Rabu, 31 Juli 2013
hobi sembunyi
Lagi-lagi tak kutemukan kau. Lagi-lagi kau membuat emosiku naik turun. Hebat sekali. Apa kau tak pernah tahu lelah mencarimu? Apa kau pikir waktuku hanya untuk menemukanmu? Dan dengan bodohnya aku tetap mengharapkanmu. Sesekali aku pikir, kau harus diikat, dijerat supaya tak lagi menghilang. Biar kautahu rasanya diam dan tak bisa ke mana-mana.
"Di mana kamu, manis?" aku melemah.
Bisakah kita saling bertemu muka dan membicarakan dengan baik saja? Barangkali kau marah karena aku sering mengabaikanmu. Barangkali kau punya sesuatu yang tak mampu ditangkap perasaku. Barangkali..
"Kembalilah." Aku memohon untuk kesekian kali.
Aku lelah, bahkan untuk menemukanmu yang diam saja aku kalah.
Dan kubiarkan kamarku sepi tanpa nyala televisi. Biar juga remoteku menyepi di tempatnya bersembunyi..
hai, puan
Tidak kusebut namamu di sini
Biar rahasia menyimpannya
Biar tak ada yang mengenalmu
Tak ada
Hai, puan,
Kurelakan jarak, jauh-jauh
Tidak akan kubenci yang kutempuh
Di sanalah aku semakin jatuh dan jatuh
Hai, puan,
Jika malam semakin kelam, aku menghadang pejam
Melafal doa dengan diam-diam
Menjatuhkan kamu, dalam-dalam
Kamis, 25 Juli 2013
cahaya yang tanggal
Sebentar lagi ada yang ingin dinyalakan di altar pagi
Seberkas cahaya sedikit menguntit warna senja
Sedikit saja jingga di antara lenggang fajar atas ungu pantulannya
Gerimis cahaya dan mula-mula segala asa
Satu di antaranya kuntum bunga yang bermandi embun, kutemukan senyum dari apa yang baru kukenal sebagai anggun
Tenangnya begitu tabah, dan menyusup hingga dalam dada yang tak bercelah
Aku bahkan tak mengenal engkau dengan sempurna, seperti kata-kata kepada mantera yang dijadikannya doa
Kepada matahari di ufuk timur, di sinilah kau memulakan aku
Harap meletup-letup dan ceracap cinta yang menyala-nyala
Barangkali tidak berkeberatan, maha surya membawa salam dari timur terbitnya hingga barat tenggelamnya dan mencipta jingga. Siapa tahu?
Yang aku harap dapat menampung sebuah kejatuhan atas jatah cahaya baik antara kehilangan dan pertemuan
Yang sabar menunggang siang dengan matahari sebagai tali kekang
Adakah jingga ditemuinya? Adakah ia mengenalnya seperti yang ditempelkan warnanya di tiap fajar langit?
Dan bilakah hujan mengganti kidung kehilangan, dengan gema-gema romansa? Sebab batu-batu cahaya akan membantumu menemukan nada-nada
Ini pagi yang mengambil perjalanan menuju sore di mana keberadaanmu teramat berkumandang
Kau hidup sebagai cahaya dan aku ruang yang menghirupmu ada
Kita sedang berkelana di satuan hari
Aku ingin tinggal bersamamu, tapi tanggal oleh angan yang waktu
(#DuetPuisi Balasan untuk @angghieandria)
Selasa, 23 Juli 2013
di atas kasur
Menumpuknya di atas bantal yang menyimpan mimpi-mimpi
Dan sekali lagi menumpuk bantal yang seringkali kujadikan guling--pemilik hangat sederhana yang tidak dimiliki dinding-dinding telanjang
Kasur ini nampak begitu luas bagi diriku sendiri
Namun teramat sempit jika kubagi bersama harapan dan keinginan untuk menempatkanmu di sini
Kemudian aku menyingkirkan angan-angan asing
Terlalu penuh, kupikir
Mengganggu aku dan (bayang) kamu
Seprainya kuganti seminggu sekali
Kuharap, walau pun sekadar mimpi, kau dapat mampir tanpa risih duduk
Di atas kasur ini, hanya mesra lampu dan langit-langit yang dapat kunikmati
Apakah di cahayanya aku ikut ditautkan?
Atau aku hanya jadi yang mereka bicarakan karena sendirian?
Sabtu, 20 Juli 2013
sisa-sisa yang terjaga
Rabu, 17 Juli 2013
pada akhirnya di sebuah pantai
Sekumpulan angan terbang dan mematuk-matuk gelombang, pun mengundang debur ombak, merekam keberadaan.
Tidakkah kekosongan itu terjawab?
Sebab pantai hanya memiliki dermaga dengan nelayan tua yang lebih setia kepada jala.
Maka pada akhirnya, kedatangan perahumu di antara bunyi jam yang jarumnya menunjuk pukul sembilan. Malam. Ini adalah waktu di mana pasir-pasir boleh lagi menembaki jejak-jejak baru dan menandai segala hal yang terpercik oleh tibanya penantian.
Ini pantai ketika aku bisa lagi tertawa.
Ini dermaga ketika tibamu menjadi selamanya.
*balasan untuk @WE_Dewie dalam #DuetPuisi*
Selasa, 16 Juli 2013
Pantai yang menunggu
Ini pantaiku
Setiap petang, angin menyala-nyala. Aku adalah penghuni yang setia menjatuhkan diri dan hati dari angan. Menunggu pelancong singgah menyandarkan kapal, mengisi hampar pasir dengan wangi jejak baru, yang akan kembali memulangkan angan ke dalam diri dan hati.
Aku berharap kamu datang dan hari menjadi lebih panjang, seperti bentangan pantai yang hanya sanggup aku pandang. Sendirian. Bahkan kata-kata yang ditulis pujangga tak mampu menjangkau ujung ke ujungnya. Dan takdir puisi hanya melingkar-lingkar di jantung debar.
Pantai ini masih penuh kekosongan. Tak ada yang menyetubuhi pasirnya selain angin yang terburu-buru.
Perjalananmu yang jauh nan lelah, semoga tiba di dermaga kecil usang. Tapi tenanglah, ujung dermaga terbuat dari kayu-kayu yang setiap waktu kuajari ketabahan menunggu. Ia tidak lapuk.
Ini pantai di mana kau bisa mengubah pasir menjadi desir.
Ini dermaga di mana kau bisa menjatuhkan jangkar dan melabuhkan debar.