Mungkin aku mencintai diriku sama seperti kau mencintai aku. Atau seperti laut yang mencintai pantai, hingga ujung-ujung pasir tak pernah dilepas asin. Mungkin seperti itu, aku tak tahu pastinya bagaimana kau sebenarnya mencintaiku.
Kepada mama, seringnya aku hanya peduli mengenaiku. Bagaimana kau harus menyediakanku sarapan dan bekal setiap pagi, memasak untuk makan siang kalau aku tiba-tiba pulang, menyajikan makan malam karena takut aku kelaparan di tengah malam. Bahkan aku seringkali hanyut pada marahku, di mana kau hanya lupa tak mengecupku ketika berangkat atau tak memelukku lebih dulu sebelum aku lelap tertidur. Aku hanya peduli aku.
Melulu aku tak memerhatikan senyummu. Terkadang kau juga pasti lelah, tetapi aku sedikit saja tak melihat bahwa keriput di pipimu mulai bertambah. Aku bisa saja membelikanmu bedak paling mahal, tetapi sekalipun aku takkan sanggup mengembalikan sedetik saja waktu. Kesibukanku berganti dari bermain, sekolah, bekerja, menjalin cinta dengan kekasihku, namun kesibukanmu hanya satu; membahagiakan suami dan anak-anakmu.
Mama, musim telah mengajariku banyak hal. Termasuk hujan yang seringkali jatuh di tubir waktu dan jadi penyesalan karena basah tak lebih tabah dari hatimu. Juga mengenai hari-hari di mana aku menjauhkan diri dan menjadi lebih peduli pada dunia yang tak pernah aku kenali.
Aku tahu, kau tak pernah jauh dariku. Doa-doamu selalu jadi embun pagi yang jatuh di kaca jendela dan membangunkan aku. Mengantar hidupku untuk tak jatuh ke dalam luka. Terkadang, waktu aku mengingatmu, aku jadi takut untuk memejam. Bagaimana nanti kalau aku tak lagi bisa membuka mata dan mendapatimu begitu jauh dari aku? Bagaimana?
Sungguh, aku perca kain yang dijahit begitu rapi oleh tanganmu. Diciptanya aku jadi baju dan menghangatkan tubuhku sendiri. Benang yang kau pakai untuk menjahit bahkan tak sedikit pun berani koyak. Tidak ada yang boleh menyakiti aku, bahkan diriku sendiri, katamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar