Minggu, 18 Agustus 2013

menulis takdir; catatan keinginan.

Aku bersyukur, masih ada tempat yang kusebut rumah. Di tempat ini, di ruang aku duduk menghempas lelah. Di sini pula aku menghabiskan waktu-waktu yang kumiliki. Tiada henti. Dinding berwarna cokelat tanpa perlu dicat. Lantai beralas koran-koran lampau yang kugelar rapi menutupi tanah merah. Tak ada jendela, pintu hanya sekadarnya asal bisa untuk keluar dan kututup rapat saat aku tidur, atau kutinggal pergi.

"Dharma, sudah kau ambil jatah koranmu pagi ini?" Andang mengagetkanku.

"Kau dulu saja ambil punyamu. Aku mau ke tempat Dita mengembalikan sepeda." Aku menjawab sembari menata tumpukan koran sisa jualan kemarin sore.

"Ya sudah, nanti kusampaikan ke bang Tohir kalau kau akan terlambat." Suaranya kudengar semakin juh.

Dita. Nama yang tak pernah mampu aku elak. Bukan hanya karena parasnya yang begitu anggun, tapi juga ketulusannya yang selalu tiba tanpa perlu diminta seperti embun. Dita, gadis bermata bintang yang setiap hari menunggu koran pagi di teras rumahnya. Ia menunggu aku, menunggu hantaranku tepatnya.

Kukayuh sepeda berwarna biru muda. Sepeda pinjaman dari Dita karena semalam aku harus mengambil pesanan milik Pak Anton, di toko pusat kota. Siapa lagi kalau bukan Dita yang akan dengan baik hatinya meminjamiku sepeda. Untuk berjalan ke pusat kota, aku harus menempuh jarak 10km. Bisa saja aku berjalan kaki, tapi waktuku terlalu sia-sia jika hanya kugunakan untuk mengayun langkah. Bagaimana dengan pekerjaanku yang lain?

Pagi ini pukul 05.30, aku sudah sampai di depan rumah berpagar tinggi bercat putih, senada dengan cat dinding rumahnya. Kutekan bel, karena jika aku hanya mengetuk pagar, rasanya percuma. Pernah aku mengetuk-ngetuk pagar hampir setengah jam tanpa ada yang membuka. Tak ada yang mendengar, kata yang empunya rumah.

"Hei, kamu Dharma. Tumben jam segini sudah tiba, mana koranku hari ini?"

Suaranya mengalun bak lagu, mendayu-dayu di telingaku. Bagaimana mungkin aku tidak terpesona, pun senyumnya yang tak pernah alpa di bibirnya. Sungguh, aku tak pernah mau melewatkan salah satu surga kecil titipan Tuhan.

"Maaf, Dit. Koranmu akan kuantar nanti. Ini aku mengantar sepedamu lebih dulu."

"Kenapa tak kau pakai untuk mengantar koran. Kau bisa mengembalikannya kalau pekerjaanmu sudah selesai."

"Tidak. Kakiku sudah biasa berjalan. Lagipula sekalian aku olahraga pagi. Nanti kalau pakai sepedamu malah keenakan."

***

Hidupku berjalan seperti biasanya. Pagi hingga siang dengan koran-koran. Sore hari biasa kuhabiskan di terminal. Malam, biasanya aku sudah merebah di rumahku yang nyaman untukku sendiri, jika tidak ada orang yang membutuhkan tenagaku untuk apa saja.

Di malam seperti inilah, aku selalu menghabiskan waktuku di antara angan dan harapan. Aku punya sebatang pensil yang kudapat dari bang Tohir untuk mencatat koran-koran yang berhasil kujual atau tidak. Di antara koran-koran yang berserakan di petak ruangku, di sela-sela halaman yang tak berisi tulisan, aku menggoreskan pensil dengan tulisanku. Mencatat apa saja yang berkelebat di kepalaku. Mengenai hidup, dari pagi-siang-sore-malam. Juga mencatat keinginan-keinginan yang hanya mampu kuterbangkan di awang-awangku sendiri. Pun mengenai Dita, debarku tak sanggup untuk menyatakan dan memintanya menjadi kekasihku.

Di catatan-catatanku, di sisa-sisa koran yang tak laku kujual, aku menuliskan segala keinginan. Menuliskan mimpiku, menuliskan takdirku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar