Ampas kopi tertinggal dingin. Kesedihan begitu lekat, teramat pekat hingga malam menjadi jauh lebih lama. Ada yang lelap setelah lelah menunggu tanpa kepastian.
Di sisa ampas kopi, baumu menguar berperang antara khas yang memperebutkan udara bagi kemenangan nafasku. Yang pada akhirnya hanya menimbulkan memar di jantung sepiku.
Di sisa ampas kopi, perhatianku luput akan tawa. Tak pula sisa-sisa suara. Bahkan sayup di telingaku hanya dengung.
Di sisa ampas kopi, waktu hanya milikku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar