Puji Tuhan kau telah sembuh, Sasi.
Semesta mungkin masih ingin bemain dengan temu kita.
Tak apa. Kata ibuku, aku memang penakut bahkan sejak lahir. Aku lahir siang hari di mana matahari begitu murah memberi cahaya kepada bumi. Dan karena itu pula ibuku memberiku nama matahari; Suvan.
Kalau kukira, mungkin karena letaknya di sudut, bersebelahan dengan mejaku, oleh sebabnya jarang pengunjung memilih meja itu. Tidak seperti aku yang akrab dan mengakrabi sepi ini.
Kau bukan orang pertama yang menanyakan perihal luka di pelipis kiriku ini. Dan seperti biasa, aku akan menceritakannya. Kejadiaannya sekitar 15 tahun yang lalu. Kalau tidak salah aku masih kelas 3 SD. Waktu itu aku sedang belajar di dalam kamar, sampai aku mendengar suara ayahku yang meninggi dan isak tangis ibuku yang tertahan mungkin ibu tak mau aku mendengar ia menangis. Lalu aku keluar dan melihat tangan ayahku melayang. Aku bukan baja hitam atau power rangers, tapi aku coba untuk melindungi ibu dari tangan ayahku. Aku yang akhirnya terkena pukulan ayah. Tubuhku yang tak lebih dari 30kg waktu itu dengan mudahnya terpelanting dan pelipisku berciuman dengan sudut meja. Lukanya menganga, tapi aku tak pernah mau mengobatinya. Sejak itu, ayahku pergi dan tak pernah kembali. Aku juga tak mengharapkannya lagi.
Aku terluka, tapi ibu jauh lebih terluka. Mungkin hatinya bahkan sudah hancur. Dan kami tak pernah membicarakannya lagi sampai detik di mana ibu akhirnya menemui bahagianya.
Luka ini, jadi tanda sok jagoannya aku. Jadi tanda bahwa luka bisa terus hidup meski waktu telah menguburnya dalam dan lama.
Begitulah, Sasi..
Oh ya, jangan kasihani aku. Dari tubuh ibuku yang matahari, aku telah memperoleh kekuatan yang lebih hebat dari cahaya.
Bahkan matahari di dalam tubuhku nyaris tak bercahaya, saat ibu jantungku dipanah luka.
Jaga kesehatanmu. Kedai ini hanya akan bernama Kayu, jika manisnya tak terjaga dari senyummu itu di sini.
Salam,
Suvan Asvathama.
(Surat balasan untuk Sasi Kirana @_bianglala)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar