Selamat siang, ma..
Masak apa hari ini? Aku sedang menunggu nasi goreng pesananku. Mungkin kalau aku di rumah, aku bisa pesan apa saja kepadamu. Sebab tak pernah sekalipun tanganmu meracik bumbu yang salah. Tapi di luar sini, aku tak bisa begitu saja percaya dengan rasa masakannya. Makanya, nasi goreng jadi jurus utama dan terakhir yang jadi andalanku untuk memesan menu makanan.
Tenang, ma, aku memesan es jeruk untuk minumanku. Bukan kopi, karena tadi pagi setelah bangun tidur aku sudah menyeduhnya. "Secangkir kopi untuk satu hari", pesanmu. Aku tidak memesan es teh, karena es teh akan melambungkan kangen ini. Kangen yang masih harus menunggu waktu untuk bertemu. Es teh buatanmu kan nomor satu.
Siang ini udara masih terasa dingin. Mungkin karena tadi pagi kabut turun dari gunung, mencari hangat yang seperti senyumanmu, ma. Ah, kan kangenku jadi nambah kalau gini.
Entah, mungkin Tuhan menciptamu dulu bersamaan dengan ulang tahun matahari. Setiap mengingatmu, hangat yang entah dari mana datang tiba-tiba. Kau seperti matahari di pagi setiap aku bangun tidur. Karena kau tepat di sampingku dan membangunkan aku bersamaan dengan cahaya matahari dari jendela. Kadang aku berpikir, bahwa matahari berada di tubuhmu. Kau yang membawa hangat ke dalam aku dan seluruh isi rumah. Dan semua yang di dalam sana teramat betah.
Terima kasih, ma, untuk apa yang tak pernah akan mampu kubalas. Semoga apa yang telah kulakukan untukmu selama ini, mampu menjaga hangat matahari di dalam tubuhmu. Oh ya, cucunya nanti dulu ya. Aku mencintaimu.
Salam,
Anak sulungmu.
(Surat hari ke #10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar