"Ini sudah cukup, sayang?" Aku menunjukkan secarik kertas berisi daftar seserahan kepada calon istriku.
"Coba aku lihat dulu." Ia menarik kertas dari tanganku. Dahinya mengerut seraya membaca daftar berbagai macam barang yang kutulis untuk seserahan sebulan lagi.
"Cukup?" Kutahan napas saat pertanyaanku tak juga dijawab.
Ini daftar ketiga yang kuberikan sejak seminggu lalu calon istriku mengubah semua daftar seserahan yang sebelumnya. Dia bilang masih ada yang kurang. Apalagi?
"Cukup, sayang?" Pertanyaan kuulangi, dan masih saja tak ada jawaban.
Aku mengecup kening calon istriku, beranjak dari keheningan. Mengambil secangkir kopi di meja, lalu menuju teras samping yang berada di depan kami berdua duduk sebelumnya.
"Pastikan. Waktunya tidak lama lagi." Calon istriku masih saja diam.
Mataku terus mengamatinya. Dia seperti mengulang-ulang membaca dari atas ke bawah, lebih dari tiga kali. Aneh. Biasanya dia langsung nyeletuk; kenapa ada ini? Kenapa ga ada itu? Harusnya ini ada dua, harusnya yang warna putih saja, atau kotaknya dihias supaya cantik.
Masih saja dia diam. Matanya terus menari-nari di atas kertas, menyetubuhi huruf-huruf yang keluar dari tanganku tadi. Kuseruput lagi kopi di tanganku.
"Masih ada yang kurang, sayang?" Kuulangi pertanyaan, entah untuk yang ke berapa kali.
Lalu kulihat dia menggelengkan kepala. Kepalanya menunduk dan rambut hitam panjangnya menutupi seluruh wajahnya. Meski tak kulihat wajahnya, aku tahu dia menangis. Isaknya kudengar, walaupun suaranya sengaja ditahan olehnya.
"Kamu kenapa, sayang? Ada yang kurang? Apa perlu aku tambah lagi macamnya? Hei, kenapa nangis?" Pertanyaan bertubi-tubi kulempar kepadanya. Penasaran, takut, heran, dan entah macam apalagi pikiranku berkecamuk.
Calon istriku masih menangis. Suaranya katup oleh isak. Tiba-tiba ruangan ini menjadi sesak. Tidak ada yang kudengar selain isakannya dan detak jantungku sendiri. Perempuan di depanku menangis tanpa sebab, atau bersebab namun tak kuketahui. Perempuan yang sebentar lagi menjadi pendamping hidupku. Perempuan yang akan menyerahkan takdirnya tertulis dalam satu kertas dengan takdirku.
Lalu kenapa dia menangis menjelang hari bahagianya? Di mana saat ini yang kami bicarakan adalah daftar seserahan. Kami pun tidak ertengkar sama sekali. Isakannya melemah, bahkan sudah tidak kudengar lagi. Hanya ada detak jantungku yang masih bergemuruh, disusul detik jarum jam dinding di atas kami.
"Sayang, ada yang salah? Ceritakan, akukan calon suamimu, apa kamu masih ga percaya sama aku?" Keningnya kukecup, dua kali, supaya tenangnya juga jadi dua kali lipat jatuh di kepala sampai ke hatinya.
"Tidak, mas, aku rasa ini sudah cukup bahkan lebih. Aku sudah terlalu merepotkanmu dengan mengganti-ganti daftarnya. Aku tidak menyangka kamu mau serepot ini untuk aku.." Dia mengusap airmatanya dan menatapku dalam-dalam.
"Bukan untuk kamu, tapi kita." Kutimpali perkataannya yang belum selesai.
"Iya, untuk kita. Terima kasih, mas." Dia memelukku, erat. Kubalas, lebih erat dan hangat.
"Lalu, kenapa nangis? Mau cerita?"
"Ini sudah cukup, mas. Daftar ini sudah cukup. Tapi, apa boleh aku minta satu hal lagi sebelum kita benar-benar menjadi suami istri?" Raut mukanya serius. Tangannya melepas pelukan dan menggenggam tanganku dengan hangat yang sama.
"Apa? Kalau bisa kulakukan, pasti kulakukan. Kalau pun tidak, aku bisa berusaha untuk melakukannya. Apa permintaanmu, sayang?" Kutatap matanya lekat-lekat.
"Satu saja, mas, terakhir. Aku minta supaya kamu mau mengakui janin di rahimku ini sebagai anakmu."
Tidak ada suara lagi setelah permintaannya selesai dia utarakan. Yang aku ingat, di tanganku ada pecahan cangkir yang sudah bersimbah darah. Juga calon istriku yang diam terpejam tak lagi bergerak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar