Minggu, 30 November 2014

Terjebak

Akan tidak lagi kutemukan matahari terbit dari matamu. Hari kian panjang dan cahaya terhimpit di antara waktu dan ketiadaanmu. Jarum jam makin payah detikannya. Aku terjebak di sini.

Memandangi ranjang yang masih fasih bau-bau tubuhmu. Sedu sedan ingatan atas apa yang tertinggal. Di ruang ini aku punya semua, tapi tak memiliki apa-apa. Aku kehilangan. Aku hilang. aku terjebak di sini.

Akan ku apakan semua pernah? Hanya piring-piring bekas makanku tadi malam  yang akan kucuci, tapi air telah habis jadi airmataku pagi ini. Mana ada sungai, sedang gunung-gunung telah selesai mengirim mengirim arus. Aku terjebak di sini.

Untuk ke berapa kali aku harus kehilangan? Sementara aku sudah tak punya apa-apa dan milikku satu tertinggal di patahan yang kamu.

(Untitled - Simple Plan / Patah Hati / #Puisi7Lagu)

Sabtu, 29 November 2014

Jarak

Kita tidak hidup di jalan. Tapi kerikil, aspal dan trotoar fasih dengan telapak kaki kita. Begitu juga para pengemis di beberapa persimpangan yang hapal benar kapan aku atau kamu bergantian bertandang, dan mereka begitu gembira kita lewat di sana.

Aku pikir inilah waktu di mana kita tak pernah lelah berangkat atau menunggu. Waktu di mana perihal kau pulang adalah debarku, dan waktu di mana perihal kau pergi lagi (meski berkali-kali) adalah doa-doa yang semakin meneguhkan doaku. Dan kangen yang jatuh setelahnya bukanlah pisau yang akan sanggup membunuh aku.

Ada beberapa kegelisahan yang mungkin tak kamu tahu. Kegelisahan yang menemani tidurku sampai kamu kembali lagi. Kegelisahan yang panjangnya lebih dari waktu tungguku atau tempuhanmu kepadaku. Tapi kuharap, kegelisahan ini tak ikut ke kotamu dan menemani hari-harimu. Sungguh rasanya tak mengenakkan, seperti aku harus menelan brokoli yang ibu beli dari pasar pagi tadi.

Di antara jauh yang harus kita tempuh, kita sering menertawakan kangen yang begitu bayi, sebab selalu merengek minta peluk. Atau mengelus dada, waktu kangen merajuk dan meminum asin airmatanya sendiri.

Maka satu-satunya cara, kamu dan aku harus terus saling menghidupi dengan doa-doa dan tak pernah berhenti cuma di sana, sampai jarakmu dan jarakku tinggal satu spasi denyut nadi.

(Hey There Delilah - Plain White T's / LDR / #Puisi7Lagu)

Kamis, 27 November 2014

Sebatas

Yang menyala di mataku. Yang mengalir di tubuhku. Yang menjadi akar di pohon-pohon napasku. Yang menjatuhkan seluruhku.

Tanah basah dan bebatuan pecah yang lepas menangkap aku. Padahal di tubuhnya terpancang jaring-jaring. Aku jatuh di atas tanah dengan harapan bertumpuk-tumpuk. Kau mengambil hujan sambil tersenyum dan memerciki wajahku. Bermain-main.

Tanganku bisa merengkuh tubuhmu. Kecupku sampai di dahimu. Aku merasakan hangat dari dadamu yang detak. Pipimu yang basah sering kutegur dengan usap tanganku. Pun lengkung senyummu melegakan dada dan mendebarkan jantungku.

Tapi bisik sunyi menyerupai angin mendesau lain. Dingin yang lebih runcing dari pucuk es batu. Siapa yang akan memecahkan itu? Bahkan kuku-kukuku telah patah dan mati kugigiti sendiri.

Ini harapanku begitu luas, sehampar gurun. Sedang tanganmu hanya sebatas telapak.

(dari lagu It Hurts - Angels Airwaves/ friendzone/ #Puisi7Lagu)

Di Sebuah Rumah

Akhirnya aku tiba di sebuah rumah.
Halamannya luas ditanami bunga warna-warni. Rumah bercat putih dan berpagar tinggi. Ada pula teras -- kubayangkan ada sepasang tua menghabiskan sisa usianya sambil tertawa, rambut penuh uban juga penuh kenangan yang terus saja disimpan -- kita.

Akhirnya aku tiba di sebuah rumah.
Rumah berpintu cokelat tua besar tanpa bel. Aku harus mengetuk untuk masuk. Mengenal penghuninya dan bertamu.

Akhirnya aku tiba di sebuah rumah.
Rumah yang dihuni seseorang. Berbulumata lentik dan mata yang rahasia. Mungkin ia dilahirkan oleh kebahagiaan. Di tiap kedipnya aku melihat anak-anak ikan dilepas bebas ke laut, disambut ombak yang derunya menyanyikan kabar damai berirama napas.

Akhirnya aku tiba di sebuah rumah.
Atapnya meneduhkan, terik matahari dan deras hujan geming. Cuma ada hangat dan lembut, seperti ibu memeluk bayinya di dada.
Dinding-dinding adalah bahu juga suara yang sanggup menopang dan menenangkan.

Akhirnya aku tiba di sebuah rumah.
Dan aku ingin tinggal.

(dari lagu Terpukau - Astrid / #Puisi7Lagu / jatuh cinta)

Minggu, 16 November 2014

Biar Saja Putih dan Bersih Sekali

Kau telah membangun dinding. Mengecatnya dengan cat warna putih, lebih putih dari kulit tubuhmu. Tapi juga tak putih pucat seperti wajahku, waktu kau meninggalkan aku.

Aku ragu menuliskan sesuatu di sana. Bahkan takut, walau hanya sekadar mencoret. Bagaimana jika aku ingin menancapkan paku, jika aku mau menggantung lukisan yang seminggu lalu kubeli? Aku tak ingin melukaimu.

Tak ada.
Lalu tak ada yang tertulis. Biar saja putih dan bersih sekali.

Sampai-sampai bayangan yang jatuh dari tubuhku limpung. Dan ini pertama kalinya, cahaya tabah tak membiaskan apa-apa. Biar saja putih dan bersih sekali.

Dinding itu, adalah hatimu. Berisi kesucian. Biar saja putih dan bersih sekali.

(#duetpuisi - untuk @duetpuisi)

Kamis, 13 November 2014

Hujan di Atas Kepala

Abu-abu yang membentang jauh di langit sana telah bergulung-gulung. Tinggal menunggu kau sentuh dengan jemarimu, lalu hujan.

Rambut-rambutku akan jadi atap. Akan menjadi yang pertama menangkap segala jatuh-jatuhan hujan. Dan menyimpan semua derasan di dalam kepala, menyembunyikan segala ramai atas bulir-bulir dari atas sana. Kepalaku jadi pasar malam pada hari pertama buka. Riuh sekali.

Ini bukan lagi tik-tik-tik. Bukan hanya sekadar rintik, bukan kedip matamu yang lentik. Bukan itu.

Hujan betapa deras, sungguh telah membuahi kepala. Bahwa sebentar saja akan melahirkan anak-anak ingatan sepanjang kenangan telah berjalan.

Sementara, atap yang kupasang tak lagi sanggup meredam. Meski akan memuntahkanmu lebih lambat.

(@duetpuisi - #cerau)

Senin, 10 November 2014

Bunyi-Bunyi Suaramu

Suara sehening apa pun akan mampu mencabik-cabik daun telingaku yang tertutup rambut. Atau sekadar bisikan yang membangunkan seluruh ingatan, seperti pagi.

Rupanya aku mengenal satu suara--yang hangat melebihi selimut tapi tidak pelukan. Aku pikir, suara itu adalah bebunyian pesan dari bibir yang meniupkan harmonika. Nada-nadanya lahir jadi tangisan bayi yang menggemaskan.

Aku sendiri tak mampu menirukannya.

Tapi semakin sering aku mendengarnya, menaruhnya di daun telinga, semakin pula aku asing oleh nadanya.

Tapi itulah suaramu, bunyi-bunyi dari pita suara yang ditelan gendang telingaku sepanjang hari. Dan aku tak pernah bisa membenci ketenangan yang sukar kuterjemahkan ini.

(@duetpuisi - #eufoni)

Sabtu, 08 November 2014

Musim Semi di Kepala

Kita sedang duduk sambil memantau mendung. Apakah hujan akan jatuh, sedang di kepala kita masing-masing telah bermula musim semi?

Tak ada yang bergetar dari langit. Sama sekali. Bahkan, tak ada satu nadapun gemuruh tiba.

Daun-daun tumbuh di dalam ingatan. Dan mata kita jadi taman yang banyak dikunjungi keluarga untuk bermain dengan tawa-tawa.

Tetapi langit masih saja mendung. Musim di luar dan musim di kepala kita hidup di pisah benteng.

Sungguh kita adalah tunas-tunas daun yang haus matahari. Ada begitu banyak harapan; aku yang kamu dan kamu yang aku.

Maka, kepada kepala kita masing-masing yang menyimpan musim semi, semoga tak ada musim lain yang tega menggunduli. Perihal waktu, biarkan semuanya silih berganti dan menuntun usia untuk terus memanjang dan menunggu.

(@duetpuisi -  #musim)

Kamis, 06 November 2014

Sesungguhnya engkau

Ranting-rantingnya basah mandi hujan paling bening
air dari langit, hambar bukan asin

Daun-daunnya adalah rambut
lebat seperti hutan yang sekalipun tak pernah disambangi penebang
dan sanggup menyembunyikan berbagai kalut dalam kepala

Buah-buahnya ranum
siap dipetik
bukti panen dari semua musim ketabahan

Satu dua kuntum bunga tersisa
tinggal di pucuk dengan warna sejuk

Ia tumbuh di atas tanah
pernah mengubur kesedihan
yang menjadikan akar-akarnya menyusu pada dingin dan kesendirian
sabar

Maka,
engkaulah pohon
mahir memulangkan segala tubuh yang butuh teduh

(@duetpuisi - #alam)