Selasa, 27 Agustus 2013

tak ada

Pagi terlalu langut
Angin-angin mengetuk pintu
Diam menggeretak
Kesepian menampakkan diri

Kesiut menyala dari mata matahari
Nyalang mencari-cari siapa yang bisa disetubuhi
Cahaya pendar jatuh di semak sepi

Kau tak ada
Aku ada sebagai ketiadaan
Dan kita, menjadi waktu yang tak diramu

Jumat, 23 Agustus 2013

kepulangan

"Sudah siap semuanya, Dan?" Ibu mengagetkanku dari lamunan. Mengembalikan angan-anganku ke dalam kamar bercat putih ini.

"Apa, bu? Oh, iya tinggal sedikit lagi." Aku melihat di sekelilingku penuh baju yang akan kubawa pergi.

"Jam berapa keretamu?" Ibuku berbicara sambil tetap mengemas.

"Jam enam sore, bu. Mas Dani nanti pulang jam berapa dari pabrik?" Kupandangi ibuku sambil mengurai keheningan yang sebelumnya tinggal dan mendiami kepalaku.

"Ya sudah, nanti biar kamu diantar bapak saja naik bis. Masmu pulang malam, tadi bilang sama ibu mau lembur." Tangan lentik yang mulai keriput itu tetap sibuk memasukkan baju-bajuku ke koper.

Sore ini adalah kepulanganku, setelah libur semester sebulan belakangan ini. Ini rumahku, keluargaku, tapi aku harus keluar dari rumah ini dan pulang. Pulang? Bagaimana kepergian ini kusebut pula dengan kepulangan?

"Sudah jangan ngelamun terus. Baju mana lagi yang mau kamu bawa, Dan?" Ibu tak juga berpaling dari koper dan tumpukan baju.

"Itu saja, bu. Kurasa cukup, di sana masih ada kok." Sahutku yang belum juga keluar dari lamunan.

Aku harus pulang. Ke tempat yang tak sanggup kusebut rumah, ke tempat di mana hidup kulanjutkan sendiri, ke tempat aku mengenal kehidupan lebih nyata lagi, ke tempat masa depan sedang kujalani.

Aku harus pulang. Aku sendiri yang memilih, aku sendiri yang memutuskan, aku sendiri yang menjalani, dan aku sendiri di sana.

"Kenapa kamu nangis, Dan? Masa sudah gede, sudah kuliah, sudah punya pacar juga mau pulang ke kost nangis. Ga malu sama gambar lidah melet di kaosmu itu?" Ibu menggodaku yang tiba-tiba saja menangis tanpa sebab. Lalu meletakkan baju-baju dan menghampiriku di tepi kasur, dan memeluk.

"Maaf, bu. Aku cengeng ya. Tapi emang sedih mau ninggalin rumah ini. Ninggalin ibu, ninggalin bapak, ninggalin mas Dani, ninggalin kasur ini, ninggalin masakan ibu, ninggalin semuanya." Jawabanku tersendat-sendat. Ibu masih memeluk. Rasanya aku mau jadi bayi saja, biar ibu tak rela melepasku, dan aku tetap di pelukannya sepanjang waktu.

"Kamu ini sudah besar sekarang. Lagian kemarin juga sudah kost, to. Kan nanti bisa pulang sebulan sekali, atau kalau libur. Tiap hari bisa telpon juga, nanti biar mas Dani atau ibu yang ngirimi pulsa. Jaman sudah canggih, le." Suaranya tenang, seperti gemericik air di antara tenang malam.

"Iya, bu. Aku cuma sedih aja kok. Bakalan ga ketemu ibu, ga dimasakin lagi. Kalau anakmu kurus gimana?" Selorohku di pelukannya.

Tubuh ibuku hangat. Selimut setebal apapun, api sekobar apapun juga tidak akan bisa menandinginya.

 "Bu, aku mau dipeluk ibu kayak gini terus."

"Tapi kamu harus pulang ke kostmu. Kalau dipeluk terus gini, kuliahmu gimana? Ga malu sama temen-temenmu?"

"Kenapa malu, bu? Ibu tahu ga, selain rumah yang kita tinggali ini, rumah paling nyaman untuk aku benar-benar pulang ya di pelukan ibu."

"Sudah, sudah. Kalau dipeluk terus kayak gini gimana kamu berkemas. Nanti ketinggalan kereta. Sini, biar ibu yang beresi semua." Ibu bernjak dari tubuhku. Meninggalkan kujur yang berubah dingin lepas dari pelukan. Ia mengemas kembali sisa beberapa baju yang masih bertumpuk di samping koper.

***

"Aku berangkat dulu, bu." Kupeluk tubuhnya, kucium keningnya. Tangannya yang lembut kugenggam erat, lalu kucium. Pamit.

Aku hanya melihat matanya menahan sesuatu. Entah apa yang berkecamuk di sana, ibu hanya diam. Aku menemukan langkahku. Pergi. Aku menemukan kehilanganku. Pulang.


Kepulangan barangkali, adalah menuju tempat yang harus sanggup kau sebut rumah. Jika pun tak menyanggupi sebagai rumah, setidaknya ia adalah tempat yang mampu menampungmu tinggal--menampung tubuh dan jiwamu dengan teramat bebal.

