Dinding bercat putih yang menempel di punggungku tiba-tiba merapal dingin. Seperti jeruji besi di bilik penjara. Hampir semuanya membeku, dan aku ingin menyerutnya untuk kutumpahi sirup dan aku meminumnya. Diam ini membuat kerongkonganku kering, tenggorokanku cekat oleh dentum-dentum detak jantung yang tak karuan.
Masih saja diam, sudah hampir 1 jam sejak pertanyaan terucap yang aku sendiri juga tidak tau apa jawaban sebenarnya..
*1 jam yang lalu*
"Kamu itu ga ngerti aku! Ga ngerti kenapa aku bisa ngelakuin ini ke kamu kan?!"
"Kamu tuh egois. Pernah kamu tanya mau aku apa, atau tanya aku kenapa? Pernah?!"
"Mau kamu apa sekarang?"
Tidak ada suara, bahkan engah nafasku menyerupai teriakan di telingaku sendiri. Dia diam, aku lebih diam. Kita seperti hutan tanpa penghuni. Membiarkan yang mengisi adalah celoteh alam. Berjalanlah waktu sampai detik ini. Satu jam berlalu dan kita adalah asing yang tak diperkenankan dekat oleh angin.
Sadar tidak akan selesai, sadar bahwa diam adalah keputusasaan belaka, dan sadar bahwa diam takkan membawa kemana-mana, aku meraih tangannya. Menggandeng masih tanpa suara, menyeretnya lembut ke teras samping rumah.
"Lihat sekelilingmu."
"Apa? Pohon mangga? Bunga mawar?"
"Maaf, tapi kamu bodoh."
Plaaaaakkkk... Dia menamparku. Tangannya sampai di pipiku begitu kuat. Perihnya terasa di mataku, aku hampir saja menangis. Tapi aku ini lelaki yang menata gengsi lebih tinggi dari tinggi pagar penjara. Aku simpan sakitnya dengan menatap dia dalam-dalam. Lalu diam lagi.
*30 menit berlalu*
Aku menata lagi emosiku. Mendatarkan nada suara, berusaha tenang.
"Kamu memang bodoh." Kali ini aku hanya mendengar isak tangisnya. Tak ada kata-kata keluar dari bibirnya. "Kamu memang bodoh. Kamu cuma lihat pohon dan bunga saja?"
"Maksud kamu?"
"Sebelum aku jawab, aku mau jelasin kenapa aku nglakuin ini semua ke kamu. Kamu tau kan, banyak yang ga suka sama kita. Ga perlu dihitung seberapa banyak dan ga perlu tau juga siapa aja. Banyak. Selama ini aku minta kamu buat nahan semuanya. Biar semuanya tenang dulu, Din."
"Aku harus nahan sampai kapan? Sampai aku buta dan ga bisa lagi ngliat kamu? Aksa, aku juga punya perasaan. Aku ini kamu anggep apa sih, sampai-sampai cuma perasaan mereka aja yang kamu pikirin?! Kita putus aja, kalau kamu ga tegas kayak gini.."
"Kamu ngomong apa barusan? PUTUS?!!!"
"Iya kalau kamu ga pernah tegas kayak gini. Kamu itu bukan calon gubernur, Sa. Ga perlu ngobral janji sama aku. Aku pulang."
*2 hari setelahnya. Tanpa bicara*
"Boleh ketemu Dina, tante? Saya mau selesaikan semuanya soal yang kemarin itu."
"Tante udah tau semua. Selesaikan, berlakulah dewasa tapi miliki jiwa seperti anak kecil yang ga pernah punya dendam setelahnya."
"Iya tante, terima kasih."
"Din, kamu boleh tampar aku sekali lagi. Aku cuma mau kamu tau kenapa waktu itu aku bilang kalau kamu bodoh. Dan alasan-alasan lain kenapa aku bersikap kayak gitu."
"Aku ga akan lagi nampar kamu. Terserah sekarang mau kamu apa. Kalau emang kamu mau ngomong, aku dengerin."
"Baiklah.. Kamu bodoh, karena yang kamu lihat di sekelilingmu waktu itu cuma pohon sama bunga. Cuma pohon sama bunga, Din. Cuma itu yang kamu lihat. Bodoh, karena kamu ga ngelihat aku di sana. Kamu anggep aku ini hantu, sampai kamu ga lihat aku?" Aku mengatur nafas, supaya kata-kataku jelas di telinganya.
"Kamu ngomong apa sih? Ga usah gombal. Masalah kita ini serius, Sa."
"Aku serius, Din. Tapi kamu emang ga lihat aku kan. Nyatanya kamu cuma lihat pohon sama bunga."
"Jadi masalah kamu cuma pohon sama bunga? Dasar anak kecil."
"Bukan itu, Dina. Kenyataan di mana kamu ga bisa nganggep aku ada, bahkan untuk sesuatu hal yang cuma ada kita. Kalau selama ini aku bertindak dan mungkin nyakitin kamu, karena aku tau kamu kuat. Aku anggap kamu itu perempuan hebat. Dan aku tau, kamu mampu bertahan. Terbukti kan, sampai sekarang kamu masih di sini, sama aku."
"Kamu anggap aku.."
"Iya, kamu itu hebat. Lebih dari apapun dan aku tenang di samping kamu apapun masalahnya. Kita, di genggam tangan kita ini ada benteng yang bisa nahan masalah yang udah kayak air bah. Ada kekuatan yang melebihi superman, sampai kita selalu bisa ngalahin semuanya. Kamu sadar itu ga?"
♬ Kita mesti bertahan
kita pasti bertahan
karena memang cuma kita yang bisa pertahankan kita
(♬ Sudah jangan bertengkar - Anji)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar