Aku menulis surat ini untukmu. Entah apa kau bisa tahu atau tidak. Atau mungkin nantinya kau akan tahu dari suaraku saja, saat kembali bersamamu aku menceritakan tentang semua yang ada padaku, apa saja.
Sejak pagi, siang, senja, sampai malam dan kembali lagi kepada pagi, bibirku tak pernah bosan menyentuh bibir dingin cangkir keramik penampungmu. Dari mulanya panas dengan uap yang kepul mengepul, sampai ampasmu endap dalam dingin yang berkumpul. Aku masih saja candu pada pahit hitammu.
Sering pula saat hujan, aku menyeduhmu, kau menyediakan lapang ruang kenangan. Aku melemparimu kata-kata, kau diam menadah dariku yang sempat tersimpan. Adapun pagi, sering kita mempersilakan matahari turut dalam perbincangan mengenai rindu. Waktu terik siang, beberapa kotak kecil es membaluri pekatmu. Meredam panas sambil mengambil jeda nafas kesibukan. Seringnya senja, aku mencatatkan detak dadaku di tiap sesapanmu. Sesesap demi sesesap, dan aku dekap olehmu yang hangat. Dalam malam, kau tak pernah lupa jadi setia. Bahkan jika kubiarkan dingin, nikmatmu kau jaga demi aku untuk tak lelap.
Dalam cangkir keramik kesayanganku, kau selalu kuseduh dengan hati-hati. Menjaga supaya tak setetespun tumpah. Seperti menjaga hati kekasihku, supaya tak sedikitpun ada kehilangan.
Untuk setiap pekat yang masuk dalam tubuhku, aku mengucapkan terima kasih.