Minggu, 16 Februari 2014

Kepada Putri Bulan

Sasi,

Selain anak ibuku, aku adalah anak kota ini. Tangisku pertama kali pun di dengar oleh telinga sudut kota. Sekalipun aku belum pernah melangkahkan kakiku keluar. Aku belum pernah ke mana-mana. Selain buku dan imajinasiku yang jauh membawa angan-angan.

Ah, kau jangan terlalu berteman dengan putri malu, Sasi. Lihat sifatmu yang pemalu itu. Hati-hati nanti kau terkurung sendiri di sana. Eh, maaf. Aku menilaimu. Abaikan saja jika tidak berkenan.

Kau menggodaku dengan hal-hal seperti itu. Kuanggap saja lucu seperti badut-badut ulang tahun yang dulu pernah sangat menghiburku. Aku sampai tertawa terpingkal-pingkal. Kau suka jugakah?

Putri Bulan,
Terima kasih sudah memikirkanku. Hati-hati kau nanti akan diserang penyakit paling mematikan; tak bisa melupakan aku. Hahaha....

Asal kau tahu juga, jingga matamu seringkali mengisi kosong di waktu senjaku. Aku merasa bersalah akan itu. Sungguh tak ada maksud. Seperti sela jendela yang dimasuki cahaya. Ditutuppun ia akan mencari celah lain. Aku bisa apa?

Tidak usah membahas nona matahari. Ia sudah kubahas bersama Tuhan setiap hari.

Terima kasih sudah mencatat pesananku. Aku rewel, ya. Ya begitulah. Mungkin karena dari dulu ibuku selalu menuruti kemauanku, sampai sekarang masih saja kubawa-bawa itu.

Terima kasih, Putri Bulan.

Di antara malam dan keheningan, kaulah rapat samar yang memperkenalkan aku dengan cahaya.

Salam,
Suvan Asvathama

(surat balasan untuk Sasi Kirana @_bianglala)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar