Minggu, 22 Februari 2015

Di Bawah Payung

Sungguh, pada saat akhirnya kita bertemu aku ingin memberimu detik jam. Supaya kau tahu di sana masih ada waktu yang berdetak untukmu. Setelah itu baru pelukan untuk kembali menghangatkan masing-masing dada yang sebelumnya saling menggigil oleh jarak.

Kini aku tak lagi sendiri merangkum kangen di antara deras hujan. Sayang, aku mau membuat hujan cemburu. Karena sebelum-sebelum ini hujanlah yang sering kucemburui, hujan lebih sering menyentuhmu daripada aku. Atau kau mau bermain hujan dan membuat basah paling bahagia? Aku akan menaruh payung, lalu menari di antara derasan.

Sayang, katamu, dulu kau sering bermain hujan dan tak pernah takut kedinginan. Oleh sebabnya, aku, seseorang yang akrab dengan gigil, dengan senang hati menemanimu di sini. Bahkan rela jika harus menanggung gigil yang milikmu.

Sayang, aku sering berdoa supaya payung yang kutaruh saat kita bermain hujan tidak hilang. Karena aku cuma punya satu. Aku mau payung itu jadi pelindung di saat kamu atau aku malas bermain hujan. Juga supaya dengan payung itu kita berjalan saling berengkuhan. Kita diatapi satu payung dan saling tersenyum. Bahkan jika mau menangis, masing-masing kita tak perlu malu atau menyembunyikannya dengan berhujan-hujan.

Nanti, pada saat akhirnya kita tiba di akhir usia, aku mau payung itu ikut dalam perjalanan terakhir kita. Entah lebih dulu aku atau kamu. Supaya masing-masing kita ingat bahwa di bawah payung ini kita pernah sama-sama bahagia. Lalu kita menutup payungnya, mengatup kesedihan, menyimpannya sampai kesedihan berikutnya kita atapi dengan apa yang sungguh pernah mengatapi kebahagiaan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar