Sabtu, 29 November 2014

Jarak

Kita tidak hidup di jalan. Tapi kerikil, aspal dan trotoar fasih dengan telapak kaki kita. Begitu juga para pengemis di beberapa persimpangan yang hapal benar kapan aku atau kamu bergantian bertandang, dan mereka begitu gembira kita lewat di sana.

Aku pikir inilah waktu di mana kita tak pernah lelah berangkat atau menunggu. Waktu di mana perihal kau pulang adalah debarku, dan waktu di mana perihal kau pergi lagi (meski berkali-kali) adalah doa-doa yang semakin meneguhkan doaku. Dan kangen yang jatuh setelahnya bukanlah pisau yang akan sanggup membunuh aku.

Ada beberapa kegelisahan yang mungkin tak kamu tahu. Kegelisahan yang menemani tidurku sampai kamu kembali lagi. Kegelisahan yang panjangnya lebih dari waktu tungguku atau tempuhanmu kepadaku. Tapi kuharap, kegelisahan ini tak ikut ke kotamu dan menemani hari-harimu. Sungguh rasanya tak mengenakkan, seperti aku harus menelan brokoli yang ibu beli dari pasar pagi tadi.

Di antara jauh yang harus kita tempuh, kita sering menertawakan kangen yang begitu bayi, sebab selalu merengek minta peluk. Atau mengelus dada, waktu kangen merajuk dan meminum asin airmatanya sendiri.

Maka satu-satunya cara, kamu dan aku harus terus saling menghidupi dengan doa-doa dan tak pernah berhenti cuma di sana, sampai jarakmu dan jarakku tinggal satu spasi denyut nadi.

(Hey There Delilah - Plain White T's / LDR / #Puisi7Lagu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar