"Pak sepatunya saya semir, Pak.."
Tidak ada yang menjawab. Terminal ini penuh orang-orang yang tak peduli, atau mungkin mereka tuli hingga tak mendengar aku. Atau bahkan mungkin mereka buta, sampai-sampai tak melihat adaku. Penampilanku memang kumuh. Baju yang kupakai bekas ayahku dulu, celana warna merah, seragam sekolahku tadi siang. Tidak ada ganti, bahkan sekadar untuk satu hari.
Aku sudah berjalan dari satu ruang tunggu agen-agen bus, ke ruang tunggu agen-agen lainnya. Tak ada yang tertarik melihat keahlianku menyemir sepatu. Padahal ada lebih dari lima pasang kaki yang sepatunya berdebu. Kemarau mengirim angin, menerbangkan udara berisi debu. Tidak ada yang tertarik.
"Pak, boleh saya semir sepatunya?"
"Ini sepatu mahal, kena semirmu nanti rusak. Tidak usah."
Aku kembali melangkah, menjauhi keramaian.
Di sudut terminal, ada pos polisi yang tidak lagi digunakan. Aku biasa duduk di sana melepas lelah sembari menunggu pelanggan yang alas kakinya butuh dibersihkan. Biasanya aku sendirian, tapi kali ini kulihat sudah ada seorang lelaki tua bersandar di salah satu dinding bercat putih biru pudar itu. Pelan-pelan kudekati. Aku mengangguk tersenyum untuk menyapanya. Lelaki itu tersenyum dengan gurat-gurat keriput di wajahnya.
"Kamu nyemir sepatu, ya?"
"Iya. Bapak mau saya semir sepatunya? Murah kok, Pak."
Ia melepas, lalu memberikan sepasang sepatunya. Menaruh dengan sangat hati-hati di samping kotak kerjaku. Ia memandangi sepatunya. Mengamatinya dengan segala sisa kemampuan penglihatannya yang kian renta, sama dengan usianya kurasa.
"Itu sepatu anak saya. Anak saya polisi, sedang tugas di Sulawesi."
"Wah hebat anak bapak. Ini sudah tidak dipakai lagi sama anak bapak?"
"Dia punya sepatu baru. Ini ditinggal di rumah. Tapi daripada rusak tidak dipakai, ya saya buat jalan-jalan saja. Rasanya seperti berjalan dengan anak saya."
Ia terus bercerita mengenai anaknya. Matanya berbinar tiap menyebut nama anaknya, terlihat seperti manik-manik yang disorot sinar.
Adakah yang lebih membahagiakan? Ketika seorang ayah begitu semangat dan bangganya menceritakan tentang keberhasilan darah dagingnya sendiri. Seandainya ayah masih ada, apa ia akan menceritakan aku sedemikian lelaki tua ini bercerita?
Sepasang sepatunya hampir selesai kusemir. Sudah terlihat lebih mengkilap, bahkan aku dapat melihat lelaki gagah dan tampan dengan paras yang sama dengan lelaki ini, namun dengan usia jauh lebih muda.
"Ini pak sepatunya, sudah selesai."
"Oh ya, terima kasih. Bapak terlalu banyak bercerita rupanya."
"Tidak apa-apa, pak. Saya senang mendengarnya."
Dari kejauhan, seorang perempuan berjalan mendekat. Parasnya mirip dengan lelaki tua di hadapanku.
"Pak, ayo pulang. Sudah mau magrib. Mas Rama sudah di rumah."
"Lho, bapak kan mau jemput dia. Kok malah pulang duluan. Piye to masmu kui?"
"Maaf, mas. Bapak saya memang masih terus menunggu kakak saya, setelah dikirim tugas ke pedalaman Papua sepuluh tahun lalu. Sampai sekarang belum ada kabarnya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar