Aku menyeduh secangkir lagi kopi. Di luar jendela, hujan masih saja deras sedari pagi. Kenangan menyiangi kepala dan setiap detiknya ada saja kau di sana. Masih. Sebab itu aku kemudian menulis surat ini. Tanganku tak sabar menuliskan kata-kata yang kepada diriku dan dirimu ingin ditujukan untuk dibaca.
Aku ingat, betapa luka masih menjadi ulat dan bersembunyi di antara dedaunan yang tertawa digelitik angin. Betapa luka pernah sekecil itu dan aku tak sedikit pun merasa atau melihat. Sampai pada suatu hari, luka yang ulat itu mulai lapar dan menemui daun tempatnya hidup unyuk dimakan. Aku tahu, sayang, daun itu tumbuh di pohon dadaku yang pernah begitu rajin kau sirami selagi waktu belum mengenalkan perpisahan kepada kita.
Waktu itu aku juga ingat, pohon yang kering kau tinggalkan dengan sisa daun yang hampir habis, tertinggal ranting. Betapa lagi-lagi luka yang ulat itu menghabisi aku. Sampai pada akhirnya kau melilit tubuhmu sendiri di dalam kepompong dan waktu menjadikanmu indah kupu-kupu. Kau memerlihatkan kecantikanmu pada semesta, sementara aku kering dan mulai mati di antara musim. Kau terbang mengitari aku. Menunjukkan bahwa kepak sayap indahmu sanggup meninggalkan aku. Bahkan kau lebih cantik dari bunga yang mekar di taman.
Aku, pohon kering itu berusaha tetap tumbuh dengan melihat kepergianmu. Aku memang tak sanggup terbang, tetapi aku tetap mampu tumbuh meski harus menunggu hujan di musim selanjutnya. Atau barangkali ada tangan yang tak tega dan menyiramiku sebelum aku benar-benar kering seperti gurun pasir.
Aku masih percaya akan ada matahari mengirim cahaya dan takkan pernah habis untuk menyeka luka. Aku juga paham akan ada lagi ulat yang menyentuh tubuhku, tetapi takkan kubiarkan lagi ia menggerogoti aku seperti ulat sebelumnya. Kau, tetaplah jadi kupu-kupu yang pergi meninggalkan aku dan aku akan jadi pohon yang rela untuk disinggahi lagi ulat juga luka-luka. Selagi masih ada waktu untukku mencintaimu.