Aku ingin bercerita kepadamu. Kusampaikan saja lewat kata-kata, supaya kelak jika kau ingin mengulang ceritanya lagi, kau tinggal membuka surat ini. Kau juga bisa membacakannya kepada anak-anakmu yang bisa jadi adalah anak-anakku juga.
Suatu kali dari langit jauh di atas sana, sebuah bintang jatuh menuju rumah. Waktu itu sudah malam, tepat setelah matahari nyenyak selepas siang ia begitu keras mengeringkan jemuran ibuku. Bintang itu sampai di depan rumahku, kuajak saja ia masuk sebagai tamu.
Rupanya bintang jatuh tak memakai sandal atau sepatu, tetapi kakinya bersih dan aku lega tak harus menyapu dan mengepel lantai. Bintang jatuh ini masih mempunyai cahaya yang lekat menempel di matanya. Tiba-tiba dia tertunduk. Kukira ia lelah setelah perjalanan jauhnya dari langit hingga sampai di depan rumahku. Aku berlari ke dapur, mengambilkannya segelas air dan cepat-cepat aku menyerahkan kepadanya.
Ia tak meminumnya, tapi memasukkan beberapa tetes air ke dalam matanya. Ia menangis. Matanya yang bercahaya kini jadi anak sungai. Tidak, tidak ada ikan yang hidup di sana, dan aku tak dapat memancing apa-apa selain kesedihan. Satu lagi, yang membuatku heran adalah kecipak air yang entah dari mana datangnya, yang melahirkan cahaya lebih terang dari sebelumnya.
Di ruang tamu aku menerima bintang jatuh sebagai mata cahaya yang menangis, aku terbangun dari mimpiku dan menemukan bintang lain sedang tertunduk menutupi kesedihan karena ditinggal kekasihnya. KAU.
Semoga kau membaca surat dongeng ini tidak sambil menangis, karena kekasihmu yang nakal itu tak lagi berani menampakkan batang hidungnya. Dan bintang jatuh di dalam mimpiku sudah kuhapus airmatanya.
Salam,
Pemimpi di ruang tamu yang mendapati bintang jatuh itu sebagai kekasihnya kini.
(surat ke #19)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar