Keriput semakin menutupi wajahnya, tapi masih saja kutemukan ketampanan di sana. Usia tak menelan habis rona-rona mudanya.
"Pak, minum obatnya dulu. Sudah Rima siapkan di meja, teh hangatnya juga. Rima berangkat kerja, ya."
Setiap pagi, setiap hari, semenjak kepergian ibu tiga tahun lalu, dan ketidakpulangan mas Rama sepuluh tahun lalu, bapak lebih sering melamun di ambang pintu ruang tamu. Ia menunggu, menunggu dan menunggu.
Ibu, belahan jiwanya pergi, berkali-kali ia coba merelakannya, mengunci diri dengan senyumnya yang mati.
Mas Rama, darah dagingnya yang begitu ia banggakan sebagai seorang polisi, menerima tugas di jauh pulau tanpa pernah kembali.
Sering aku melihat bapak duduk di kursi kesayangannya sambil berbincang sendiri. Sambil tersenyum, bahkan sesekali tertawa. Yang kuingat betul, itu gaya dan kebiasaan bapak jika sedang bercakap dengan ibu. Dulu.
Cinta tak bisa mati, rindu menghidupkannya berkali-kali.
Pun mengenai mas Rama. Jika bapak lelah menunggu di ambang pintu, ia akan memakai sepatu milik mas Rama yang ditinggalnya dulu karena sudah kekecilan, lalu pergi ke terminal. Untuk lagi-lagi menunggu.
Aku sudah terbiasa dengan kebiasaan bapak yang satu itu. Percakapannya di ruang tamu, tawanya, juga tunggunya di terminal kotaku. Bapak terlalu setia kepada cintanya. Aku tidak berani membayangkan jika aku juga pergi.
Tuhan, aku ingin tetap di sini.
Petang ini, setelah menjemput bapak dari terminal, aku mengajak bapak duduk di depan televisi. Membuatkannya teh hangat dan menyelimuti tubuh rentanya.
"Pak, kita nonton ini saja ya."
"Gambar inikan waktu masmu lulus di akademi. Ibumu ayu, masmu gagah tenan. Kowe yo ra kalah ayu seko ibumu, nanging ijih polos."
Aku membiarkan bapak menonton rekaman itu.
"Iki piye neg meh mbaleni meneh?"
Kuajari bapak menggunakan remote dvd player. Dan membiarkannya memutar ulang ingatan kebahagiaan paling membanggakan dalam seumur hidupnya. Berulang-ulang. Berulang-ulang. Berulang-ulang, sampai lelah menaruh kantuk di matanya tanpa sadar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar