Kamis, 06 Februari 2014

Sebuah cerita dan sebuah puisi

Rupanya kau belum sembuh. Pantas nyala dapur sedikit remang, mata jingga rembulan itu tak di sana. Istirahatlah sampai kau sembuh benar dan kedai ini mendapat kembali satu cahayanya.
Tenanglah, pisang goreng madu selalu tersaji di mejaku. Anto dan yang lain melayaniku dengan sangat baik. Bahkan mereka selalu mampu menyebut pesananku sebelum aku mengucap satu suku kata saja.

Ah, kau tak suka teh rupanya. Pasangkan saja madu dengan air hangat atau sepotong roti kalau begitu.

Ibuku? Ia ada di rumah menjagaku. Menjaga dengan kenangan yang tinggal di rumah ingatanku. Ibuku telah berada di surga, Sasi. Tiga tahun lalu, saat aku merayakan hari lahirku yang ke dua puluh. Ia pergi dengan senyumnya yang selalu menjagaku hangat. Tapi aku bahagia, setidaknya aku tahu ia ada di surga. Lebih nyaman daripada harus tinggal bersamaku yang tak jelas seperti ini. Sepertinya aku terlalu banyak bercerita, dan tak biasanya aku mau bercerita. Nanti kusampaikan salammu.

Oh ya, aku menggunakan sapa aku-kamu. Bukan 'saya' seperti sebelumnya. Kurasa hal itu cukup kaku untuk perbincangan seumur kita. Tak apa, kan? Aku tak bermaksud apa-apa.

Ehm.. Sepasang kekasih itu? Aku tak hapal benar, tapi aku tahu mengenai si puan. Hanya saja aku terlalu keras kepala untuk mau mencampuri urusan orang lain. Aku hanya sebentar menyaksikan mereka berdebat mengenai entah apa, waktu suara si puan lebih tinggi dari nada suara balon yang meletus karena tertusuk jarum. Kepalaku sendiri rasanya sudah penuh isinya. Untuk apa memedulikan yang akhirnya malah tambah memenuhi isi kepalaku? Si puan ini mungkin juga seperti aku, yang memilih sibuk sendiri dengan sepinya. Beberapa kali kudapati dia lindap dalam sofa depan. Mungkin kekasihnya baru sebentar memiliki waktu untuk mengenal.

Ada sebait puisi hari ini untukmu. Sebagai hadiah, semoga kau lekas pulih dari sakitmu. Semoga berkenan. :)

Kau di sini, beserta muram langit ditiupi angin. Dan musim sedang langut, kau dalam puisi ini selalu bertaut.

Salam,

Suvan Asvathama

(Membalas surat Sasi Kirana @_bianglala)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar