Rabu, 21 Agustus 2013

di angka dua belas

Kopi di meja kerjaku masih penuh. Uapnya lenyap, sudah dingin tanpa tersentuh. Aku menyambar botol air mineral yang isinya tinggal separuh, entah kopi tak lagi menarik perhatianku. Padahal tadi, aku menyeduhkan dengan berapi-api sambil merangkai kata-kata yang akan kutulis di blogku. Harumnya menguar begitu saja, menyeruak ke dadaku sebagai hambar.

Aku tak pernah seperti ini. Kopi tak pernah tak berarti. Entah apa yang terjadi.

Aku masih saja menulis dan terus menulis. Kata-kata meluncur begitu saja seperti anak-anak yang bermain seluncuran di taman , tidak berhenti. Kubiarkan saja. Biar sampai penuh kertas-kertas di hadapanku, biar sampai penuh kertas-kertas ini dengan pikiranku, biar sampai jenuh tanganku membelai huruf-huruf, biar sampai peluh tinta-tinta menetes.

Di kertas ke dua belas, berbarengan juga denting jam berbunyi dua belas kali.

Tanganku tiba-tiba berhenti, kini. Saat tak sengaja di kertas ke dua belas aku menuliskan stasiun sebagai judul. Dadaku berdebar, kepalaku brdenyut-denyut, telingaku berdengung, dan seluruh tubuhku terasa kaku. Apalagi ini? Tadi tak bisa berhenti, sekarang tak menemukan satu kata pun selain penat.

***

Pukul 12.01 setelah bunyi klik jam tanganku selesai. Kereta tak juga tiba, tak seperti biasanya kereta datang terlambat. Jika kereta terlambat, sudah kupastikan jadwalku berantakan semua. Jika kereta tak segera tiba, tulisan yang sudah kuselesaikan semalaman takkan  lagi berguna.

Masih kutunggu laju kereta itu tiba. Bosan memandangi rel, aku melempar pandanganku, menyisir luas stasiun yang penuh sesak dengan oang-orang asing. Mataku yang lelah, setelah semalaman bergadang sampai kulewatkan pula sarapanku untuk mengejar kereta. Apa hrus jga kulewatkan makan siangku jika harus tetap menunggu? Pandangan mataku berhenti di salah satu peron. Perempuan bermata sayu, menjinjing tas cokelat besar. Wajahnya kuyu, seolah masalah yang dihadapinya lebih besar berkali-kali lipat dari tas cokelat di tangannya. Aku hanya menebak. Tak ada yang bisa kulakukan selain mengorek-orek orang lain dengan pikiranku sendiri saat ini.

Perempuan itu mungkin sama denganku, menunggu kereta yang tak juga tiba. Atau menanti kekasihnya pulang. Atau hanya ingin menikmati kepenuhsesakan saja. Entahlah, aku hanya bisa menebak.

Stasiun ini, sesak orang-orang asing, kereta yang tak juga tiba, dan perempuan bermata sayu, memenuhi kepalaku. Ini rasanya sudah berabad-abad sejak tibaku. Aku melirik jam tanganku lagi. Pukul 12. 22. Ujung kereta masih juga tak kutemukan di ujung pandanganku, empat puluh lima menit perjalanan sampai di stasiun berikutnya, dan sepuluh menit perjalanan menuju tempatku bekerja. Kuhitung terus detik ke detik. Tak akan sampai. Laju kereta sepertinya usai, dan pekerjaanku selesai.

***

Aku berhenti menulis, mengangkat cangkir kopi dan dengan sengaja menumpahkan isinya di kertas ke dua belasku.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar