Rabu, 26 Maret 2014

kau

Kau secangkir kopi panas hitam pekat di meja kerjaku. Mengepul sejak pagi sampai sore atau senja hidup dari pekat panas yang kutuang lagi.

Kau alir sungai yang dijatuhi daun-daun kuning guguran dari pohon di tepian. Meramaikan riak dan dingin batu-batu keras yang entah pada hujan ke berapa akan pecah dan terbelah.

Kau buah apel. Baru saja dipetik dari kebun ayahku. Menumpuk berton-ton dan menyembunyikan para petani dari kelelahan merawatmu. Kegembiraan dari tetesan keringat yang menjagamu. Laba.

Kau kata-kata yang pada akhirnya kutulis dari diam kepalaku. Jari-jariku menjadi penurut seperti orang-orang yang dibayar lima puluh ribu rupiah untuk ikut meramaikan kampanye di lapangan-lapangan.

Kau.

~ teras atas, 26 maret 2014

Kamis, 13 Maret 2014

Dari Tepi Danau

Aku mendengar kecipak di danau sana
Angsa-angsa berenang dari tepi ke tengah
Aku penasaran dan menerka mengenainya

"Adakah mereka tak khawatir jika tenggelam
sedang danau begitu dalam dan hening
pun sayap-sayap mereka terlalu lembut bulunya."

Aku masih menyaksikannya dari kejauhan
Dari tepi berlawanan sisi
Lalu mengingatmu

Kau begitu cemas akan waktu
Berhari-hari denganku hanya berkubang di masa lalu
Mungkin aku harus mengajari ingatanmu berenang
Sebab seluruh tubuhmu akan terbenam
Hanya kecemasanmu yang mengapung, seperti lembut bulu-bulu angsa

Maka aku menyobek selembar kertas dan kujadikan perahu
Menemani angsa-angsa berenang
Menampungmu sebelum tenggelam


~ teras atas, 14 maret 2014

Rabu, 12 Maret 2014

Penampung Bias Cahaya

Siapa yang menampung malam, saat di matamu telah penuh seribu bias cahaya bulan?

Rindu yang telah kita tahbiskan itu, kerap menggelar pesta di teras atas. Mengundang ribuan angin dan empat helai gugur daun.
Puan, pada bunyi tik-tik di arloji tangan kirimu semuanya diam.
Juga pada kenyataan yang menyebutkan kau tak lagi milikku, puisi menyimpan luka di bait-baitnya.

Kita masing-masing menunggu dalam spasi di tiap tulisan; jeda antara perbincangan yang kian enggan diteruskan.
Kita entah siapa kita.

Bulan yang bias cahayanya kau tampung di matamu, telah mengakali waktu dan mengasingkan kesedihanku.
Kesedihan-kesedihan yang perlahan mengubah dirinya menjadi pilar. Terpancang kuat di dadaku - dadamu, sebagai jembatan penghubung masa lalu.

Oh, puisi ini takkan terbaca.
Kau mata yang hanya menampung bias cahaya.
dan aku buta.


~ teras atas, 13 Maret 2014

Minggu, 02 Maret 2014

Terima Kasih

Selamat sore, Kak Chicko a.k.a @gembrit

Ini hari ke tiga puluh saya menulis surat. Hari terakhir Anda menjadi tukang pos saya. Cepat sekali sudah tiga puluh hari, rasanya baru kemarin saya menulis untuk hari pertama. Lelahkah menjadi tukang pos? Pasti iya, tapi karena sepeda fixie sudah diganti agya sama bosse, saya rasa lelahnya berkurang.

Terima kasih sudah mengantarkan surat-surat saya dan penulis lainnya. Dan ini tepat surat ke tiga puluh (termasuk surat di hari jumat yang seharusnya khusus untuk surat kaleng). Sekali lagi, #30HariMenulisSuratCinta membuat saya belajar mengenai komitmen. Rasanya lega bisa memenuhi janji saya sendiri. Pun aksaralain ini tak lagi tampak berdebu.

Kak Chicko, tukang pos yang baik, surat ini hanya berisi terima kasih saya. Anda takkan menemukan apa-apa lagi. Tak ada kado atau bingkisan apapun. Tapi ada satu lagi; doa, semoga kebahagiaan menyertaimu selalu. Sampai jumpa lagi di #30HariMenulisSuratCinta tahun depan (semoga tetap ada).

Terima kasih.

Salam,
Penulis surat.

(Surat ke #30 yang terakhir tahun ini)

Sabtu, 01 Maret 2014

Semesta Lelah Bermain

Sasi,
Semesta sudah lelah bermain, ia menyerah seperti angin yang tak sengaja mempertemukan dua daun gugur di tanah gembur. Juga sama dengan pagi yang tak mau kehilangan bulan meski matahari sudah bercokol dari timur.

Kita bertemu.

Kau memang putri bulan yang lahir di antara putri malu. Sudah kubilang, kan, kau harus mengurangi sifat pemalumu itu. Tapi aku juga jadi gagap oleh senyummu. Lidahku cekat, mungkin aku matahari yang sinarnya jatuh di depan bulan dan tak sampai bumi. Oh, aku gerhana. Gerhana kata-kata.

Sudut menepikan sepi, jadi saksi temu antara bulan dan matahari. Kamu dan aku. Maaf jika harus melalui Anto aku memanggilmu. Aku benar-benar cekat. Tapi terima kasih kau mau menemuiku di sudut menepikan sepi.

Sesungguhnya masih banyak yang ingin kubicarakan denganmu. Kita baru berkenalan. Kau pemalu, tapi lucu. Terima kasih sudah membuatku banyak tertawa. Akan kuusahakan aku juga membuatmu tertawa. Aku kaku, ya. Ya begitulah. Matahari kadang sok bersinar paling panas, padahal sekalinya mendung ia juga tak berkutik jika harus hujan. Hahahaha

Sasi, terima kasih untuk pertemuan dan kopi gratisnya. Senja nanti, kalau kau tak keberatan datanglah ke taman putri malu, kutraktir kau jagung  bakar dan permen kapas. Tentunya sambil berbincang tentang inginmu di pasar malam.

Aku senang.

Salam,
Suvan Asvathama

(Membalas surat Sasi Kirana @_bianglala)