Kurasa, aku terlalu banyak minum kopi. Entah sudah lima atau enam cangkir kopi yang masuk ke tubuhku. Lalu malam tampak begitu pagi. Tidur jadi pilihan yang diabaikan. Tatapku berlari sampai kantuk tak mampu menangkap. Mungkin apa yang dicari mataku belum ketemu. Sampai-sampai ia harus lembur seperti ini.
Ini malam kesekian kali, saat kantuk lebih dulu lelah sebelum mampu sampai di ujung mataku. Mungkin ia mencari kamu. Berharap satu kedipan saja kamu ada di dalamnya. Tapi tak ada. Kopi boleh kutambah lagi?
Waktu beranjak, meninggalkan masa lalu. Kopi jadi candu, atau sesungguhnya kaulah itu. Malam tak juga pagi. Kulihat keluar jendela, bintang meredam sepi. Ramai sekali di langit. Andai saja ada yang mau menendangku ke sana, atau ke tempatmu sekalian. Aku tak perlu susah-susah mencarimu, dan menambah kopi lagi.
Jika kangen itu mudah, mungkin aku tak perlu lagi kopi seperti ini. Di dalam cangkir ini seperti banyak sekali pertanyaan yang harus segera diberi jawaban. Apa pertanyaan-pertanyaan ini tak bisa larut bersama air panas yang menjerangnya tadi?
Kamu bisa membantuku menjawab? Sebelum pertanyaan yang sama datang kembali saat pagi, saat aku tak bisa tidur lagi.
Salam,
Kangen yang bandel
(surat hari ke #7)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar