Rabu, 04 Februari 2015

Menangguhkan Mimpi

Paling sedih itu waktu melepasmu dari mataku. Kamu seolah-olah meneriakkan jangan tepat di telingaku. Menanam harapan yang kamu tahu akhirnya tetaplah kosong.

Di dalam matamu sedih terperangkap sampai tak bisa menangis, lalu memaksa bibir mungilmu untuk tersenyum. Tapi sungguh, lengkung senyummu itu jauh lebih tajam dari belati. Aku tertusuk tapi tak mati. Aku dilukai mimpi-mimpi yang terkepal di tanganmu.

Pada pertemuan itu, aku sadar bahwa malaikat bisa jadi siapa saja. Termasuk kamu, malaikat kecil tak bersayap yang tinggal di langit-langit mimpi. Dan kamu mengenalkan kepadaku tentang mimpi paling sederhana, tentang bahagia paling lengkap itu apa.

"Aku mau punya papa dan mama atau kalau tidak bisa, kakak berkunjung saja ke sini setiap minggu. Kita misa sama-sama di gereja. Nanti kukenalkan kakak pada Tuhan." katamu sambil memelukku sebelum aku pamit.

Mungkin kamu adalah mimpiku yang tersesat dan aku menemukanmu di sini, di tempat mimpi-mimpi sebelumnya dititipkan atau dibuang.

Kutinggalkan kau di sana bukan karena aku tak mau menyambut mimpimu, tetapi waktu belum menempatkan kita pada detik-detik yang sama. Aku meninggalkan senyummu dan pamit dengan senyuman tanpa kata-kata. Kelak aku akan mewujudkan mimpimu dan melihatmu tersenyum dengan gagah sambil mengepalkan tangan. Kau akan hidup dengan bahagia.

Di dalam tiap mimpimu, akan selalu ada amin dariku.

(Surat ini untuk Peter Himawan yang sampai sekarang masih tinggal di panti asuhan. Nanti kalau kakak pulang, kakak ke sana lagi.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar