Salam deras, hujan..
Aku senang dengan keberadaanmu. Berulangkali aku jatuh cinta, dan selalu jatuh cinta untuk datangmu. Menjadi tenang dan kelegaan bagi kerontang. Rerumput tak lagi kering, dan daun rimbun subur karena pohon cukup minum.
Beberapa hari ini, kau datang bertubi-tubi menyebar deras. Dari pelosok desa sampai tanah ibukota. Dari desaku, aku menyambutmu dengan tawa. Mengaminkan berkah yang turun sebanyak-banyaknya. Aku bersyukur tanahku masih sanggup menyimpan berjuta tetes kamu. Masih mampu menampung jejatuhanmu. Aku bersyukur hujan masih menjadi deras saja, mungkin karena masih banyak merah tanah yang bertelanjang dada, menerimamu tanpa sulit resapnya.
Hujan, kau lihat di ibukota sana? Jatuhmu yang cukup lama menimpakan sukar bagi penghuninya. Sebentar, apa kau marah karena tanah, kekasihmu, tak lagi diberi ruang? Tak lagi dibiarkan bernafas bersama rumput dengan bebasnya? Lapang dadanya ditutup beton-beton kuat, merah rupanya jadi hitam aspal. Kau marah? Sampai-sampai hujan kau jadikan bah? Cukuplah kali ini saja, hujan. Cukup. Sudah ada banyak tangis tumpah, sudah pula kehilangan demi kehilangan jadi ramah. Cukup.
Hujanlah saja untuk berkah. Maaf jika kekasihmu, yang tanah itu, tak lagi kami biarkan bebas. Dan terima kasih untuk peringatanmu. Semoga kami, yang pelupa dan tak juga puas ini menaruh sadar untuk kekasihmu, tanah, tempat kami hidup dan melanjutkan degup.
Selamat menderas. Selamat menyiram dengan puas.
Salam, penjejak tanah, kekasihmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar