Aku menulis surat untukmu (lagi). Surat yang kutulis tepat di tanggal 14 Februari. Kata orang ini hari kasih sayang, dirayakan dengan bunga dan coklat. Tetapi karena kita berjarak, maka kurayakan saja di sini, di kelopak kata-kata. Rasanya kupikir akan tetap manis seperti coklat.
Sayang, bacalah surat ini pelan-pelan supaya kau paham benar apa mauku. :)
Pulang itu bernama kamu. Rumah di atas bumi, beratus kilometer jauhnya dari langit. Betapa aku sebenarnya tak pernah jauh meskipun dirundung jarak, sebab kakiku juga masih menapak di bumi. Kau bukan istana, kau bukan kastil, tetapi kau hanyalah rumah yang selalu membuatku ingin pulang.
Di dalam kamu, aku bisa menghabiskan waktu. Berjam-jam sampai dipukul-pukul kenyataan kalau tidak cuma kamu untukku hidup. Kamu adalah makna-makna yang tak ditemui para filsuf, hanya diketahui olehku saja.
Aku memang bukanlah tameng baja yang digunakan Achilles dalam pertarungannya melawan Hector, tetapi aku sanggup melindungimu dari semua panah yang coba menusuk dan melukai kulitmu. Aku cuma seseorang yang mempunyai keterbatasan, bahkan mimpiku saja tidak bisa menjangkau langit. Tetapi tidak sekali pun aku gentar untuk melawan udara dingin yang coba membekukanmu. Tidak pernah terpikir olehku untuk meletakkan segores luka di tubuhmu, apalagi di dalam hatimu.
Sayang, sekarang aku memberanikan diri untuk meminta satu hal darimu. Aku tak mengacuhkan ribuan lonceng yang berdentang dalam dadaku. Pun dari segala napas yang memburu selama aku menulis surat ini. Aku bersaksi, bahwa cinta yang berdiam di dalam aku tidak akan lagi terbang ke angkasa jika bukan karena maumu. Sebab ia telah jatuh ke dalam hatimu.
Tutuplah matamu sekali lagi dan yakinkan dirimu, bahwa aku yang tampak di pejammu. Kau harus tahu, akulah seseorang yang akan kau dapati selepas ini di tiap pejam dan terbukanya matamu. Segala yang tertulis di sini adalah apa yang ada dalam dadaku.
Sayangku, relakah jika sisa hidupmu kau habiskan denganku?