Sasi,
Untuk pertama kalinya aku menulis puisi bukan untuk kekasihku, atau yang kau sebut nona matahari itu. Rasanya sungguh berbeda, apalagi puisi itu mengenaimu. Debar di dadaku jauh lebih bergemuruh. Aku tak tahu alasannya. Ada rasa sesal. Bukan, bukan karenamu, tapi sesal mengapa tak kutulis sejak dulu pertama aku melihatmu.
Menulismu sebagai puisi mengantarkan aku pada jalan menuju padang rumput yang hangat. Kau sinar itu. Tidak, aku tak menggombalimu. Mana bisa aku gombal, bahkan merayu kekasihku saja aku tak sanggup.
Sasi,
Aku senang kalau kau membaca puisiku berulangkali. Gemetar tanganku terbayar lunas. Terima kasih.
Oh ya, sudah berapa kali kita bertukar surat? Bukankah kita seringnya berada di tempat yang sama? Tidakkah kau mau bertemu denganku? Mungkin kita bisa bertukar cerita. Aku mau tahu kau dapat resep dari mana, sampai membuatku betah seperti ini. Tapi aku tak memaksamu. Seperti biasa, aku ada di sudut menepikan sepi. Setiap senja.
Salam,
Suvan Asvathama
(Membalas surat Sasi Kirana @_bianglala)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar