Rabu, 12 Februari 2014

Pantai dan Jejak Kakimu

Siang yang hening..

Surat ini, sayang, kukirim lewat laut yang sepi. Mungkin saja ombak sedang tertidur. Musim sedang langut, angin larut di antara air yang surut. Apakah nanti surat ini akan dibaca, atau sekadar sebagai pengisi samudera.

Sayang, jika kau ingat tentang pagi dan keterjagaanku di pantai. Tentang getir yang sampai saat ini masih saja satir. Aku tak juga berani membayangkan pagiku tanpamu. Ketika waktu itu, tiba-tiba sebutir pasir masuk ke mataku, dan aku menangis. Pasir sialan itu masih saja turut jika aku membayangkan kepergiaanmu. Padahal kacamata sudah kukenakan setiap waktu.

Kakimu mencipta jejak. Menyapu sepi seluruh tepi. Laut menyibak ombak, persis saat kau menyibak rambut hitammu. Betapa cantiknya. Betapa aku tak lagi-lagi sanggup untuk membayangkan pergimu.

Apakah aku harus menambal seluruh pantai? Membangun benteng demi sisa jejakmu dan menjaga semua yang sudah ada. Aku mencintai pantai ketika kau pertama kali mengecupkan bibirmu di dadaku. Dan sebuah muara menjadi dua di ujung mataku.

Demikianlah, sayang, pantai dan jejak kakimu adalah cermin yang memantulkan surga. Jika pergimu ada, maka pecah dan lukalah bahagia.

Tetaplah bersamaku, sampai kita dan laut kehabisan waktu.

Salam,
kekasih yang takut kehilangan kamu.

( surat hari ke #12 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar