Sore seperti biasa; hujan dan segala kegigilan. Aku memangku rindu dalam lama ingatanku yang remah-remah di sisa roti. Secangkir coklat panas, adalah hangat di langit-langit mulutku sendiri. Sekumpulan awan yang hadir, menyaji ritual rindu paling meyakinkan. Apa benar masih ada kamu, sedang tidak semuanya dadaku mendetak namamu?
Desember memainkan lagunya, melankoli perasaan yang dibumbung gelisah tanpa pertemuan. Detik jam, gurauan angin, nada-nada hujan, ketukan pada aspal jalanan oleh langkah yang kemudian hilang, dan denyut nadiku.
Rambutku basah tempias, kuyup sendiri tak perlu bantuan. Ini ritual kesepian di tradisi rindu. Memohon-mohon pada temu dalam sesajen waktu. Ah, andai bisa kupungkiri setiap adatnya. Biar saja aku jadi pembantah, asal tidak kenyerian ini bergelayut minta dipuja-puja.
Semakin renta menuju senja, geletar petir membangunkan bayang dalam lelap lamun. Ngeri. Disentak kehilangan teramat dalam. Sudahlah cukupi saja. Nyalakan dupa-dupa asa yang sedetik lalu disembur dingin. Rayakan saja debar dada! Rayakan meski tak lagi ada!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar