Jumat, 30 Januari 2015

Cuaca Berubah Rindu Tidak

Begitu tiba-tiba. Siapa bisa menduga, sebab semaunya saja berubah. Burung-burung di atas pohon basah kuyup, mereka bahkan tidak sempat bertanya pada matahari sebab awan sudah lebih dulu menjatuhkan hujan. Dan aku tidak juga bisa menerka akan sederas apa jatuhnya hari ini.

Satu hal yang kini belum juga kupahami selain kekasihku adalah cuaca. Semaunya sendiri dan tak peduli apa yang sedang terjadi di bawah sini. Malahan terkadang membuatku cemburu. Hujan yang tiba-tiba dijatuhkan di kota kekasihku menyentuhnya lebih dulu dengan sering. Sementara aku di bentang jarak kuyup menahan rindu berpuluh-puluh waktu.

Teruntuk cuaca,
Seperti hidup, sungguh tak ada yang pasti. Pagi terik sekali, lalu siang sebentaran hujan deras. Senja dibuat cerah, dan malam ditidurkan dengan gerimis. Atau sepanjang hari hujan, sampai-sampai ada yang lupa mengangkat luka yang hampir saja kering jadi basah lagi dan tak sembuh-sembuh. Kini kau tak lagi patuh pada musim.

Cuaca,
Kau boleh terik dan aku boleh rindu kekasihku.
Kau boleh hujan dan aku boleh rindu sedalam-dalamnya pada kekasihku.
Kau tidak boleh cemburu, lalu mengirim petir yang akan mengagetkan lamunanku atau menakuti kekasihku.
Kau boleh berubah semaumu dan aku akan tetap rindu kekasihku di sana.

Salam,

Yang tak pernah takut terik atau hujan.

Kamis, 29 Januari 2015

Kecemasanku Sendiri

Mungkin ini aneh. Aku mengirimimu surat. Dan sejujurnya ada hal-hal aneh lain sejak aku mengenalmu. Bahkan mencintaimu saja sudah cukup aneh buatku, karena kamu orang aneh yang mau paham tentang keanehanku. Hahaha...

Aku tidak akan membahas keanehan kita. Surat ini, cuma ingin mengantar kangen dan kata-kata yang mungkin lupa kukatakan waktu terakhir kemarin kita bertemu. Sesuatu hal yang entah mengapa tak juga bisa aku tulis di tiap pesan singkat yang kukirim tiap pagi, siang dan malam untukmu.

Sayang, setiap kali tiba di bandara dan melepasmu dari pelukan, ada detak yang jatuh tertinggal. Meski aku tahu, nanti aku akan pulang atau kau yang akan datang. Tapi perpisahan selalu mampu menempatkan gelisah dan rasa sesal.

Terkadang aku ingin menyobek tiket dan membuangnya ke tempat sampah, karena di sana namaku tertulis untuk meninggalkanmu. Tapi sekali lagi aku sadar dan ingat kata-katamu, "jarak akan menguatkan kalau kita saling percaya dan menjaga." Maka aku tetap melanjutkan terbang meski harus melawan ketinggian dan rasanya jauh berbeda dengan diterbangkan oleh senyumanmu.

Aku tak pernah duduk di dekat jendela. Takut melihatmu semakin kecil dan menjauh. Aku bergidik. Perpisahan kecil dan sementara yang di kepalaku bisa jadi drama waktu ingat aku bisa saja jatuh dan tak ditemukan. Aku takut kamu sedih.

Aku mengambil buku yang kubawa atau apa saja yang bisa kugunakan untuk memukul-mukul kepalaku. Mengusir drama bodoh di kepalaku sendiri. Lalu tersenyum dan mengingatmu tersenyum. Akan lebih baik kalau di kepalaku terisi kamu meski apapun bisa terjadi (aku mengetuk-ngetuk meja saat menulis kalimat ini).

Sayang, aku sudah tiba di tempat kerja. Doa dan senyummu mengantarkan aku. Kalau kamu nanti kangen, senyumlah dan telpon aku. Karena itu juga akan menenangkan aku.

I love you.

(Penempuh jarak yang kangen kamu)