Kamis, 22 Agustus 2013

permintaan terakhir

"Ini sudah cukup, sayang?" Aku menunjukkan secarik kertas berisi daftar seserahan kepada calon istriku.

"Coba aku lihat dulu." Ia menarik kertas dari tanganku. Dahinya mengerut seraya membaca daftar berbagai macam barang yang kutulis untuk seserahan sebulan lagi.

"Cukup?" Kutahan napas saat pertanyaanku tak juga dijawab.

Ini daftar ketiga yang kuberikan sejak seminggu lalu calon istriku mengubah semua daftar seserahan yang sebelumnya. Dia bilang masih ada yang kurang. Apalagi?

"Cukup, sayang?" Pertanyaan kuulangi, dan masih saja tak ada jawaban.

Aku mengecup kening calon istriku, beranjak dari keheningan. Mengambil secangkir kopi di meja, lalu menuju teras samping yang berada di depan kami berdua duduk sebelumnya.

"Pastikan. Waktunya tidak lama lagi." Calon istriku masih saja diam.

Mataku terus mengamatinya. Dia seperti mengulang-ulang membaca dari atas ke bawah, lebih dari tiga kali. Aneh. Biasanya dia langsung nyeletuk; kenapa ada ini? Kenapa ga ada itu? Harusnya ini ada dua, harusnya yang warna putih saja, atau kotaknya dihias supaya cantik.

Masih saja dia diam. Matanya terus menari-nari di atas kertas, menyetubuhi huruf-huruf yang keluar dari tanganku tadi. Kuseruput lagi kopi di tanganku.

"Masih ada yang kurang, sayang?" Kuulangi pertanyaan, entah untuk yang ke berapa kali.

Lalu kulihat dia menggelengkan kepala. Kepalanya menunduk dan rambut hitam panjangnya menutupi seluruh wajahnya. Meski tak kulihat wajahnya, aku tahu dia menangis. Isaknya kudengar, walaupun suaranya sengaja ditahan olehnya.

"Kamu kenapa, sayang? Ada yang kurang? Apa perlu aku tambah lagi macamnya?  Hei, kenapa nangis?" Pertanyaan bertubi-tubi kulempar kepadanya. Penasaran, takut, heran, dan entah macam apalagi pikiranku berkecamuk.

Calon istriku masih menangis. Suaranya katup oleh isak. Tiba-tiba ruangan ini menjadi sesak. Tidak ada yang kudengar selain isakannya dan detak jantungku sendiri. Perempuan di depanku menangis tanpa sebab, atau bersebab namun tak kuketahui. Perempuan yang sebentar lagi menjadi pendamping hidupku. Perempuan yang akan menyerahkan takdirnya tertulis dalam satu kertas dengan takdirku.

Lalu kenapa dia menangis menjelang hari bahagianya? Di mana saat ini yang kami bicarakan adalah daftar seserahan. Kami pun tidak ertengkar sama sekali. Isakannya melemah, bahkan sudah tidak kudengar lagi. Hanya ada detak jantungku yang masih bergemuruh, disusul detik jarum jam dinding di atas kami.

"Sayang, ada yang salah? Ceritakan, akukan calon suamimu, apa kamu masih ga percaya sama aku?" Keningnya kukecup, dua kali, supaya tenangnya juga jadi dua kali lipat jatuh di kepala sampai ke hatinya.

"Tidak, mas, aku rasa ini sudah cukup bahkan lebih. Aku sudah terlalu merepotkanmu dengan mengganti-ganti daftarnya. Aku tidak menyangka kamu mau serepot ini untuk aku.." Dia mengusap airmatanya dan menatapku dalam-dalam.

"Bukan untuk kamu, tapi kita." Kutimpali perkataannya yang belum selesai.

"Iya, untuk kita. Terima kasih, mas." Dia memelukku, erat. Kubalas, lebih erat dan hangat.

"Lalu, kenapa nangis? Mau cerita?"

"Ini sudah cukup, mas. Daftar ini sudah cukup. Tapi, apa boleh aku minta satu hal lagi sebelum kita benar-benar menjadi suami istri?" Raut mukanya serius. Tangannya melepas pelukan dan menggenggam tanganku dengan hangat yang sama.

"Apa? Kalau bisa kulakukan, pasti kulakukan. Kalau pun tidak, aku bisa berusaha untuk melakukannya. Apa permintaanmu, sayang?" Kutatap matanya lekat-lekat.

"Satu saja, mas, terakhir. Aku minta supaya kamu mau mengakui janin di rahimku ini sebagai anakmu."

Tidak ada suara lagi setelah permintaannya selesai dia utarakan. Yang aku ingat, di tanganku ada pecahan cangkir yang sudah bersimbah darah. Juga calon istriku yang diam terpejam tak lagi bergerak.

Rabu, 21 Agustus 2013

di angka dua belas

Kopi di meja kerjaku masih penuh. Uapnya lenyap, sudah dingin tanpa tersentuh. Aku menyambar botol air mineral yang isinya tinggal separuh, entah kopi tak lagi menarik perhatianku. Padahal tadi, aku menyeduhkan dengan berapi-api sambil merangkai kata-kata yang akan kutulis di blogku. Harumnya menguar begitu saja, menyeruak ke dadaku sebagai hambar.

Aku tak pernah seperti ini. Kopi tak pernah tak berarti. Entah apa yang terjadi.

Aku masih saja menulis dan terus menulis. Kata-kata meluncur begitu saja seperti anak-anak yang bermain seluncuran di taman , tidak berhenti. Kubiarkan saja. Biar sampai penuh kertas-kertas di hadapanku, biar sampai penuh kertas-kertas ini dengan pikiranku, biar sampai jenuh tanganku membelai huruf-huruf, biar sampai peluh tinta-tinta menetes.

Di kertas ke dua belas, berbarengan juga denting jam berbunyi dua belas kali.

Tanganku tiba-tiba berhenti, kini. Saat tak sengaja di kertas ke dua belas aku menuliskan stasiun sebagai judul. Dadaku berdebar, kepalaku brdenyut-denyut, telingaku berdengung, dan seluruh tubuhku terasa kaku. Apalagi ini? Tadi tak bisa berhenti, sekarang tak menemukan satu kata pun selain penat.

***

Pukul 12.01 setelah bunyi klik jam tanganku selesai. Kereta tak juga tiba, tak seperti biasanya kereta datang terlambat. Jika kereta terlambat, sudah kupastikan jadwalku berantakan semua. Jika kereta tak segera tiba, tulisan yang sudah kuselesaikan semalaman takkan  lagi berguna.

Masih kutunggu laju kereta itu tiba. Bosan memandangi rel, aku melempar pandanganku, menyisir luas stasiun yang penuh sesak dengan oang-orang asing. Mataku yang lelah, setelah semalaman bergadang sampai kulewatkan pula sarapanku untuk mengejar kereta. Apa hrus jga kulewatkan makan siangku jika harus tetap menunggu? Pandangan mataku berhenti di salah satu peron. Perempuan bermata sayu, menjinjing tas cokelat besar. Wajahnya kuyu, seolah masalah yang dihadapinya lebih besar berkali-kali lipat dari tas cokelat di tangannya. Aku hanya menebak. Tak ada yang bisa kulakukan selain mengorek-orek orang lain dengan pikiranku sendiri saat ini.

Perempuan itu mungkin sama denganku, menunggu kereta yang tak juga tiba. Atau menanti kekasihnya pulang. Atau hanya ingin menikmati kepenuhsesakan saja. Entahlah, aku hanya bisa menebak.

Stasiun ini, sesak orang-orang asing, kereta yang tak juga tiba, dan perempuan bermata sayu, memenuhi kepalaku. Ini rasanya sudah berabad-abad sejak tibaku. Aku melirik jam tanganku lagi. Pukul 12. 22. Ujung kereta masih juga tak kutemukan di ujung pandanganku, empat puluh lima menit perjalanan sampai di stasiun berikutnya, dan sepuluh menit perjalanan menuju tempatku bekerja. Kuhitung terus detik ke detik. Tak akan sampai. Laju kereta sepertinya usai, dan pekerjaanku selesai.

***

Aku berhenti menulis, mengangkat cangkir kopi dan dengan sengaja menumpahkan isinya di kertas ke dua belasku.





Selasa, 20 Agustus 2013

potret ibunda

"Ayah, ibu di mana? Boleh aku tahu bagaimana wajahnya?"

Ayah tetap saja menggeleng, ia diam dalam lamunan. Matanya jauh memandang angan-angan. Tidak bisa kugapai, sekalipun kugunakan tongkat paling panjang yang ada di dunia ini.

"Ayah, ibu di mana? Apa dia pergi seperti ibunya Salma? Ibu pergi ke Hongkong?"

Lelaki berkulit gelap di sampingku bergeming. Tubuhnya tak lagi tegap, tapi masih kutemukan keperkasaan yang paling dari urat-urat yang menonjol dari tangannya. Terus saja ia geming, dan di ruang kecil ini tinggallah hening.

Aku mulai menangis, dan tanganku masih terus menggenggam tangan lelaki berkulit gelap di sebelahku. Aku dalam isakku, dan lelaki yang kusebut ayah ini dalam gemuruh di dadanya.

***

Gadis kecil di sebelahku masih saja merengek-rengek. Menggenggam erat tanganku, seolah-olah dari sana dapat kutemukan jawaban atas pertanyaan yang selama ini diajukan kepadaku. Geming setia di dalam aku. Tak ada yang bisa kujawab. Aku memilih membenamkan diri dalam lamunan, seperti matahari yang pasrah terus luruh ke dalam cakrawala. Terus diam, terus tenggelam. Bungkam.

Gadis kecil yang malang. Terlalu malang untuk seorang gadis tak berdosa seperti dia. Wajahnya ayu dengan binar mata yang menyejukkan. Rambutnya hitam bergelombang, seperti ombak yang menggulung-gulung di laut, yang tak pernah sekalipun kuseberangi. Jemari tangannya lentik, kulitnya halus meski sabun murah setiap hari menyapu seluruh kulitnya. Ia malaikat kecil yang dikirim Tuhan kepadaku, sepertinya.

Tuhan, bisakah aku mengubur semua ingatan yang kupunya, dan membiarkan gadis kecil ini hidup dalam bahagianya tanpa secuil pun luka atas hadirnya? Gadis kecil ini hanya tak perlu tahu sakit yang pernah aku rasakan. Tapi dia punya hak untuk tahu dari mana asal usulnya.

"Dila, jangan menangis lagi. Ayah akan beritahu siapa dan bagaimana wajah ibumu."

Aku menelan ludah, dan memberanikan diri menatap matanya yang sejuk. Menampung segala yakin yang sedari dulu hanya berkeliaran di sekitar. Bisakah kukatakan semuanya? Dan kukeluarkan selembar foto hitam putih yang hampir koyak, gambarnya sudah hampir pudar. Foto yang sudah kusimpan lebih dari tujuh tahun itu, foto yang menyimpan lebih dari sejuta ingatan, foto yang seharusnya tak pernah ada.

"Ini foto ibumu, La. Maaf ayah baru bisa memberikan padamu sekarang."

Dila mengusap airmatanya, matanya tak lagi sayu, masih merah bekas tangisannya, tapi menyorotkan cahaya yang belum pernah sekalipun kulihat sebelum ini. Ia seperti anak kecil yang menemukan ribuan permen dan cokelat di atas tempat tidurnya. Bahagia nampak sekali di raut mukanya.

Dadaku berdegup kencang, melebihi suara gemuruh pesawat terbang. Tidak ada yang bisa kulakukan, selain kembali diam, diam, dan diam. Aku meliriknya, dan masih saja kebahagiaan gadis kecil itu singgah di sorot matanya.

Semoga, ia bahagia oleh karena foto perempuan itu.
Semoga, bahagianya menutupi ketakutanku.
Semoga, ia tak mengenalinya sebagai aku.

Senin, 19 Agustus 2013

pengantar pesan

Sore yang tenang. Rintik hujan masih bertandang, jendela kamar penuh tempias, satu dua tetes ada yang mengalir. Aku masih mencari-cari kertas lipat yang tadi siang kubeli di toko depan sekolah. Kalau tidak salah, tadi kuletakkan di atas meja belajar sambil membereskan buku pelajaran yang kubawa tadi ke sekolah.

"Kak Rio, kakak lihat kertas lipatku ga?"

"Kamu taruh di mana?"

"Di meja belajar, tapi ga ada."

"Cari dulu, mungkin terselip di buku-bukumu. Biasanya kamu teledor."

"Ga ada, kak. Sudah kucari sampai kubolak-balik."

"Ya sudah, beli lagi saja di warung Pak Ali. Kakak kasih uangnya."

"Ga mau. Kertas lipat di warung Pak Ali terlalu tipis. Kalau kujadikan pesawat-pesawatan ga bisa terbang tinggi dan lama. Nanti ibu ga bisa baca surat, kak."

"Cari lagi dulu, pasti ada."

Aku membongkar lagi buku-buku di meja belajarku. Kubuka satu persatu tumpukan buku itu. Satu demi satu, tetap saja tak kutemukan kertas warna-warni yang masih utuh dalam plastik itu. Ah, sore hampir habis. Matahari sudah hampir menyentuh cakrawala. Kalau aku terlambat dan petang tiba lebih dulu, apa ibu mau menunggu suratku? Ibu pernah bilang, bahwa senja adalah kebahagiaannya selain keluarga.

Setahun lalu, sejak ibu memilih bertemu Tuhan, aku tak pernah sekali pun  lupa untuk mengirim suratku kepada ibu. Aku menulis apa saja, tentang kangenku, tentang perubahan suasana rumah yng menjadi sangat sepi, tentang Kak Rio yang lebih sering diam, tentang ayah yang sibuk melebihi apa pun, tentang sekolahku, dan tentang aku sendiri yang tidak lagi dapat memeluk siapa-siapa.

"Ibu, aku masih mencari kertas lpatku. Tadi aku sudah membeli, tapi aku lupa menaruhnya. Ibu mau menunggu pesawat kertasku, juga isi pesannya? Seperti biasa, bu, pesannya bertulis aku kangen ibu."

Ah, sudah gelap di luar sana. Belum juga kutemukan. Lalu kusobek kertas dari buku tulisku, dan menulis pesan..

Ibu, pesawatku terlambat, tapi kangenku untukmu tidak akan pernah terlewat.
Kak Rio sudah mau berbaik hati mau membelikan kertas lipat di warung Pak Ali, tapi aku tidak mau.
Sekolahku hari ini biasa saja, bu, aku mengerjakan tugasku dengan baik, seperti nasehat ibu.
Ayah belum pulang sampai sekarang, masih sibuk dengan pekerjaannya, mungkin ayah juga kangen sama ibu.
Sudah, bu, aku mau mencari kertas lipatku lagi. Biar besok aku mengirim pesanku dengan pesawat kertas warna warni, seperti pelangi, eperti wajah ibu yang berseri-seri.

Salam kangen, Arin.


Pesawat kuterbangkan dari jendela kamar. Ditiup-tiup angin sampai jauh membawa kabar. Pesanku, ibu, supaya sampai kepada kekal bahagiamu. Biar aku di sini, menjaga kebahagiaan yang dulu pernah kau tinggali.

Aku kembali mencari kertas lipat, dan menunggu ayah pulang dari kesibukan yang ditinggalinya setelah kepergian separuh jiwanya.







Minggu, 18 Agustus 2013

menulis takdir; catatan keinginan.

Aku bersyukur, masih ada tempat yang kusebut rumah. Di tempat ini, di ruang aku duduk menghempas lelah. Di sini pula aku menghabiskan waktu-waktu yang kumiliki. Tiada henti. Dinding berwarna cokelat tanpa perlu dicat. Lantai beralas koran-koran lampau yang kugelar rapi menutupi tanah merah. Tak ada jendela, pintu hanya sekadarnya asal bisa untuk keluar dan kututup rapat saat aku tidur, atau kutinggal pergi.

"Dharma, sudah kau ambil jatah koranmu pagi ini?" Andang mengagetkanku.

"Kau dulu saja ambil punyamu. Aku mau ke tempat Dita mengembalikan sepeda." Aku menjawab sembari menata tumpukan koran sisa jualan kemarin sore.

"Ya sudah, nanti kusampaikan ke bang Tohir kalau kau akan terlambat." Suaranya kudengar semakin juh.

Dita. Nama yang tak pernah mampu aku elak. Bukan hanya karena parasnya yang begitu anggun, tapi juga ketulusannya yang selalu tiba tanpa perlu diminta seperti embun. Dita, gadis bermata bintang yang setiap hari menunggu koran pagi di teras rumahnya. Ia menunggu aku, menunggu hantaranku tepatnya.

Kukayuh sepeda berwarna biru muda. Sepeda pinjaman dari Dita karena semalam aku harus mengambil pesanan milik Pak Anton, di toko pusat kota. Siapa lagi kalau bukan Dita yang akan dengan baik hatinya meminjamiku sepeda. Untuk berjalan ke pusat kota, aku harus menempuh jarak 10km. Bisa saja aku berjalan kaki, tapi waktuku terlalu sia-sia jika hanya kugunakan untuk mengayun langkah. Bagaimana dengan pekerjaanku yang lain?

Pagi ini pukul 05.30, aku sudah sampai di depan rumah berpagar tinggi bercat putih, senada dengan cat dinding rumahnya. Kutekan bel, karena jika aku hanya mengetuk pagar, rasanya percuma. Pernah aku mengetuk-ngetuk pagar hampir setengah jam tanpa ada yang membuka. Tak ada yang mendengar, kata yang empunya rumah.

"Hei, kamu Dharma. Tumben jam segini sudah tiba, mana koranku hari ini?"

Suaranya mengalun bak lagu, mendayu-dayu di telingaku. Bagaimana mungkin aku tidak terpesona, pun senyumnya yang tak pernah alpa di bibirnya. Sungguh, aku tak pernah mau melewatkan salah satu surga kecil titipan Tuhan.

"Maaf, Dit. Koranmu akan kuantar nanti. Ini aku mengantar sepedamu lebih dulu."

"Kenapa tak kau pakai untuk mengantar koran. Kau bisa mengembalikannya kalau pekerjaanmu sudah selesai."

"Tidak. Kakiku sudah biasa berjalan. Lagipula sekalian aku olahraga pagi. Nanti kalau pakai sepedamu malah keenakan."

***

Hidupku berjalan seperti biasanya. Pagi hingga siang dengan koran-koran. Sore hari biasa kuhabiskan di terminal. Malam, biasanya aku sudah merebah di rumahku yang nyaman untukku sendiri, jika tidak ada orang yang membutuhkan tenagaku untuk apa saja.

Di malam seperti inilah, aku selalu menghabiskan waktuku di antara angan dan harapan. Aku punya sebatang pensil yang kudapat dari bang Tohir untuk mencatat koran-koran yang berhasil kujual atau tidak. Di antara koran-koran yang berserakan di petak ruangku, di sela-sela halaman yang tak berisi tulisan, aku menggoreskan pensil dengan tulisanku. Mencatat apa saja yang berkelebat di kepalaku. Mengenai hidup, dari pagi-siang-sore-malam. Juga mencatat keinginan-keinginan yang hanya mampu kuterbangkan di awang-awangku sendiri. Pun mengenai Dita, debarku tak sanggup untuk menyatakan dan memintanya menjadi kekasihku.

Di catatan-catatanku, di sisa-sisa koran yang tak laku kujual, aku menuliskan segala keinginan. Menuliskan mimpiku, menuliskan takdirku.

Sabtu, 17 Agustus 2013

Tiga Senjata

"MERDEKAAAA..!! MERDEKAAAAA..!!"

Anto berlari mengacung-acungkan bambu kecil di tangannya. Di tengah lapangan ia berguling-guling kegirangan, disusul anak-anak lain, teman bermainnya yang juga menggenggam senjatanya. Wajah dan seluruh tubuh anak-anak itu berlumur lumpur dan noda merah; pewarna yang sengaja mereka balurkan di tubuh mereka.

Besok, hari kemerdekaan Republik Indonesia ke 68 akan dirayakan seluruh negeri ini. Anak-anak Bumiasih, termasuk Anto sudah merayakan sejak hari ini. Setelah mempersiapkan alat perang-perangan dan menentukan grup mana yang menjadi pejuang dan grup mana yang menjadi penjajah, mereka berpencar untuk memulai perang. Sejak siang hingga sore, lapangan Bumiasih riuh rendah oleh teriakan anak-anak memperjuangkan kemerdekaan.

"Anto, ayo pulang. Sudah jam lima, kamu harus mandi."

"Iya, bu.. Anto bereskan dulu mainanku."

***

Anto memandangi bendera merah putih yang berkibar-kibar di depan rumahnya. Hebat benar bendera itu, tak lelah berkibar sejak seminggu lalu dipasang di bambu yang dia dan kakeknya cari di kebun belakang rumahnya. Pikirannya melayang-layang membayangkan betapa hebatnya pula dulu para pahlawan memperjuangkan kemerdekaan negara ini. Apa jika aku dulu ikut berperang, apa aku juga bisa berjuang sampai menang?

"Ah, pasti keren kalau dulu aku jadi pejuang."

"Kau tetap bisa jadi pejuang sekarang."

"Eh ada kakek. Jadi pejuang, kek? Pakai bambu runcing? Apa pakai bom?"

"Bukan pakai senjata macam itu."

"Lalu? Kalau tangan kosong, mati duluan dong, kek.."

"Kakek punya tiga senjata ampuh yang bisa kamu gunakan untuk berjuang. Bisa kamu pakai sampai kapan pun mau, tidak akan pernah habis pelurunya."

Mata Anto berbinar-binar mendengar cerita tentang tiga senjata ampuh milik kakeknya.

Senjata itu pasti bisa membunuh semua musuh yang menyerang. Sekali pakai langsung menang. Pasti hebat. Pikirannya melayang-layang.

"Apa kek senjatanya?"

"Kalau kakek kasih tahu, kamu harus menggunakannya, ya?"

Anto hanya mengangguk sambil menyamankan letak duduknya. Dia sungguh tidak sabar untuk mengetahui tiga senjata ampuh kakeknya.

"Apa kek, apa???"

"Yang pertama, TOLONG."

Anto mengeryitkan dahinya. Dia tidak paham sama sekali dengan apa yang disebutkan kakeknya itu.

"Itu senjata awal untuk kamu mendapatkan hati orang lain. Dengan mengucapkan tolong sebelum kamu meminta orang lain untuk membantumu, itu akan membuatmu menghargai orang lain dan kamu akan dihargai pula."

"Katanya senjata ampuh, kok malah minta tolong? Di mana ampuhnya, kek?

"Kakek lanjutkan dulu, ya, pertanyaanmu akan kakek jawab nanti."

Kernyitan di dahi Anto kian menebal. Sementara itu, kakek hanya menimpalinya dengan senyuman yang masih juga tidak dimengerti Anto.

"Senjata yang kedua, MAAF."

"Maaf?"

"Lho, iya. Maaf itu penting. Dengan maaf kamu akan menjadi rendah hati, dan tidak akan direndahkan orang lain."

"Lalu yang ketiga apa?"

"Ini juga ga kalah penting dari senjata yang dua tadi."

"Apa kek?"

"TERIMA KASIH. Semua yang telah dilakukan orang lain kepadamu, baik sengaja atau tidak, wajib bagi kamu untuk mengucapkan terima kasih."

"Jadi tiga senjata ampuh tuh itu aja? Anto kira kayak bambu runcing atau pistol. Kan pejuang dulu pakai itu, kek."

"Itu jaman dulu, To. Sekarang senjata yang ampuh yang tiga itu. Kamu akan dihargai, kamu menjadi rendah hati, dan kamu menjadi orang yang tahu diri."

Anto benar-benar mencermati tiap kata yang keluar dari mulut kakeknya.

"Kepada pahlawannya Anto, hormaaaaattt graaaaakkkk!!!"

Jumat, 16 Agustus 2013

Lima Menit Kemudian

11:20

Kerikil-kerikil menyentuh telapak kakiku, teramat menyengat. Sedari pagi matahari sudah berbagi terik. Semoga hari ini ada sepasang sandal butut kutemukan. Kasihan kakiku, setiap hari kujadikan penompang dan hanya kebagian lelah dan lepuhan.

Entah sudah berapa jauh aku berjalan. Sudah berapa lelah kubiarkan. Aku hanya menyusuri rel kereta, menuju entah ke mana.
Apa di depan sana ada tujuan? Apakah aku akan menemui kebahagiaan jika langkah kuteruskan? Pertanyaan demi pertanyaan menusuk-nusuk kepalaku minta jawaban. Apa aku terlihat punya jawaban? Apa aku nampak memegang keteguhan?

11:22

Matahari hampir sampai di atas ubun-ubun. Kalau tidak salah mengira, kurang dari tiga menit lagi kereta jurusan Semarang-Jakarta akan melewati rel di sebelahku. Kereta ketiga yang menuju ibukota. Ada apa di sana? Berbondong-bondong orang mendatanginya. Apa aku harus juga?

Lagi-lagi kepalaku sudah dihunjami pertanyaan yang jawabannya masih menggantung di angan awan.

11:24

Langkah masih kuteruskan, meski tujuan masih harus kucari-cari di dasar endapan. Apa yang bisa kutemukan selain ketiadaan?

Kudengar, suara gemuruh di rel. Kereta sudah dekat dari tempatku berjalan. Aku berhenti. Menanti.

11:25

Kereta lewat, tepat seperti perkiraanku. Aku melihat lokomotif begitu besar, begitu kokoh dan teramat kuat. Gerbong-gerbong penuh berisi ratusan orang menuju ibukota. Mereka memiliki tujuan.

Ah, kini aku juga punya tujuan. Kereta itu meyakinkanku untuk memilih tempuhan. Kakiku lelah, hidup juga jengah. Biar kereta itu menuju ibukota, dan aku sekarang menuju ibuku, di surga..

Rabu, 14 Agustus 2013

Tombol Pengingat

Keriput semakin menutupi wajahnya, tapi masih saja kutemukan ketampanan di sana. Usia tak menelan habis rona-rona mudanya.

"Pak, minum obatnya dulu. Sudah Rima siapkan di meja, teh hangatnya juga. Rima berangkat kerja, ya."

Setiap pagi, setiap hari, semenjak kepergian ibu tiga tahun lalu, dan ketidakpulangan mas Rama sepuluh tahun lalu, bapak lebih sering melamun di ambang pintu ruang tamu. Ia menunggu, menunggu dan menunggu.

Ibu, belahan jiwanya pergi, berkali-kali ia coba merelakannya, mengunci diri dengan senyumnya yang mati.

Mas Rama, darah dagingnya yang begitu ia banggakan sebagai seorang polisi, menerima tugas di jauh pulau tanpa pernah kembali.

Sering aku melihat bapak duduk di kursi kesayangannya sambil berbincang sendiri. Sambil tersenyum, bahkan sesekali tertawa. Yang kuingat betul, itu gaya dan kebiasaan bapak jika sedang bercakap dengan ibu. Dulu.

Cinta tak bisa mati, rindu menghidupkannya berkali-kali.

Pun mengenai mas Rama. Jika bapak lelah menunggu di ambang pintu, ia akan memakai sepatu milik mas Rama yang ditinggalnya dulu karena sudah kekecilan, lalu pergi ke terminal. Untuk lagi-lagi menunggu.

Aku sudah terbiasa dengan kebiasaan bapak yang satu itu. Percakapannya di ruang tamu, tawanya, juga tunggunya di terminal kotaku. Bapak terlalu setia kepada cintanya. Aku tidak berani membayangkan jika aku juga pergi.

Tuhan, aku ingin tetap di sini.

Petang ini, setelah menjemput bapak dari terminal, aku mengajak bapak duduk di depan televisi. Membuatkannya teh hangat dan menyelimuti tubuh rentanya.

"Pak, kita nonton ini saja ya."

"Gambar inikan waktu masmu lulus di akademi. Ibumu ayu, masmu gagah tenan. Kowe yo ra kalah ayu seko ibumu, nanging ijih polos."

Aku membiarkan bapak menonton rekaman itu.

"Iki piye neg meh mbaleni meneh?"

Kuajari bapak menggunakan remote dvd player. Dan membiarkannya memutar ulang ingatan kebahagiaan paling membanggakan dalam seumur hidupnya. Berulang-ulang. Berulang-ulang. Berulang-ulang, sampai lelah menaruh kantuk di matanya tanpa sadar.

Tombol Pengingat

Keriput semakin menutupi wajahnya, tapi masih saja kutemukan ketampanan di sana. Usia tak menelan habis rona-rona mudanya.

"Pak, minum obatnya dulu. Sudah Rima siapkan di meja, teh hangatnya juga. Rima berangkat kerja, ya."

Setiap pagi, setiap hari, semenjak kepergian ibu tiga tahun lalu, dan ketidakpulangan mas Rama sepuluh tahun lalu, bapak lebih sering melamun di ambang pintu ruang tamu. Ia menunggu, menunggu dan menunggu.

Ibu, belahan jiwanya pergi, berkali-kali ia coba merelakannya, mengunci diri dengan senyumnya yang mati.

Mas Rama, darah dagingnya yang begitu ia banggakan sebagai seorang polisi, menerima tugas di jauh pulau tanpa pernah kembali.

Sering aku melihat bapak duduk di kursi kesayangannya sambil berbincang sendiri. Sambil tersenyum, bahkan sesekali tertawa. Yang kuingat betul, itu gaya dan kebiasaan bapak jika sedang bercakap dengan ibu. Dulu.

Cinta tak bisa mati, rindu menghidupkannya berkali-kali.

Pun mengenai mas Rama. Jika bapak lelah menunggu di ambang pintu, ia akan memakai sepatu milik mas Rama yang ditinggalnya dulu karena sudah kekecilan, lalu pergi ke terminal. Untuk lagi-lagi menunggu.

Aku sudah terbiasa dengan kebiasaan bapak yang satu itu. Percakapannya di ruang tamu, tawanya, juga tunggunya di terminal kotaku. Bapak terlalu setia kepada cintanya. Aku tidak berani membayangkan jika aku juga pergi.

Tuhan, aku ingin tetap di sini.

Petang ini, setelah menjemput bapak dari terminal, aku mengajak bapak duduk di depan televisi. Membuatkannya teh hangat dan menyelimuti tubuh rentanya.

"Pak, kita nonton ini saja ya."

"Gambar inikan waktu masmu lulus di akademi. Ibumu ayu, masmu gagah tenan. Kowe yo ra kalah ayu seko ibumu, nanging ijih polos."

Aku membiarkan bapak menonton rekaman itu.

"Iki piye neg meh mbaleni meneh?"

Kuajari bapak menggunakan remote dvd player. Dan membiarkannya memutar ulang ingatan kebahagiaan paling membanggakan dalam seumur hidupnya. Berulang-ulang. Berulang-ulang. Berulang-ulang, sampai lelah menaruh kantuk di matanya tanpa sadar.

sepasang sepatu tua

"Pak sepatunya saya semir, Pak.."

Tidak ada yang menjawab. Terminal ini penuh orang-orang yang tak peduli, atau mungkin mereka tuli hingga tak mendengar aku. Atau bahkan mungkin mereka buta, sampai-sampai tak melihat adaku. Penampilanku memang kumuh. Baju yang kupakai bekas ayahku dulu, celana warna merah, seragam sekolahku tadi siang. Tidak ada ganti, bahkan sekadar untuk satu hari.

Aku sudah berjalan dari satu ruang tunggu agen-agen bus, ke ruang tunggu agen-agen lainnya. Tak ada yang tertarik melihat keahlianku menyemir sepatu. Padahal ada lebih dari lima pasang kaki yang sepatunya berdebu. Kemarau mengirim angin, menerbangkan udara berisi debu. Tidak ada yang tertarik.

"Pak, boleh saya semir sepatunya?"

"Ini sepatu mahal, kena semirmu nanti rusak. Tidak usah."

Aku kembali melangkah, menjauhi keramaian.

Di sudut terminal, ada pos polisi yang tidak lagi digunakan. Aku biasa duduk di sana melepas lelah sembari menunggu pelanggan yang alas kakinya butuh dibersihkan. Biasanya aku sendirian, tapi kali ini kulihat sudah ada seorang lelaki tua bersandar di salah satu dinding bercat putih biru pudar itu. Pelan-pelan kudekati. Aku mengangguk tersenyum untuk menyapanya. Lelaki itu tersenyum dengan gurat-gurat keriput di wajahnya.

"Kamu nyemir sepatu, ya?"

"Iya. Bapak mau saya semir sepatunya? Murah kok, Pak."

Ia melepas, lalu memberikan sepasang sepatunya. Menaruh dengan sangat hati-hati di samping kotak kerjaku. Ia memandangi sepatunya. Mengamatinya dengan segala sisa kemampuan penglihatannya yang kian renta, sama dengan usianya kurasa.

"Itu sepatu anak saya. Anak saya polisi, sedang tugas di Sulawesi."

"Wah hebat anak bapak. Ini sudah tidak dipakai lagi sama anak bapak?"

"Dia punya sepatu baru. Ini ditinggal di rumah. Tapi daripada rusak tidak dipakai, ya saya buat jalan-jalan saja. Rasanya seperti berjalan dengan anak saya."

Ia terus bercerita mengenai anaknya. Matanya berbinar tiap menyebut nama anaknya, terlihat seperti manik-manik yang disorot sinar.

Adakah yang lebih membahagiakan? Ketika seorang ayah begitu semangat dan bangganya menceritakan tentang keberhasilan darah dagingnya sendiri. Seandainya ayah masih ada, apa ia akan menceritakan aku sedemikian lelaki tua ini bercerita?

Sepasang sepatunya hampir selesai kusemir. Sudah terlihat lebih mengkilap, bahkan aku dapat melihat lelaki gagah dan tampan dengan paras yang sama dengan lelaki ini, namun dengan usia jauh lebih muda.

"Ini pak sepatunya, sudah selesai."

"Oh ya, terima kasih. Bapak terlalu banyak bercerita rupanya."

"Tidak apa-apa, pak. Saya senang mendengarnya."

Dari kejauhan, seorang perempuan berjalan mendekat. Parasnya mirip dengan lelaki tua di hadapanku.

"Pak, ayo pulang. Sudah mau magrib. Mas Rama sudah di rumah."

"Lho, bapak kan mau jemput dia. Kok malah pulang duluan. Piye to masmu kui?"

"Maaf, mas. Bapak saya memang masih terus menunggu kakak saya, setelah dikirim tugas ke pedalaman Papua sepuluh tahun lalu. Sampai sekarang belum ada kabarnya."

Senin, 12 Agustus 2013

jejak kehilangan

Satu sore tiba di pesisir paling tepi -- menyisa basah kecipak ombak, sibuk menghapus jejak-jejak.
Seperti kenangan yang tak lagi dipahami.

Lalu kau dan aku di sini, serta muram langit ditiupi angin.
Ini musim langut, kita dan sepasang puisi enggan lagi bertaut.

Para camar hanya berputar-putar di bawah langit tanpa hujan.
Suara pengisi ruang kehampaan kian berjeda, menghempaskan kesunyian.
Menghempakan hela napas-napas jiwa senja kelelahan.

dan membiarkan buih-buih asin menyentuhkan rasa asing di sela jemari kaki kita.
dan tak ada yang mengisi jejak-jejak pasir dengan desir sampai pantai utara.

Lalu, tahukah kau, siapakah yang masih riuh bercengkerama?
Selain siluet foto ciuman kita, dan sisa-sisa teduh ketabahan di bawah karang.

Mungkinkah laut, memisahkan aku yang pantai dan kau kedalaman palung?
Sdang angin-angin mengirim ombak, mengasingkan alamat di kaki-kaki berjejak.
Sampai kecemasan, mengapung di antara kehilangan dan kehilangan, dan kehilangan..


( kolaborasi dengan @_bianglala)