, aku sering mendapati kita begitu hidup bebas di sana. Mari terus bernyanyi tanpa peduli apa di balik cerita lagu itu. Pun tentang masa lalu yang pernah ikut dalam isi lirik-liriknya. Sebab kini, kitalah lagu yang bersenandung di nada waktu.

Salam,
Kekasihmu dan lagu dengan parau suaraku.

(Surat hari ke #9)

Jumat, 07 Februari 2014

sedikit mengenai aku

Selamat siang, Sasi..

Hari ini aku absen dari sudut menepikan sepi. Ada yang harus kuselesaikan segera. Oleh karenanya, aku hanya mampir sejenak di kedaimu. Sekadar menitipkan surat balasan ini. Tapi aku tetap memesan pisang goreng  madu untuk kubawa pulang.

Semoga sebait puisi kemarin membantu tubuhmu sedikit hangat, selain setangkup roti madu yang kausajikan untuk dirimu sendiri. Semoga kau juga lekas pulih dan kembali.

Tak apa. Sudah tak ada kesedihan jika tentang ibuku. Lagipula, malaikat seperti dia memang harus dikenang sebagai kebahagiaan, bukan? Pun juga tentang semua ibu di ingatan anaknya.

Meja yang hampir pasti sepi itu? Aku bahkan tak terlalu menggubris jika di sana hanya ada tiga kursi saja. Maaf, Sasi, kebiasaan burukku adalah tak terlalu peka dengan sekitar. Bahkan ibuku dulu menganggapku sebagai orang yang paling sibuk dengan dunianya sendiri. Bukan. Aku bukannya egois, hanya karena aku tak suka mengganggu orang lain biar orang lain juga tak akan menggangguku. Mungkin ini sikap yang kelewatan jadi sifat. Tapi karena kau telah bercerita mengenai meja sebelah kiriku, mulai saat ini akan kuperhatikan dengan baik. Atau setidaknya aku akan menghormati entah apa yang ada di sana. Terima kasih untuk info meja sebelahnya. Meskipun aku jadi agak takut sekarang. Aku memang sedikit penakut.. hehehehe

Aku akan terus menulis, sebab di sana, apa saja yang telah tertera takkan hilang begitu saja. Kecuali kau sendiri yang menghapusnya.

Sebab puisi, adalah rumah bagi sepi. Hangat dalam dada ini, disimpan rapi oleh sunyi.

Salam,
Suvan Asvathama

(Membalas surat Sasi Kirana @_bianglala)

dari dalam selimut

Selamat pagi, kesayangan..

Langit begitu mendung pagi ini. Aku yang masih diurapi kantuk, masih juga meringkuk di bawah selimut. Sambil memeriksa ponselku untuk tahu apa kau sudah mengirim pesan untukku . Ternyata sama saja. Layar ponselku kosong dan mendung seperti langit di luar sana. Mungkin aku harus tidur lagi. Mungkin ini juga aku masih bermimpi.

Lalu aku mengambil kertas dan pensil yang semalam kujadikan teman setelah aku pulang mengantarmu. Menulis surat ini, sambil menunggu datangnya matahari. Menunggu pesanmu di ponselku yang pertama kali, hari ini.

Seingatku, tak ada mimpi mampir dalam tidurku tadi. Aku sangat lelap. Apa karena kau memelukku sebelumnya? Atau karena ciumanmu di tubuhku? Yang pasti karenamu seluruh tubuhku mendapat ketenangan yang begitu dalam. Makanya malam tak perlu bersusah-susah mengirimmu kemimpiku. Dan pagi ini terasa segar sekali, seperti aku habis meneguk es jeruk di siang hari, padahal ini mendung.

Pukul 07.22 sekarang. Tak biasanya kau belum mengirim kabar. Apa kau juga masih berselimut di atas kasurmu? Senyaman itukah juga peluk dan ciumanku semalam untukmu?

Sayang, bangunlah segera. Singkap selimutmu dan kabari aku mengenai pagimu. Sebentar lagi, akan kukirim surat ini beserta matahari. Supaya dingin tak lebih menarikmu ke dalam selimut.

Salam,
Kekasihmu dari dalam selimut.

(surat hari ke #8)

Kamis, 06 Februari 2014

Kangen

Kurasa, aku terlalu banyak minum kopi. Entah sudah lima atau enam cangkir kopi yang masuk ke tubuhku. Lalu malam tampak begitu pagi. Tidur jadi pilihan yang diabaikan. Tatapku berlari sampai kantuk tak mampu menangkap. Mungkin apa yang dicari mataku belum ketemu. Sampai-sampai ia harus lembur seperti ini.

Ini malam kesekian kali, saat kantuk lebih dulu lelah sebelum mampu sampai di ujung mataku. Mungkin ia mencari kamu. Berharap satu kedipan saja kamu ada di dalamnya. Tapi tak ada. Kopi boleh kutambah lagi?

Waktu beranjak, meninggalkan masa lalu. Kopi jadi candu, atau sesungguhnya kaulah itu. Malam tak juga pagi. Kulihat keluar jendela, bintang meredam sepi. Ramai sekali di langit. Andai saja ada yang mau menendangku ke sana, atau ke tempatmu sekalian. Aku tak perlu susah-susah mencarimu, dan menambah kopi lagi.

Jika kangen itu mudah, mungkin aku tak perlu lagi kopi seperti ini. Di dalam cangkir ini seperti banyak sekali pertanyaan yang harus segera diberi jawaban. Apa pertanyaan-pertanyaan ini tak bisa larut bersama air panas yang menjerangnya tadi?

Kamu bisa membantuku menjawab? Sebelum pertanyaan yang sama datang kembali saat pagi, saat aku tak bisa tidur lagi.

Salam,
Kangen yang bandel

(surat hari ke #7)

Sebuah cerita dan sebuah puisi

Rupanya kau belum sembuh. Pantas nyala dapur sedikit remang, mata jingga rembulan itu tak di sana. Istirahatlah sampai kau sembuh benar dan kedai ini mendapat kembali satu cahayanya.
Tenanglah, pisang goreng madu selalu tersaji di mejaku. Anto dan yang lain melayaniku dengan sangat baik. Bahkan mereka selalu mampu menyebut pesananku sebelum aku mengucap satu suku kata saja.

Ah, kau tak suka teh rupanya. Pasangkan saja madu dengan air hangat atau sepotong roti kalau begitu.

Ibuku? Ia ada di rumah menjagaku. Menjaga dengan kenangan yang tinggal di rumah ingatanku. Ibuku telah berada di surga, Sasi. Tiga tahun lalu, saat aku merayakan hari lahirku yang ke dua puluh. Ia pergi dengan senyumnya yang selalu menjagaku hangat. Tapi aku bahagia, setidaknya aku tahu ia ada di surga. Lebih nyaman daripada harus tinggal bersamaku yang tak jelas seperti ini. Sepertinya aku terlalu banyak bercerita, dan tak biasanya aku mau bercerita. Nanti kusampaikan salammu.

Oh ya, aku menggunakan sapa aku-kamu. Bukan 'saya' seperti sebelumnya. Kurasa hal itu cukup kaku untuk perbincangan seumur kita. Tak apa, kan? Aku tak bermaksud apa-apa.

Ehm.. Sepasang kekasih itu? Aku tak hapal benar, tapi aku tahu mengenai si puan. Hanya saja aku terlalu keras kepala untuk mau mencampuri urusan orang lain. Aku hanya sebentar menyaksikan mereka berdebat mengenai entah apa, waktu suara si puan lebih tinggi dari nada suara balon yang meletus karena tertusuk jarum. Kepalaku sendiri rasanya sudah penuh isinya. Untuk apa memedulikan yang akhirnya malah tambah memenuhi isi kepalaku? Si puan ini mungkin juga seperti aku, yang memilih sibuk sendiri dengan sepinya. Beberapa kali kudapati dia lindap dalam sofa depan. Mungkin kekasihnya baru sebentar memiliki waktu untuk mengenal.

Ada sebait puisi hari ini untukmu. Sebagai hadiah, semoga kau lekas pulih dari sakitmu. Semoga berkenan. :)

Kau di sini, beserta muram langit ditiupi angin. Dan musim sedang langut, kau dalam puisi ini selalu bertaut.

Salam,

Suvan Asvathama

(Membalas surat Sasi Kirana @_bianglala)

Kepada perempuan yang akan dipanggil ibu

Mungkin akan kusimpan dulu surat ini. Menaruhnya di tempat rahasia, yang hanya diketahui aku dan beberapa burung gereja, sebab mereka sering mengintip dari jendela. Namun tenanglah, mereka akan menyimpan rahasia sampai kau sendiri yang membuka dan membacanya.

Ini adalah harapan-harapan yang akan kuusahakan bisa terjadi kepadamu. Aku akan ada di sisimu.
Saat nanti kau dipanggil ibu. Semoga kau tak menyusahkan anak-anakmu untuk bernapas. Jangan merokok, sayang. Ini juga untuk kesehatanmu. Semoga kau bisa merawat anak-anak sampai renta usia meringkihkan tubuhmu.

Semoga kau tak malas membaca apa saja, supaya nanti anak-anak tak harus berkutat hanya pada telpon pintar dan komputernya saja. Atau kau harus menyewa guru les yang mahal sekali harganya. Jika kau pandai, mereka akan memilih belajar bersamamu, sambil memeluk dan menciumi dadamu.

Semoga kau tetap memegang adatmu, sehingga di manapun nanti kau membesarkan anak-anak, mereka takkan lupa dari mana mereka berasal dan paham bahwa sungguh mereka adalah manusia yang kaya akan budaya.

Ajari pula anak-anak untuk menabung. Supaya mereka mempunyai simpanan untuk masa depannya. Asal bukan jadi 'simpanan'.

Aku tidak tahu harus menasehatimu apalagi. Sejak aku membayangkan aku punya anak, aku jadi ingat kau. Kau akan lebih banyak bersama mereka di rumah. Bahkan separuh hidupnya atau lebih, akan mereka habiskan di pelukanmu. Simpanlah segala perihal kebaikan. Ketika nanti datang badai, kau punya pilar untuk pegangan. Dan rumah takkan rubuh.

Ini hanya harapan-harapanku. Sampai nanti anak-anak kau miliki, dan cangkir usia menuang senjanya sendiri, kau punya rumah seluas cakrawala dan anak-anak adalah cahaya yang terus melindungimu. Sampai tiada.

Salam,
Harapan

(Surat ke #6)

Selasa, 04 Februari 2014

waktu akan membawa kita

Hai,
Terima kasih untuk berkenan membaca surat ini. Semoga kau tak merasakan gemetarnya tanganku saat menulisnya. Seperti detak jantung kekasih yang akan menemui kekasihnya untuk pertama kali. Darah di dalam tubuhku seperti di dorong naik turun dari kepala hingga telapak kakiku.

Apakah jatuh cinta sekuat ini? Dan aku merasakannya terhadapmu berulangkali. Mungkin kau tak pernah tahu, karena jarak ada di antara kita sedemikian jauh, tapi tak apa karena aku yakin kau juga.

Entahlah, aku mencintaimu dengan atau tanpamu di sini. Kita menyepakati jarak, menaruh percaya kepada waktu  yang terus berdetak. Oh, aku menuliskan ini dengan detak jantung seorang penonton sepak bola yang menyaksikan tim kesayangannya melakukan adu penalti. Antara yakin akan kemenangan dan sorak sorai setelahnya, dan kecemasan akan kekalahan yang harus mampu diterimanya.

Setibanya aku menjejak tanah kotamu, nanti, aku akan rela membiarkan tubuhku dipenuhi gemetar asal tubuhmu rela untuk kupeluki. Segera aku akan menuju kotamu. Mendamaikan kangen yang sebelumnya seperti dimusuhi waktu; tak ada ijin untuk menemuimu.

Terima kasih kau telah bersedia menunggu.
Segera aku akan menghapus jarak. Supaya kau dan aku tak pernah jauh, bahkan jika dibandingkan dengan spasi dalam tulisan ini.

Salam,
Aku dalam jarak.


(Surat ke #5)

semacam kehilangan

Selamat siang, Rahne Putri..

Sekali lagi aku memberanikan diri untuk menulis surat (cinta) dalam #30HariMenulisSuratCinta untukmu, meskipun aku bukan Zarry yang kata-katanya bisa mmbuat jatuh hati.

Rahne, aku tak menghitung benar berapa lama kata-katamu tak lagi tampak menari-nari di linimasa, tapi kurasa sudah cukup lama tak ada. Mungkin kau sibuk dengan pekerjaan dan hidupmu, yang pasti membahagiakanmu, bukan? Hanya saja ada rasa yang ingin tahu; mengapa kau tak selalu ada, mengapa kata-katamu tak lagi meramaikan linimasa. Tapi aku selalu terhibur dengan tebak-tebakanmu yang kadang harus membuatku sebentar diam untuk mencernanya menjadi tawa. Maaf. Tapi aku selalu berhasil tertawa.

Baiklah, Rahne, aku tidak tahu harus mengutarakan apalagi, sedang angin di sekitarku seperti cepat mengirimku ke kutub selatan. Aku kedinginan karena tak juga menemukan tulisanmu memeluk hangat mataku yang membaca.

Semoga kebahagiaan terus menjagamu, seperti kau yang menjaga kata-kata dalam buku bersampul merah jambu yang tak pernah bosan kubaca.

Terima kasih, Rahne. Kata-katamu seringkali menemani kesendirianku, seperti daun menaungi embun dan membiarkannya berlindung hingga hari terus bersambung.


Salam,
Rahnesia

(Surat ke #4 untuk selebtwit)

Senin, 03 Februari 2014

menu dari sudut kedaimu

Baiklah, akan saya panggil kau Sasi saja, sesuai permintaanmu. Saya hanya tidak ingin lancang terhadap orang yang belum saya kenal sebelumnya. Begitu pula, sebaiknya kau memanggil saya dengan Suvan, saja. Tanpa embel-embel tuan. Saya rasa kita tak terlalu berbeda usia.

Anto memberitahu saya perihal ketiadaanmu di kedai waktu itu. Cuaca memang sedang tak bersahabat. Hujan bertandang di atas apa dan siapa saja, bahkan tanpa tanda apa-apa. Udara dingin jadi sering menyergap tubuh. Mungkin kau harus mencoba teh madu yang biasa ibu saya seduhkan, saat flu sedang mendera saya. Cukup untuk membuat tubuhmu hangat seharian. Lekas sembuh, Sasi.

Mengenai pertanyaanmu mengenai siapa saya, saya bukanlah siapa-siapa. Jika saja kau seperti mengenal saya, mungkin kau menemukan saya sebagai seseorang yang pernah mengisi hidupmu sebelumnya. Entahlah. Saya hanya pengunjung di kedaimu yang nyaman untuk melemparkan kata-kata dan menangkapnya pada tiap goresan tinta. Yang pada akhirnya mereka akan saya sembunyikan di satu sisi cahaya matahari yang tak mampu ditangkap bulan atau benda langit lainnya.

Saya akan terus menjadi pengunjung di kedaimu. Kopi-kopi yang saya pesan di sana rasanya tak ingin saya ceraikan dari lidah saya. Juga pisang goreng madu yang sering kali menemani saya melewati senja.

Kopi istimewa? Rasa-rasanya saya harus mencobanya. Nanti saat saya berkunjung lagi, saya pesan satu untuk mengisi ruang di meja sudut menepikan sepi, juga untuk turut mencabuti kata-kata yang tertanam begitu dalam di kepala ini.

Salam,
Suvan Asvathama


(Membalas surat Sasi @_bianglala)

Minggu, 02 Februari 2014

mantan kekasih

Sejenak aku diam sambil memandangi layar ponsel yang berisi pesan singkat atas namamu. Apa yang kau mimpikan semalam, sampai-sampai siang ini -- setelah lebih dari 365 hari -- keberadaanmu bertandang di genggamanku lagi. Bukan kopi, petrichor, atau matahari, tapi dari sana kau mampu menguarkan bau khas yang begitu mudah kukenali. Kangen? Mungkin!

Kau tiba-tiba datang, seperti hujan yang akhirnya dimaki-maki ibuku karena jemurannya basah lagi. Tapi aku tidak akan memaki-makimu, meskipun nanti jika kekasihku tahu aku akan sedikit berselisih paham mengenai ini. Ya, aku sudah punya kekasih lagi. Dia menggantikanmu dari tempat kangen yang pernah kau tempati dulu. Tenang, aku takkan membicarakan kekasihku kepadamu. Kau pasti cemburu. Ya, kan?
Hahahaha..

Asal kau tahu, kisah kita dulu bukanlah kisah cinta yang sempurna. Bahkan jalan tol pun bisa macet, kan? Aku juga tidak akan memperdebatkan lagi tentang siapa yang salah, sampai akhirnya kita memilih berpisah di persimpangan. Ada baiknya kita saling memahami bahwa kita tak ditakdirkan bersama.

Selamat melanjutkan hidup tanpa aku. Tertawalah karena kau begitu menyenangkan. Aku akan mendoakan bahagiamu, supaya kau juga mendoakan kebahagiaanku. Salam untuk ibumu, dia wanita tangguh yang masakannya akan selalu aku rindukan. Jadilah seperti dia, supaya kekasihmu nanti tak mau melepasmu seperti aku, seharusnya.

Sudah, ya, aku mau menyeduh kopi untuk menghilangkan aroma khasmu yang sedari tadi memenuhi kamar ingatanku.
Terima kasih karena pernah menjadi pernahku.

Salam,
Mantan kekasihmu.



( surat hari ke #3 )

Sabtu, 01 Februari 2014

hujan musim ini

Hujan, sayang. Teras atas banjir tempias. Aku di dalam kamar mendengarkan lagu kesukaanmu dan menulis surat ini untukmu. Rupanya hujan sedang gemar bermain musim ini. Bumi tak henti diberinya basah. Dan aku flu.

Tenang. Kau tak perlu khawatir. Ini flu yang hanya akan membuat hidungku tersumbat untuk beberapa hari saja. Tidak akan mengurangi kangen dan sayangku untukmu.

Kau tahu aku tak suka obat, maka aku menyeduh segelas madu hangat dan sesekali menghirup inhaler seperti yang kau sarankan waktu flu bertamu di tubuhku semusim hujan lalu.

Aku tak mau mengeluh tentang flu yang tak seberapa ini. Sungguh tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kangen yang jatuh bertubi-tubi di dadaku, seperti hujan menghempas deras di atap rumahku yang seng. Kau paham betapa berisiknya suara itu di kepalaku dan aku harus mampu dan mau menikmatinya sampai reda.

Sayang, semoga hujan yang sedang senang bertandang tak juga menitipkan flu di tubuh lembutmu itu. Minumlah madu dan terus mengingatku. Selagi jarak belum mampu kita tempuh, semoga musim tetap menjaga kangen untuk terus bermukim.


Salam,

Kekasihmu yang sedang flu.


( Surat hari #2 )

maaf merepotkanmu

hai,

Terima kasih, nona, sudah menemukan sebagian isi kepalaku yang tak sengaja tertinggal. Saya sempat tak yakin akan kembali, terlalu ragu untuk dapat meyakini masih ada kebaikan pada waktu sekarang ini. Dan maaf, saya salah mengira. Kau baik, nona.

Kertas-kertas yang kau baca itu hanyalah kata-kata dari dalam kepalaku yang lantang dan bebal ingin keluar. Maka di sanalah mereka akan berumah. Tinggal dan diam. 

Mengenai pergi dan ketergesaanku, sampai-sampai harus merepotkanmu seperti ini, kau tak perlu tahu. Yang pasti sudah kubayar kopi yang tak habis kuteguk, yang wanginya saja masih menguar.

Nona Sasi, nama yang tertera di akhir surat kemarin, jika tak salah mengira, mungkin kau adalah perempuan di sudut dapur yang sering kulihat tanpa sengaja saat aku memesan kopiku. Matamu yang jingga rembulan selalu menarik perhatian saya, dan bahkan mungkin pengunjung Kayu Manis lainnya.

Kedaimu, nona, seperti rumah kedua bagi saya dan juga puisi-puisi yang akhirnya lahir di atas meja yang kau namai sudut menepikan sepi itu. Kau pandai memilih musik, sampai saya betah dan nyaman di kedaimu. Atau selera musik kita sama?

Saya titipkan surat ini pada salah satu pelayan. Kau tidak terlihat di sudut dapur hari ini. Terima kasih, nona. Mungkin lain kali akan saya tuliskan sebait puisi untuk nona.

Salam,

Suvan Asvathama

(membalas surat Sasi Kirana @_bianglala)

Jumat, 31 Januari 2014

lelakimu

Aku berada di teras atas, di tempat di mana aku biasa menghabiskan sore jika aku sedang berada di rumah. Dari sini aku bisa melihat pohon-pohon dan memastikan mereka tetap lebih tinggi dari atap-atap rumah milik tetanggaku. Tidak ada hujan sore ini, oleh sebabnya hanya angin yang mampir untuk menyapaku dan tak sengaja membuat dingin kopi yang baru lima menit lalu kuseduh.

Mungkin, jika kau di sini, aku takkan kesal dengan angin yang keterlaluan membuat kopiku begitu cepat dingin. Namun tak apa, kau masih ada dalam ingatanku dan membuatmu hangat meski sebentar.

Aku sedang tak membawa kalender, maka tak hapal benar sudah berapa lama kita jauh dari sua. Teras atas ini mampu  menenangkan kangen yang dengan ajaib tiba-tiba bisa menghadirkanmu dalam bentuk apapun. Desau angin sore ini, misalnya.

Sayang, lelakimu ini bukan seorang pemberani. Lelakimu, aku, lebih memilih tinggal dan bersua dengan dingin angin di teras atas, daripada menemui hangat peluk perempuan lain. Lelakimu ini sungguh ciut nyalinya untuk meninggalkan janji.

Sayang, dari langit utara sepertinya hujan akan datang, dan petang kian menepati malam. Aku tak mau surat ini basah sebab tempias. Kau harus membaca apa yang kutulis, karena di dalamnya ada kangen yang begitu kamu.


Salam kangen,

Lelakimu.


(#30HariMenulisSuratCinta #1)