Minggu, 28 April 2013

kota masa lalu

Kita dulu tinggal di sini dan saling mencintai. Membiarkan debar riuh tumbuh disemai temu tanpa pernah jauh.
Kita dilahirkan di atas tanah gembur milik ibu, kepunyaan petani-petani rindu.

Suatu kali kau kembali, dan mengulang kisah sore tentang hujan di penuh kepalaku.
Aku tertunduk di ramai jalan dan sinar lampu kota, juga gerimis yang mengetuk-ngetuk.
Ada tawa kukorek dari tatapanmu. Sesenang itu, hening danau tengah kota kepalaku kau sibak dengan dingin keberadaanmu yang lagi.

Aku berlutut. Menatap jalan pulang yang bukan lagi kita, melainkan cahaya. Saja.
Kesedihan jadi benih, penerus baru di hunian kota paling masa lalu.

Semalam, kucatat di gapura kota ini. Bahwa aku terbangun dan menemukan hatimu tercabik senyumku dulu, dan aku dikunjungi lagi musim teratai layu.

Jumat, 26 April 2013

dari sebuah cangkang



Bagian-bagian tubuhmu memaksa keluar. Menumpang kekuatan di alir sekujurmu.
Di bawah payung - entah apa itu - mula kehidupanmu di lindungi, selain keras selubung cangkang.
Siapa menunggumu di luar? Dua tubuh telanjang, entah apa pula yang ditunggu.

Lihatlah, betapa cangkang mencengkerammu erat.
Ia memaksamu tinggal, hingga retak berdarah.
Adakah yang kembali bergetar, selain kepalamu, selain tangan kirimu yang lebih dulu keluar?
dan kau tetap tenggelam tak sampai permukaan.

Apakah dua tubuh telanjang itu mampu menunggu?
Apakah tidak kelahiran dari cangkang menyesatkan dan mampu menuntaskan kesedihan-kesedihan yang lebih dulu tetas?

Sesudahnya,
tinggal kehidupan yang harus kau reka, tanpa kepedihan.



( dari lukisan Salvador Dali - Geopoliticus Child Watching the Birth of the New Man)

Selasa, 23 April 2013

telanjang kerapuhan



Tahukah kamu rasa sang kesepian yang berulang kali membaca seraut puisimu -- membuat kegaduhan dalam sangkar ingatan tak hendak penyangkalan. Pun pendar mesin-mesin waktu berlompatan pernah mencuri; mencari-cari tepat masa temu yang denyar.

Tiba-tiba menguak pernah disebut rindu. Berlompatan dentum dari dada berdinding batu ke dinding batu -- terhenti pada aksara terakhir, menakik pilu yang tak terlalaikan, meluntahkan ngilu dimampatkan kebas rasa.

Kini di mana kausembunyikan remah-remah cangkang penyesalan?

Semoga tidak di kepalamu, biar beda yang tumbuh. Seumpama sangkar-sangkar burung rapuh, mengapit tali jahitan yang menali-pitakan  ingatan dengan deguban.

Aku menandai pilu dalam diam tubuhku, dengan telanjang kerapuhan. Memangku doa-doa. Sesekali memecahkan cangkang waktu, menengok adakah lalaimu mampat di situ.

Sungguh, tiada kepuraan tersaji dari rapuh meja dan kursi tempatku duduk dalam kesendirian tanpamu.


( @_bianglala dan @dzdiazz )
-memuisikan foto karya Jamie Baldridge-

Senin, 22 April 2013

menanggung asa

Waktu melaju, kau menua, aku kian renta
Masa lalu tinggal, tetap pada umur terjadinya
Pada cinta pertamanya, pada mula luka-lukanya

Tidak berubah dan terus menetap
Siapa menyangka, ia tetap hidup sehat untuk ingatannya?
Tidak sakit, apalagi mati

Oleh karenanya, benteng senyum kubangun tinggi-tinggi.
Kokoh
Di masa depanku, supaya tabah kamu
Tidak mengenal sedihku

Kubiarkan mabuk anganku dengan keberadaanmu
Dan masa depan jadi kitab bacaan
Untuk doa sebelum lagi dihadiahi luka

Kita, yang dinikahkan cinta.

Sabtu, 20 April 2013

hujan sedari siang

Dengarlah,
Nyaring tetes hujan di atapmu
Gelisah
Sejak tetesan ke satu
Sampai ke sekian puluh ribu

Tak berhenti
Memandu luka
Mengabdikan diri

Rindu

Perlahan-lahan
Pasti
Sampai
Lebih dulu
Sebelum henti hujan
Sedari siang

Jumat, 19 April 2013

aku sendiri

Malam hujan, gigil sampai ngilu sendi-sendi
Di teras atas, ramai aku sendiri
Juga denting gelas aduan sendok
Wedang jahe masih mengepul, tegas

Hangat menyeruak, dari kesedihan ke kesepian
Ingat caranya merajuk, apel yang kukupas sudah berubah warna
Dari putih pucat ke lemas coklat
Masih ramai sendiri, kenangan pasi
Tak berkabar dari serbuk bintang

Aku barangkali,
Hening dan pergi yang kau amini
Sampai kopi enggan menyajikan diri
Dan malam selesai tanpa mampu kuakhiri

menanti lupa

Anak lelaki berpeluh penuh itu,
termangu memeluk harapannya.
Paksaan hidup membuatnya terbiasa menahan gemuruh perutnya.

Kedua lengannya mendekap lututnya.
Kedua matanya tertuju pada tong besi berkarat di sudut luar kedai.
Di dalam kepalanya berkecamuk angan,
mengenai sisa-sisa butiran nasi,
atau satu - dua potong saja sisa kue bolu.
Apa saja, ia mengiyakan.

Lalu hujan.
Di sana, jatuhlah pula satu amin.
Tak perlu lagi menunggu sisa teh manis.
Tangannya tengadah, mengumpulkan tetes demi tetes,
menghabisi kering kerongkongannya.

Ia menanggung hidupnya sendiri.
Keberadaan yang baginya tak perlu ditangisi.

Ibu, angannya; adalah pelukan di kala tidur llapnya.
Ayah, di pikirannya; siapa saja asal membuatnya kenyang.

Lalu lelaplah ia di teduh pohon seberang kedai,
sampai laparnya lalai.

Senin, 15 April 2013

Kupikir ini rindu

Semalam aku memimpikan kamu. Lagi.
Dan pagi aku terbangun, cericit burung ramai sampai angin lembut-lembut menyapa kepalaku.
Ada yang diam mematung; cahaya matahari dan aku yang masih memangku bunga pejam semalaman, sampai lupa mandi pagi.

Satu deguban, menampar lamunku.
Terperanjat pada waktu yang menyadarkan, bahwa sudah lebih dari enam puluh delapan hari aku tak menemu tatap matamu.
Aku menghitung dengan benar sejak pergimu. Sejak harus kutata sendiri rindu-rindu yang terus merengek setiap hari.

Aku menatap tiap detik jarum jam yang terus berputar.
Membiarkan sel tubuhku menahan sesuatu untuk berseru.
Kamu hanya mengirim kata-kata dari kumpulan huruf rindu penenangmu--penghiburku.
Jawabanku; "pun juga aku kepadamu", begitu selalu.

Jumat, 12 April 2013

bertumpuk

Ada kalang kabut di sana
Entah di bagian mana, di antara ketiadaan dan harapan
Saling penuh memenuhi, dan aku sesak

Aku hanyalah keberadaan yang tak berada
Sedang kau, ingatanku dalam segala rupa

Apa hendak kuhapus, jika lemparan-lemparan ada telah begitu nyata
Seperti kanvas yang telah yang telah dikawini tinta
Siapa rela menceraikan indah lukisan?

Kau adalah bagian, di mana tanganku dengan teguh merebahkan warna-warna, hingga rupa.
Kaulah warna, tumpukan yang kujadikan rupa dari cahaya ke asa.

Senin, 08 April 2013

menulis itu menumbuhkan

menulis itu menumbuhkan,
Tepat, seperti menanam biji ide-ide yang berjatuhan dari buah pikiran. Ke dalam tanah kata-kata semuanya disuburkan. Ada banyak hal yang pada akhirnya bisa tumbuh menjadi sesuatu yang tak pernah terduga sebelumnya. Bisa saja, apa yang ide yang kau tanam dengan sederhana, menumbuhkan ide lain yang berjalan dengan sangat luar biasa.

Menulis itu menumbuhkan,
Terkadang, buah pikiran yang didiamkan akan menjadi basi dan jadi onggokan-onggokan lupa tak berguna. Lalu, ada tangan lain yang menjadikannya karya dengan gagasan yang hampir sama, pada akhirnya kita hanya jatuh pada penyesalan. Menulislah, apa pun yang mampu kautulis. Dari kata-kata bisa kautumbuhkan ingatan-ingatan dan menjaga kepunyaan dari bidikan kehilangan.

Menulis itu menumbuhkan,
Jika tidak menumbuhkan apa pun di mata orang lain, setidaknya dengan menulis catatanmu sendiri, dapat menumbuhkan keberadaanmu. Seperti sebelumnya, menulis mampu menumbuhkan ingatan-ingatan mengenai apa yang pernah kau lakukan. bahkan tentang harapan-harapan yang kau inginkan, yang sama sekali belum terjamah laku. Lewat tulisan, apa yang sudah terlewati bisa jadi catatan yang sangat berharga. Masa lalu yang pernah hidup, tumbuh di sana meski tak terjaga. Pun mengeai masa depan yang ingin digapai. Tulis, dan beri catatan kemauan. Langkah menggapainya akan lebih mudah dan teratur.