"Sudah siap semuanya, Dan?" Ibu mengagetkanku dari lamunan. Mengembalikan angan-anganku ke dalam kamar bercat putih ini.
"Apa, bu? Oh, iya tinggal sedikit lagi." Aku melihat di sekelilingku penuh baju yang akan kubawa pergi.
"Jam berapa keretamu?" Ibuku berbicara sambil tetap mengemas.
"Jam enam sore, bu. Mas Dani nanti pulang jam berapa dari pabrik?" Kupandangi ibuku sambil mengurai keheningan yang sebelumnya tinggal dan mendiami kepalaku.
"Ya sudah, nanti biar kamu diantar bapak saja naik bis. Masmu pulang malam, tadi bilang sama ibu mau lembur." Tangan lentik yang mulai keriput itu tetap sibuk memasukkan baju-bajuku ke koper.
Sore ini adalah kepulanganku, setelah libur semester sebulan belakangan ini. Ini rumahku, keluargaku, tapi aku harus keluar dari rumah ini dan pulang. Pulang? Bagaimana kepergian ini kusebut pula dengan kepulangan?
"Sudah jangan ngelamun terus. Baju mana lagi yang mau kamu bawa, Dan?" Ibu tak juga berpaling dari koper dan tumpukan baju.
"Itu saja, bu. Kurasa cukup, di sana masih ada kok." Sahutku yang belum juga keluar dari lamunan.
Aku harus pulang. Ke tempat yang tak sanggup kusebut rumah, ke tempat di mana hidup kulanjutkan sendiri, ke tempat aku mengenal kehidupan lebih nyata lagi, ke tempat masa depan sedang kujalani.
Aku harus pulang. Aku sendiri yang memilih, aku sendiri yang memutuskan, aku sendiri yang menjalani, dan aku sendiri di sana.
"Kenapa kamu nangis, Dan? Masa sudah gede, sudah kuliah, sudah punya pacar juga mau pulang ke kost nangis. Ga malu sama gambar lidah melet di kaosmu itu?" Ibu menggodaku yang tiba-tiba saja menangis tanpa sebab. Lalu meletakkan baju-baju dan menghampiriku di tepi kasur, dan memeluk.
"Maaf, bu. Aku cengeng ya. Tapi emang sedih mau ninggalin rumah ini. Ninggalin ibu, ninggalin bapak, ninggalin mas Dani, ninggalin kasur ini, ninggalin masakan ibu, ninggalin semuanya." Jawabanku tersendat-sendat. Ibu masih memeluk. Rasanya aku mau jadi bayi saja, biar ibu tak rela melepasku, dan aku tetap di pelukannya sepanjang waktu.
"Kamu ini sudah besar sekarang. Lagian kemarin juga sudah kost, to. Kan nanti bisa pulang sebulan sekali, atau kalau libur. Tiap hari bisa telpon juga, nanti biar mas Dani atau ibu yang ngirimi pulsa. Jaman sudah canggih, le." Suaranya tenang, seperti gemericik air di antara tenang malam.
"Iya, bu. Aku cuma sedih aja kok. Bakalan ga ketemu ibu, ga dimasakin lagi. Kalau anakmu kurus gimana?" Selorohku di pelukannya.
Tubuh ibuku hangat. Selimut setebal apapun, api sekobar apapun juga tidak akan bisa menandinginya.
"Bu, aku mau dipeluk ibu kayak gini terus."
"Tapi kamu harus pulang ke kostmu. Kalau dipeluk terus gini, kuliahmu gimana? Ga malu sama temen-temenmu?"
"Kenapa malu, bu? Ibu tahu ga, selain rumah yang kita tinggali ini, rumah paling nyaman untuk aku benar-benar pulang ya di pelukan ibu."
"Sudah, sudah. Kalau dipeluk terus kayak gini gimana kamu berkemas. Nanti ketinggalan kereta. Sini, biar ibu yang beresi semua." Ibu bernjak dari tubuhku. Meninggalkan kujur yang berubah dingin lepas dari pelukan. Ia mengemas kembali sisa beberapa baju yang masih bertumpuk di samping koper.
***
"Aku berangkat dulu, bu." Kupeluk tubuhnya, kucium keningnya. Tangannya yang lembut kugenggam erat, lalu kucium. Pamit.
Aku hanya melihat matanya menahan sesuatu. Entah apa yang berkecamuk di sana, ibu hanya diam. Aku menemukan langkahku. Pergi. Aku menemukan kehilanganku. Pulang.
Kepulangan barangkali, adalah menuju tempat yang harus sanggup kau sebut rumah. Jika pun tak menyanggupi sebagai rumah, setidaknya ia adalah tempat yang mampu menampungmu tinggal--menampung tubuh dan jiwamu dengan teramat bebal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar