Aku menulis bersama hujan, secangkir kopi panas yang tak sampai lima menit sudah menjadi dingin. Juga bersama catatan-catatan yang tintanya tak kunjung kering, mengenai kita. Sedang kucoba melawan lupa, karena bahagia tertulis begitu jelasnya. Terpapar di bilur-bilur hujan tanpa jeda. Aku menulis lagi, mengenai kamu dan aku.
Sudah selesai, katamu. Iya, aku menyetujui.
Cerita mengenai kita tertutup dengan ucap amin untuk kebahagiaan yang dilangkahkan oleh kaki masing-masing kita, sendiri. Persimpangan kita pilih untuk berpisah. Jalannya menuju kemana entah.
Aku menatap punggungmu yang kian menjauh, mungkin kau juga demikian, menengok punggungku dengan jarak tanpa kepastian. Berjalan, dan terus berjalan. Langkahku semakin usang. Kurasa aku bimbang untuk melanjutkan perjalanan. Akankah kembali? Kutelusuri lagi jalan, melalui lorong-lorong sepi dan dingin siraman hujan. Ah, setapak jalan ini menuju jejakmu.
Aku masih mengenali jejak sepatumu, juga wangi tubuhmu yang tertinggal bersama angin di sini. Aku tidak kembali, tapi menemui yang sudah pernah. Kalau memang jalanku adalah kamu, maka tidak akan kuingkari untuk mengatakan lagi.
Cinta sudah memilih, kepada hati yang belum pulih.
Kepadamu, cinta masih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar