Dan langitpun sama saja
Mendukung perih yang ada
Hingga mungkin aku tak berarti
Meski temanimu setiap hari
Rasanya seperti dihantam gulungan salju. Diammu yang dingin dan heningmu paling tidak pernah aku tau, tak pernah aku mau. Seperti ada keinginan angin, mengirimku ke jalur-jalur labirin. Aku tersesat sendiri, kehilangan kamu; sang arah yang sedang tergugu pada kesedihannya yang tak boleh ikut kumiliki.
Aku seperti pelawak yang kehilangan penontonnya. Hanya bangku-bangku kosong yang menyaksikan leluconku tanpa pernah ada satu pun gelak tawa. Atau aku mungkin badut yang hanya ditakuti anak-anak kecil di tengah taman. Menjadi biang keladi atas tangis mereka. Aku ini apa, seseorang yang nyatanya tak pernah kau anggap ada.
Bagaimana mungkin kamu
Tak akan segera menangis
Sepertimulah langit kini
Tertunduk pilu dalam mendung
Sayang, mungkinkah sudah lepas percayamu kini kepadaku? Seolah langit tak lagi boleh menahan hujan. Tak boleh lagi memberi sedikit cerah kepada bumi.
Kamulah kini mendung yang memberantas terik. Kamulah yang pertama kalinya mengenalkan aku kepada awal keberangkatan hujan yang begitu menyesakkan. Ada hawa panas yang menyelubung tubuhku, paling panas di dadaku. Entah bagaimana satu kesedihan bisa merangkaikanmu luka sebegitu dalam. Sebait duka yang tak pernah boleh ikut kusimpan dalam tanganku.
Sejak keheningan mendekapmu, dan setiba-tiba itu airmata melenggang dari bening matamu, aku sudah dihantam hujan berbadai-badai.
Kau kira aku berlebihan? Tidak. Aku mencintaimu dengan sangat. Menjadi bagian dari satu atau bahkan berkali-kali dari kesedihanmu adalah bagian dari cinta itu sendiri yang telah aku setujui. Lalu meraba-raba dadamu untuk menenangkan, itu adalah harapan untuk bisa membahagiakan.
Want to see you smile..
Kamu adalah langit, yang menjadikan kelam mendung sebagai naung. Sedang aku tanah, yang tak kau biarkan hujan dapat kutadah.
( Mendung - The Vuje)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar