Jumat, 31 Agustus 2012

Semoga Lebih Indah

Kesiut angin sore ini, bertegur sapa dengan senar-senar gitar di tanganku. Teras rumah yang sepi, hanya secangkir kopi dan beberapa lembar kertas berantakan di atas meja. Bahkan kopinya hampir habis. Senja selalu sama di hidupku. Belum ada pekerjaan setelah ujian mendebarkan di tangan tiga dosen empat bulan lalu.

Nasibku masih sama saja. Terkatung-katung pada ketidakinginanku untuk menjalani rutinitas menyebalkan seperti ayahku. Aku maih mau menikmati kebebasanku atas kewajiban di bangku kuliah. Sekarang selesai. Aku tinggal menunggu panggilan dari satu atau bahkan beberapa perusahaan atas lamaran kerjaku.

Senja ini, kosong waktu tidak berjalan sia-sia. Satu lagu berhasil kuciptakan dari tanganku. Sebuah lagu tentang keberhasilanku melangkah atas cinta. Kebanyakan orang menyebutnya dengan move on. Ya begitulah yang terjadi. Sudah hampir satu minggu ini dadaku berkecamuk luarbiasa. Seperti ada kupu-kupu entah berapa jumlahnya, mengepak sayapnya secara bersama-sama di dalam sana. Aku bahagia, aku tertawan kembali oleh rasa yang sebelumnya kuinjak-injak dan menginjak-injak perasaanku. Tetapi ini jelas berbeda. Ketertawananku adalah penjara dengan sipir yang menyediakan kamar paling istimewa. Tidak ada siksaan yang berlaku, tidak pula kebebasan yang direnggut dengan terlalu.

Ini rasa yang namanya sering disebut-sebut sebagai biang galau. Demikian dengan aku, dulu. Kalau ini juga kusebut cinta, mungkin yang protes adalah Rangga. Masih ingatkan dengan kisah cinta mereka. Tetapi bukan cinta itu yang kumaksud. Cinta ini, aku begitu saja menamainya. Supaya jelas apa yang sedang menjadi drama di antara degup jantung dan alir darah dalam tubuhku. Sering kali keduanya berkolaborasi untuk mengirim sinyal ke kepala, menjadikan desir-desir nadi menyanyikan namanya. Maka, terciptalah lagu yang mengalir begitu adanya.

"Aksa.." suara itu, suara yang membuat dadaku seperti dikirimi bertruk-truk tanah. Gemuruh dan tiba-tiba sesak, penuh oleh kebingungan dan membuatku salah tingkah di depannya.
" Ya.." menjawab sekenanya dengan buru-buru mencipta selengkung senyum untuknya.

Gadis itu, Dina namanya. Memakai kaos yang terlihat kebesaran untuk tubuh mungilnya. Kaos warna merah, jersey AC Milan tepatnya, klub bola kesayanganku. Ia melambaikan tangannya dari luar pagar rumah. Memberi kode ijin untuk diperbolehkan masuk dan mendekatiku yang terpaku di teras tanpa sempat mengangguk. Langkahnya teramat ringan dengan senyum yang terus saja mengembang, melambungkan aku seperti balon gas--mampu terbang tapi tetap tak kemana-mana ditali pemiliknya.

"Sedang apa kamu? Dasar pengangguran yang puitis. Pasti lagi bikin lagu, kan?" pertanyaan yang dijawab sendiri, karena sudah kesekian-kalinya ia memergokiku diam di teras sambil menggenggam gitar dan ditemani secangkir kopi hampir habis, juga lembaran-lemmbaran kertas yang penuh tulisan dan coretan kunci nada.
"Hahaha.. Seperti biasa, daripada ga ada kerjaan, kan." aku menjawab tanpa perlu malu bahwa aku adalah pengangguran. "Eh, pengangguran puitis? Apaan sih.." wajahku memerah, mungkin sudah seperti udang goreng yang membuatku sering alergi.
"Ini buktinya" ia menunjukkan selembar kertas bertulis puisi dan nada kunci.
Dina membacanya dengan seksama..
"Cieeee.. Lagi jatuh cinta rupanya. Beruntung sekali dia, pasti sangat spesial." dia menggodaku. Tetapi tunggu, dari gelak tawanya yang mencoba menggoda itu, ada seberkas tatap matanya yang tiba-tiba kosong. Bahkan suaranya sedikit berat saat mengatakan kalimat terakhirnya. Ada rasa kehilangan yang pernah aku rasakan, ketika kekasihku dulu mengatakan tak lagi mencintaiku dan memilih lelaki lain untuk memeluknya. Persis seperti itu.
"Ah, bisa aja kamu. Tapi emang orang yang kutulis di lagu ini sangat istimewa. Dia mencuri hatiku dalam sekali temu" jelasku berapi-api sambil terus menerus membongkar tatapnya yang benar-benar berubah menjadi satu ruang kosong.
"Kamu tidak mau cerita siapa orang itu?" selorohnya menyelidik dengan tatapan yang masih kosong, tapi penuh harap.
"Begini, aku mau cerita, tapi kamu jangan marah. Eh, sebelum aku cerita, aku mau kamu dengerin aku nyanyi lagu ini ya.." pintaku sambil membenarkan letak gitar yang sedari tadi diam terpangku di kakiku.
Dia mengangguk..

semakin kulihat masa lalu
semakin hatiku tak menentu
tetapi satu sinar terangi jiwaku
saat ku melihat senyummu

dan kau hadir merubah segalanya
menjadi lebih indah
kau bawa cintaku setinggi angkasa
membuatku merasa sempurna
dan membuatku utuh tuk menjalani hidup
berdua denganmu selama-lamanya
kaulah yang terbaik untukku

Selesai menyanyikan, aku masih melihat guratan kekecewaan di matanya. Senyumnya getir  diterjang ketidak-ikhlasan.
"Din, kamu mau taukan siapa yang ada di laguku ini?" pertanyaanku seperti mengagetkan lamunan kekecewaannya.
"Iya, aku mau tau siapa gadis yang beruntung sudah kamu cintai sebegitu dalam dan mampu membuatmu lugas mencipta lagu indah ini." suaranya seperti terkecat oleh nafasnya sendiri.

Aku meletakkan gitar ke atas kursi kosong di sebelah kiriku. Lalu menatapnya dan seperti diperintahkan oleh suasana, tanganku sampai di jemari lentiknya. Dingin namun lembut.

"Gadis itu, sekarang dia sedang merasakan genggam tanganku yang tadi memetik senar gitar yang mengiringi lagu indah menurut perkataanmu." aku mengeratkan genggaman, mencoba menghangatkan dingin yang teraba begitu jelas di telapak tanganku. "Gadis itu sungguh beruntung bukan, sudah mendengar untuk pertama kali lagu yang kucipta untuk dia. Sungguh beruntung pula aku, lelaki yang diperkenankan mencintainya dan mengakui semuanya langsung di depannya." suaraku bergetar namun tegas. Aku mau meyakinkan bahwa aku bukan lelaki yang pengecut, yang takut hanya untuk mengutarakan perasaannya.
"Aksara, benar yang kamu katakan dan rasakan?" pertanyaan yang juga tegas.

Aku mengangguk, lalu tanpa sepatah kata kupeluk tubuhnya yang sudah kembali menghangat.
"Aku mencintaimu, Dina."
"Pun aku, Aksara. Aku mencintaimu, juga aksara-aksara dari tanganmu."
"Semoga semuanya menjadi lebih indah, di mulai dari sekarang."

Pelukan itu selesai setelah pagutan pertama..

( petikan lagu di dalam cerita ini, adalah lagu milik Adera - Lebih Indah )

Selasa, 28 Agustus 2012

Aku Tidak Merokok


Aku tidak merokok, sayang..
Aku menjaga paru-paruku yang sudah sesak, bernafas tanpa kamu.
Aku tidak mau merusaknya dengan hitam asap yang penuh racun. Paru-paruku sudah lebam dihantam embus rindu.
Kamu boleh bangga, aku tidak menghabiskan uang untuk kubakar menjadi kesenanganku sendiri,
dan harusnya kamu bangga..

Kalau boleh jujur, aku sering menghabiskan uangku untuk membeli pulsa, lalu berlama-lama berbincang di ponsel. Atau menulis pesan, berulang kali. Juga membalas pesan yang kau kirim.

Pun, aku merelakan beberapa lembar uang di SPBU, menggantinya dengan beberapa liter bensin. Memenuhi tangki motor, untuk dibawa berkendara menemuimu.

Aku tidak merokok, sayang..
Peduli setan dengan omongan teman yang menjulukiku sok alim atau apalah sebutannya, yang penting aku tidak mengganggunya dan membiarkan mereka meneruskan menghisap batang demi batang linting tembakau. Toh juga aku jadi tidak merugikan mereka dengan meminta sebatang rokok saat  rokok milikku habis, dan meminjam koreknya.

Aku tidak merokok, sayang..
Aku lebih menyukai pahit kopi menempel di bibirku daripada pahit rasa tembakau itu.
Sekali aku pernah merokok, dan lebih dari seminggu aku batuk dan dadaku sakit.
Sekali..
Setelah itu aku memilih untuk pensiun dini menjadi perokok, tidak mencobanya lagi.

Sayang, tidak merokok adalah keputusanku. Supaya saat berbagi nafas denganmu, bukan sisa asap yang kuberikan kepadamu.
Aku mencintaimu..

Selasa, 07 Agustus 2012

Jarak

Aku akan membicarakan jarak sekarang..

Sejauh apa, pernah menghitung jarak dari tengah pulau Jawa hingga pinggir timur pulau Kalimantan? sejauh itu kira-kira. Pastinya aku tidak tau, aku juga tidak pernah menghitung dan tidak berkeinginan untuk menghitung secara detail. Untuk apa kalau cuma menyusahkan, bukan?

Ya, sejauh itu jarak yang pernah membentang antara aku dan kekasihku (sebut saja demikian, sebab dia memang kekasihku). Jaraknya sangat jauh kalau menurutku. Aku tidak mampu sampai di sana saat dia memilih tanah itu untuk menyelesaikan masalahnya. Bukan tidak setia, atau tidak benar-benar mencintainya. Tapi memang keadaan yang membuat kita harus bertaruh rindu dan kepercayaan.

Lalu apa yang terjadi? Tidak ada yang istimewa kecuali cinta yang masih tetap terjaga dengan baik, bahkan sampai ia kembali pulang dalam pelukan. Sampai sekarang. Aku percaya dia di sana. Dia percaya aku di sini. Tidak ada yang menaruh cemburu terlalu dalam, cemburu itu bukan sumur kawan. Cukup yang dangkal saja, karena ada cinta yang kentara pada keinginan untuk tak rela kekasihnya berada di tangan yang lebih dekat sedang kita berada tanpa bisa menatap lekat.

Percaya, itu kuncinya. Kalau sudah ada cinta, yakinlah setia itu ada di genggaman. Bahkan ketika ada sosok lain yang mendekatinya. Kesepakatan awal yang dibuat harus dijalani. Kesepakatan sebelum jarak itu benar-benar ditempuh. Itu kesepakatan berdua, bukan?

Aku menganggap jarak itu sederhana. Berdasar cinta yang dijadikan pondasi, jalan rindu itu mulus seperti jalan lingkar kota yang baru saja dibangun. Dan cinta, juga memang seharusnya sesuatu yang sederhana tetapi menjadikan dua yang bersatu sebagai istimewa.

Sudah, jarak itu bukan masalah kalau cinta benar-benar hidup pada dua hati yang dibentang dan dijembatani rindu..

Biar saja jarak, melenggang sejauh bentang. Apa yang kita takutkan, jika cinta mampu merupa-rupa perahu menyeberangkan rindu.