Sasi,
Kau takkan menemukan dermaga. Tak ada yang mau membangunnya di sini, meski pantai dekat sekali dengan hidup. Seperti katamu, di sini tak ada yang menanti, tak ada pula yang ingin melepas. Yang pergi akan terus pergi dan tak mengenal kata kembali, mungkin kembali telah dihapus dari kamus kami.
Bermainlah saja di pantai bersama pasir, ombak dan angin. Kau bisa melihat bagaimana ombak akan menghapus jejak atau nama yang kau ukir dengan kakimu di pasir dengan cepat. Sekali datang, langsung menghilang.
Cerita-cerita yang kau baca itu, Sasi, telah membawamu pada satu cerita yang pernah kutulis. Itu tentang mantan kekasihku yang dulu sering mengajak ke pantai, sekadar bermain pasir. Setelah aku kehilangan karena cinta tak kami lanjutkan, aku menulis mengenainya bersama cerita pantai, ombak, dan jejak.
Kau ingin menjadi puisiku? Benarkah? Aku bahkan tak berani berangan jika suatu saat kau jadi puisiku. Mungkin aku akan menulis sambil gemetaran sampai sering typo. Juga detak jantungku akan bersuara seperti dentuman paling keras dan cepat di muka bumi ini. Tapi aku akan mengumpulkan keberanian itu untuk menulismu sebagai puisi.
Kedaimu memang tak pernah sepi, tapi ramai di sini adalah riuh yang paling nyaman kutinggali.
"Bagaimana mungkin aku menulismu sebagai puisi, sedang kau adalah ibu segala sajak yang dimiliki hati."
Salam,
Suvan Asvathama
(Membalas surat Sasi Kirana @_bianglala)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar