Selamat malam, di masaku..
Sedang kulihat hujan di sini, gerimis tepatnya. Wajar saja jika masih sering hujan, ini musimnya. Berbeda dengan dadaku, ia tak mengenal musim untuk terus mengingatmu. Setiap waktu, ya kamu yang jadi musim dengan segala pergantian cuacanya. Bagaimana kamu menjadi angin di pancaroba. Bagaimana kamu menjadi terik di kemarau. Dan bagaimana kamu menjadi deras dalam penghujan. Aku, menangkapmu dengan tubuh yang mengandung kerinduan.
Lalu, bagaimana dengan langitmu? Kamu masih suka hujan? Masih makan eskrim waktu berteduh, entah di mana saja? Aku masih mengingat semuanya. Masih, dengan sangat jelas. Hujan sudah merekam kamu. Ia seperti kamera yang menyimpan seluruh gambar lalu menggerakkannya dengan perlahan. Memutar ulang semua yang pernah kita catatkan. Ah, sepertinya waktu itu hujan sedang tak sibuk. Sampai tekun menyimpan kita dalam bilik kenangan.
Ada tempias jatuh di punggung tanganku. Aku memang menulis dekat dengan jendela, supaya lebih jelas gerimis yang sedang merayakan malam. Supaya lebih dekat kamu di ingatan. Bunyinya ramai. Kupikir semesta sedang menciptakan nada untuk penghuninya, mungkin aku, mungkin juga kamu.
Sudahlah. terlalu banyak kenangan menari sekarang. Migrainku belum hilang sejak kehujanan kemarin siang. Memikirkanmu, cukup menambah satu beban tentang kehilangan. Sudah terlalu banyak kamu, sedari tadi hujan membasuh tanah-tanah rumahku. Sudah cukup. Kututup surat ini dengan menutup pula jendela. Tempiasnya akan membuatku meriang, jika lima menit saja jendela masih terbuka. Terima kasih untuk catatan hujan.
Semoga hujan tak membuatmu sakit kepala sepertiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar