Sabtu, 17 Agustus 2013

Tiga Senjata

"MERDEKAAAA..!! MERDEKAAAAA..!!"

Anto berlari mengacung-acungkan bambu kecil di tangannya. Di tengah lapangan ia berguling-guling kegirangan, disusul anak-anak lain, teman bermainnya yang juga menggenggam senjatanya. Wajah dan seluruh tubuh anak-anak itu berlumur lumpur dan noda merah; pewarna yang sengaja mereka balurkan di tubuh mereka.

Besok, hari kemerdekaan Republik Indonesia ke 68 akan dirayakan seluruh negeri ini. Anak-anak Bumiasih, termasuk Anto sudah merayakan sejak hari ini. Setelah mempersiapkan alat perang-perangan dan menentukan grup mana yang menjadi pejuang dan grup mana yang menjadi penjajah, mereka berpencar untuk memulai perang. Sejak siang hingga sore, lapangan Bumiasih riuh rendah oleh teriakan anak-anak memperjuangkan kemerdekaan.

"Anto, ayo pulang. Sudah jam lima, kamu harus mandi."

"Iya, bu.. Anto bereskan dulu mainanku."

***

Anto memandangi bendera merah putih yang berkibar-kibar di depan rumahnya. Hebat benar bendera itu, tak lelah berkibar sejak seminggu lalu dipasang di bambu yang dia dan kakeknya cari di kebun belakang rumahnya. Pikirannya melayang-layang membayangkan betapa hebatnya pula dulu para pahlawan memperjuangkan kemerdekaan negara ini. Apa jika aku dulu ikut berperang, apa aku juga bisa berjuang sampai menang?

"Ah, pasti keren kalau dulu aku jadi pejuang."

"Kau tetap bisa jadi pejuang sekarang."

"Eh ada kakek. Jadi pejuang, kek? Pakai bambu runcing? Apa pakai bom?"

"Bukan pakai senjata macam itu."

"Lalu? Kalau tangan kosong, mati duluan dong, kek.."

"Kakek punya tiga senjata ampuh yang bisa kamu gunakan untuk berjuang. Bisa kamu pakai sampai kapan pun mau, tidak akan pernah habis pelurunya."

Mata Anto berbinar-binar mendengar cerita tentang tiga senjata ampuh milik kakeknya.

Senjata itu pasti bisa membunuh semua musuh yang menyerang. Sekali pakai langsung menang. Pasti hebat. Pikirannya melayang-layang.

"Apa kek senjatanya?"

"Kalau kakek kasih tahu, kamu harus menggunakannya, ya?"

Anto hanya mengangguk sambil menyamankan letak duduknya. Dia sungguh tidak sabar untuk mengetahui tiga senjata ampuh kakeknya.

"Apa kek, apa???"

"Yang pertama, TOLONG."

Anto mengeryitkan dahinya. Dia tidak paham sama sekali dengan apa yang disebutkan kakeknya itu.

"Itu senjata awal untuk kamu mendapatkan hati orang lain. Dengan mengucapkan tolong sebelum kamu meminta orang lain untuk membantumu, itu akan membuatmu menghargai orang lain dan kamu akan dihargai pula."

"Katanya senjata ampuh, kok malah minta tolong? Di mana ampuhnya, kek?

"Kakek lanjutkan dulu, ya, pertanyaanmu akan kakek jawab nanti."

Kernyitan di dahi Anto kian menebal. Sementara itu, kakek hanya menimpalinya dengan senyuman yang masih juga tidak dimengerti Anto.

"Senjata yang kedua, MAAF."

"Maaf?"

"Lho, iya. Maaf itu penting. Dengan maaf kamu akan menjadi rendah hati, dan tidak akan direndahkan orang lain."

"Lalu yang ketiga apa?"

"Ini juga ga kalah penting dari senjata yang dua tadi."

"Apa kek?"

"TERIMA KASIH. Semua yang telah dilakukan orang lain kepadamu, baik sengaja atau tidak, wajib bagi kamu untuk mengucapkan terima kasih."

"Jadi tiga senjata ampuh tuh itu aja? Anto kira kayak bambu runcing atau pistol. Kan pejuang dulu pakai itu, kek."

"Itu jaman dulu, To. Sekarang senjata yang ampuh yang tiga itu. Kamu akan dihargai, kamu menjadi rendah hati, dan kamu menjadi orang yang tahu diri."

Anto benar-benar mencermati tiap kata yang keluar dari mulut kakeknya.

"Kepada pahlawannya Anto, hormaaaaattt graaaaakkkk!!!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar