Sejenak aku diam sambil memandangi layar ponsel yang berisi pesan singkat atas namamu. Apa yang kau mimpikan semalam, sampai-sampai siang ini -- setelah lebih dari 365 hari -- keberadaanmu bertandang di genggamanku lagi. Bukan kopi, petrichor, atau matahari, tapi dari sana kau mampu menguarkan bau khas yang begitu mudah kukenali. Kangen? Mungkin!
Kau tiba-tiba datang, seperti hujan yang akhirnya dimaki-maki ibuku karena jemurannya basah lagi. Tapi aku tidak akan memaki-makimu, meskipun nanti jika kekasihku tahu aku akan sedikit berselisih paham mengenai ini. Ya, aku sudah punya kekasih lagi. Dia menggantikanmu dari tempat kangen yang pernah kau tempati dulu. Tenang, aku takkan membicarakan kekasihku kepadamu. Kau pasti cemburu. Ya, kan?
Hahahaha..
Asal kau tahu, kisah kita dulu bukanlah kisah cinta yang sempurna. Bahkan jalan tol pun bisa macet, kan? Aku juga tidak akan memperdebatkan lagi tentang siapa yang salah, sampai akhirnya kita memilih berpisah di persimpangan. Ada baiknya kita saling memahami bahwa kita tak ditakdirkan bersama.
Selamat melanjutkan hidup tanpa aku. Tertawalah karena kau begitu menyenangkan. Aku akan mendoakan bahagiamu, supaya kau juga mendoakan kebahagiaanku. Salam untuk ibumu, dia wanita tangguh yang masakannya akan selalu aku rindukan. Jadilah seperti dia, supaya kekasihmu nanti tak mau melepasmu seperti aku, seharusnya.
Sudah, ya, aku mau menyeduh kopi untuk menghilangkan aroma khasmu yang sedari tadi memenuhi kamar ingatanku.
Terima kasih karena pernah menjadi pernahku.
Salam,
Mantan kekasihmu.
( surat hari ke #3 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar