"Sedang apa kamu di depan kamar ayah, Ru?"
Pertanyaan sederhana yang tentu saja menganggetkan aku, yang sedang mengambil diam mengintip dari celah sempit antara pintu dan kusen yang menempel di dinding. Tubuh kecilku berjingkat, tetapi tetap menjaga hening.
"Ssssttt.. Jangan berisik. Aku sedang mengintip ayah. Aku heran, mengapa kita tidak diperkenankan masuk ke kamarnya."
Damo, saudara kembarku menutup mulutnya lalu buru-buru mengatur tubuhnya yang tak kalah kecil di sampingku. Memicingkan mata, berharap ada sesuatu yang dapat kami tangkap dari dalam kamar ayah yang sungguh rahasia.
Dari sekitar tiga sentimeter celah di pintu ini, aku hanya melihat punggung ayah. Tubuhnya bersimpuh di depan meja rias ibu. Itu saja.
***
"Damo, Neru, ayah hari akan sampai malam kerjanya. Kalian jaga rumah dengan baik, ya. Dan ingat, jangan pernah masuk ke kamar ayah."
Tegas suara lelaki setengah tua di depanku ini, tetapi ada yang membuatku bergidik ketika melihat matanya menyorot tajam saat ia menyebut larangan tentang kamarnya. Aku dan Damo hanya diam sambil menggerak-gerakkan kaki coba meraih satu sama lain meyentuhkan tanda. Kami masih penasaran dan sangat ingin tahu apa yang ada di dalam kamar ayah.
***
"Aku takut, Ru. Aku takut." Suara saudara kembarku bergetar.
"Kan ada aku. Kamu cuma mengikuti di belakangku saja. Kita masuk berdua." Aku sedikit mengeyel dengan wajah melas. Biasanya kembaranku akan luluh jika melihatku demikian.
"Tapi kamu dengar kan kata ayah tadi." Suaranya semakin bergetar, menegaskan ketakutannya.
"Ayolah.. Ya sudah, kita intip saja. Ehm... Kita buka pintunya lebar-lebar, tak usah masuk." Eyelku yang masih penasaran, tapi kasihan melihat saudaraku ketakutan seperti itu.
Damo merunduk di belakangku, memegang erat kaos biru bergambar Ksatria Baja Hitam pahlawan kesukaanku. Badanku condong saat tangan kecilku mulai membuka daun pintu kamar ayah.
Kreeeekkkkk..
Dasar pintu kayu tua, mengagetkan aku saja. Untung ada Ksatria Baja Hitam di dadaku, jantungku dijaga tak lepas dari tempatnya. Huh.
Pintu kamar sudah terbuka lebar, sekarang terpampang ruangan yang cukup gelap meski gorden terbuka dan jendela masih utuh dengan bening kacanya. Seprai di ranjangnya rapi, dan tidak ada debu menempel di lantainya. Meja rias dekat pintu kamar mandi milik ibuku dulu rapi. Cerminnya bersih, memantulkan bayang-bayang lantai dan ranjang berseprai hijau tua kesukaan ibu.
"Eh, itu apa?" Dalam ketakutannya, Damo menunjuk satu benda di atas meja rias. Satu-satunya benda yang terlihat menonjol, meski ukurannya hanya sebesar jempol tanganku.
"Aku tidak tahu, tapi aku mau tahu." Kakiku tiba-tiba saja sudah mengantar tubuhku tepat di depan meja rias. Bahkan sebelum selesai Damo meneriakkan larangannya. "Ini lipstick!"
"Sudah ayo keluar, nanti ayah marah!" Saudaraku ini terlalu penakut, bahkan untuk sesuatu yang bisa dilakukan dengan bebas. Tidak ada ayah, apa yang harus ditakuti.
"Damo, untuk apa ayah menyimpan lipstick ini?"
"Mana aku tahu? Sudah ayo keluar, aku takut ayah marah. Kita sudah melanggar larangan ayah. Aku takut, Neru!" Akhirnya Damo masuk ke kamar larangan ayah dengan langkah terburu dan menyeret tanganku.
"Sebentar, lagi pula ayah masih lama pulangnya. Setahuku, ini adalah lipstick milik ibu dulu. Tapi ibu sudah lama meninggal. Lalu untuk apa?"
"Taruh lipsticknya dan kita keluar. Aku tidak peduli itu lipstick siapa dan untuk apa ayah menaruhnya di meja rias ini. Aku takut ayah marah, Neru."
Kreeeeeekkkk.. Bruuuukkkk..
Pintu lemari ayah tiba-tiba terbuka dan sesuatu jatuh dari sana. Berdebam.
"Apa ituuuuuu?" Damo berteriak dalam kagetnya. Kedua tangannya sudah di tubuhku, erat dipeluknya aku. Dia benar-benar ketakutan.
"Sssstttttt.. Apa itu?" Kagetku tak kalah hebatnya, dalam gemetar aku masih bisa menahan tubuhku yang sekarang jadi tumpuan kami berdua. Dadaku berdetak cepat, melebihi kecepatan laju YZR M1 yang dikendarai Valentino Rossi."Itukan badut."
"Aku tidak mau tahu. Aku hanya mau keluar dari kamar ayah." Damo merengek hampir menangis. Suaranya sudah hampir habis ditelan ketakutannya sendiri.
Badut yang jatuh dari lemari ayah itu berbeda dari badut-badut biasanya. Tidak ada rambut kribo warna-warni. Tidak juga hidung merah bundar seperti yang pernah kulihat di pesta ulang tahun teman sekelasku seminggu lalu. Hanya saja seluruh wajahnya berpulas putih, matanya tertutup seperti tidur, bajunya merah dengan bulatan-bulatan kecil berwarna putih, rambutnya hitam lurus seperti milik ibuku, dan bibirnya merah merona.
Tunggu. Warna merah bibirnya sama dengan warna merah yang pernah kulihat. Sama persis, tapi warna apa? Ah iya, warna lipstick di meja rias tadi. Lalu...
"Neru, bukankah itu tubuh ibu?"
Jantungku seperti berhenti berdetak..
~ PestaNulis1 MEL ~
Minggu, 27 Oktober 2013
Kamis, 24 Oktober 2013
kelak--kita
Kelak
Aku akan jadi tubuh yang melulu rindu kau setubuhi
Menggarap cinta sampai ke puncak-puncaknya
Oleh sebabnya aku hidup sebenar degub
Pelukanku-pelukanmu adalah rumah di jelang pagi kita terengah-engah
dan kalau kau hendak tidur, setelahnya
Aku tak perlu membuka lipatan selimut
Tinggal meringkuk
Saja
Ini bukan sekadar peran
Ini takdir yang akan dikenang kita
Cinta
~ 16.26; Antasena 3 ~
Aku akan jadi tubuh yang melulu rindu kau setubuhi
Menggarap cinta sampai ke puncak-puncaknya
Oleh sebabnya aku hidup sebenar degub
Pelukanku-pelukanmu adalah rumah di jelang pagi kita terengah-engah
dan kalau kau hendak tidur, setelahnya
Aku tak perlu membuka lipatan selimut
Tinggal meringkuk
Saja
Ini bukan sekadar peran
Ini takdir yang akan dikenang kita
Cinta
~ 16.26; Antasena 3 ~
Senin, 21 Oktober 2013
benteng, aku dan kau yang kuadakan di sana
Ada yang terlupa selama aku mencoba melupakanmu
Selama waktu di tubuhku serasa membatu
Selama itu kamu begitu dirawat ingatan
Oleh bebatuan; gerbang di depan rumah kepalaku
Yang pada akhirnya jadi benteng
Benteng
Tempatmu akhirnya diam
Seperti penjajah tertangkap tentara pribumi
Tanpa perlawanan
Di benteng itu, ingatanku duduk menemani kamu
Melamun dan menjaga keberadaanmu yang tak ada. Sebenarnya
Beberapa anganku tertinggal di sana
Melumut bersama batu-batu dan renta waktu
Apa ada yang memelesetkan kaki kembalimu?
~ teras atas, di mana rindu tak berbatas ~
Selama waktu di tubuhku serasa membatu
Selama itu kamu begitu dirawat ingatan
Oleh bebatuan; gerbang di depan rumah kepalaku
Yang pada akhirnya jadi benteng
Benteng
Tempatmu akhirnya diam
Seperti penjajah tertangkap tentara pribumi
Tanpa perlawanan
Di benteng itu, ingatanku duduk menemani kamu
Melamun dan menjaga keberadaanmu yang tak ada. Sebenarnya
Beberapa anganku tertinggal di sana
Melumut bersama batu-batu dan renta waktu
Apa ada yang memelesetkan kaki kembalimu?
~ teras atas, di mana rindu tak berbatas ~
Selasa, 15 Oktober 2013
anggap saja tulisan rindu
dan, begitulah waktu berlalu secepat kedipanmu
Hujan menjatuhi bumi sisa-sisa hari
Meninggalkan lelaki asmara menghitung sendiri tunggu cintanya yang semakin purba
Lelaki asmara. Lelaki penunggu tiba yang menjadi warisannya
Desir di seluruh tubuhnya berlayar menuju laut
Apakah ada, sebuah kembali? dan pantai tubuhnya disandari perahu-perahu kecil bertajuk pulang?
Apakah ada?
Akan tetapi, detik-detik yang berulang di tubuh jam masih teguh tak membawa kembali
Pasir di antara laut dan pantai kosong, tak mampu menukar yang pergi
Dan karang di ujung dermaga memutih, selaras dengan uban di rambutku. Renta oleh waktu, menua sebab tunggu
Tidak ada yang mati, bahkan pancang dermaga. Sebab esok masih akan disampaikan harapan
Karena telinga-telinga alam maha mendengar
Jejak kaki sepanjang pantai, ialah sisa kencan sunyi tak terhapuskan
dan, oranye senja kujadikan benih atas gigih tak terpahami, "Sayang, ucapanku tentang seribu bulan adalah kesetiaan yang patut diaminkan."
~ malam hari di Indrayanti ~
Hujan menjatuhi bumi sisa-sisa hari
Meninggalkan lelaki asmara menghitung sendiri tunggu cintanya yang semakin purba
Lelaki asmara. Lelaki penunggu tiba yang menjadi warisannya
Desir di seluruh tubuhnya berlayar menuju laut
Apakah ada, sebuah kembali? dan pantai tubuhnya disandari perahu-perahu kecil bertajuk pulang?
Apakah ada?
Akan tetapi, detik-detik yang berulang di tubuh jam masih teguh tak membawa kembali
Pasir di antara laut dan pantai kosong, tak mampu menukar yang pergi
Dan karang di ujung dermaga memutih, selaras dengan uban di rambutku. Renta oleh waktu, menua sebab tunggu
Tidak ada yang mati, bahkan pancang dermaga. Sebab esok masih akan disampaikan harapan
Karena telinga-telinga alam maha mendengar
Jejak kaki sepanjang pantai, ialah sisa kencan sunyi tak terhapuskan
dan, oranye senja kujadikan benih atas gigih tak terpahami, "Sayang, ucapanku tentang seribu bulan adalah kesetiaan yang patut diaminkan."
~ malam hari di Indrayanti ~
Jumat, 04 Oktober 2013
cahaya dan suara
Samar cahaya senja mulai menangkapi debu-debu yang garing di penghujung musim kering. Anginpun meniup ringkih, membawa puisi rahasia tentangmu, yang bermata malam.
Sudah lama aku mimpikanmu, ingin menemui dalam matamu. Lalu kutempuhi terowongan waktu -- satu masa tanpa penghuni cahaya, hingga setitik sinar dari dasar puisiku, menjemput kembali pada dadaku yang pagi.
Mimpiku luput lagi memelukimu.
Sejak itu kita yang terbagi, oleh cahaya yang tak sama lagi.
Maka, ketika petang mulai menyala, aku memohon kepada dentang lonceng di ujung menara, supaya suara yang secepat cahaya menjatuhkanmu lagi ke dalam mimpi. Lalu di tiap tidurku yang begitu sunyi lelap, aku menjadi dinding-dinding pendengar paling hebat. Memungutimu yang pecah sebagai bisik-bisik.
Barangkali, mimpi cuma dongeng-dongeng yang penulisnya tak pernah kuketahui, yang ceritanya adalah perjalanan meniti harapan. Atas aku sendiri menuju kamu dalam ketidaktahuanku, hngga suara-suara yang pada akhirnya tiba melewatkan aku ke dalam mimpi atas nama pelukku sendiri.
Sampai akhirnya, cahaya dan suara itu pecah bersamaan di dalam kepalaku yang malam, dan mimpi berhamburan menuju kamu. Mendekat, lelap demi senyap.
(@dzdiazz dan@_bianglala)
Sudah lama aku mimpikanmu, ingin menemui dalam matamu. Lalu kutempuhi terowongan waktu -- satu masa tanpa penghuni cahaya, hingga setitik sinar dari dasar puisiku, menjemput kembali pada dadaku yang pagi.
Mimpiku luput lagi memelukimu.
Sejak itu kita yang terbagi, oleh cahaya yang tak sama lagi.
Maka, ketika petang mulai menyala, aku memohon kepada dentang lonceng di ujung menara, supaya suara yang secepat cahaya menjatuhkanmu lagi ke dalam mimpi. Lalu di tiap tidurku yang begitu sunyi lelap, aku menjadi dinding-dinding pendengar paling hebat. Memungutimu yang pecah sebagai bisik-bisik.
Barangkali, mimpi cuma dongeng-dongeng yang penulisnya tak pernah kuketahui, yang ceritanya adalah perjalanan meniti harapan. Atas aku sendiri menuju kamu dalam ketidaktahuanku, hngga suara-suara yang pada akhirnya tiba melewatkan aku ke dalam mimpi atas nama pelukku sendiri.
Sampai akhirnya, cahaya dan suara itu pecah bersamaan di dalam kepalaku yang malam, dan mimpi berhamburan menuju kamu. Mendekat, lelap demi senyap.
(@dzdiazz dan
Langganan:
Postingan (Atom)