Rabu, 19 Februari 2014

Sebuah Cerita yang Kedua

Selamat siang, sayang. Sudahkah kau baca surat dongengku yang kukirim sebelum surat ini? Semoga kau paham apa yang kutulis. Dongeng yang kubuat sendiri, dongeng yang isinya tentang apa yang kualami sendiri. Dongeng tentang kau.

Sekali lagi aku mengirimimu surat. Aku ingin bercerita tentang seorang asing yang kutemui saat aku sedang lemah-lemahnya waktu itu. Kau harus tahu bagaimana dia sanggup membantuku berjalan, bahkan sekarang aku mampu berlari.

Aku bertemu orang asing itu di tepi pantai, waktu senja hampir saja tiba. Kira-kira jam lima lebih dua puluh menit. Dia mengenakan bando warna merah di kepalanya. Dia cantik, dan sungguh menenangkan jika melihat wajahnya, meski hanya sekilas. Tiba-tiba saja aku ingin jadi salah satu rambutnya. Selain bando yang menjadikannya indah, tangannya begitu lembut menyibak helaian hitam ikal itu. Seperti lidahmu saat menyentuh eskrim.

Selepas senja, aku melepas kegelisahanku bersamaan dengan melihatmu yang tetap di situ. Aku mengikuti angin dengan menujumu. Berusaha tak merusak nyamanmu, aku menyapa dengan santun. "Boleh kujadikan kau sebuah sajak bersama senja dan pantai ini, Nona?" Dia kebingungan tapi mengangguk.

Sejak anggukannya, dia selalu jadi sajak di tiap aku menulis. Di tiap aku ingin meninabobokan gelisah. Sampai pada akhirnya aku bertemu dengan hari yang lagi-lagi mempertemukannya denganku, meski tak di pantai dan waktu senja.

Keberanianku melebihi Bima Satria Garuda saat melawan monster-monster suruhan Rasputin untuk menumpas kejahatan. Menemuinya untuk yang kedua kali ini sungguh di luar dugaanku, dan tak kuduga juga aku seberani itu. Senjataku hanyalah secarik kertas dan sebuah pena,  ditambah kegigihanku tentang mimpi-mimpi mengenainya. Hanya sebuah ingatan dan sajak-sajak yang terus kutuliskan membuaku jatuh cinta.

"Nona, bersediakah kau jadi nama yang selalu ada dalam sajakku. Seumur hidupku?"

Dia tak menjawab, dia hany memelukku untuk pertama kali yang lama. Aku tidak tahu apa yang membuatnya jatuh cinta kepadaku. Yang aku tahu, dia begitu tulus sampai aku dengan mudahnya melepas kegelisahan yang selama ini lekat dengan dadaku.

Ini ceritaku. Sayang, setelah kau membaca surat ini, pakailah bando warna merah yang kuletakkan di laci meja rias kamarmu. Dan temui aku di pantai senja nanti.

Salam,
Aku.

(surat hari ke #20)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar