Hujan masih terlalu gigih.
Jemari-jemari ringkih merunut hari, mencari-curi waktu pagi.
Lengan-lengan hujan itu tak lagi mengusap lembut, tetapi memelukiku rapat dalam kebekuan.
Aku yang menggigil hanya berselimut kain lampin.
Sedang matamu cerlang berjaga di diang api meredup -- tak hendak keluh diucapkan.
"Kak, hujan kapan henti? Aku lelah ditimbuni basah di sini."
-- Korek api kayu kita tinggal sebatang.
Apa perlu kita meminta bantuan kepada bintang? Seperti Balthasar, Melkior, dan Kaspar yang akhirnya bisa sampai di tempat sang raja kudus dilahirkan.
Kau dan aku bisa mengandalkan itu.
Menjadikannya pegangan, selayak gembala yang tinggal di kandang menggiring dombanya ke padang dan mampu kembali membawanya pulang.
"Hujan ini, dik, biarkan terus deras. Sebatang korek apimu simpanlah di bawah palungan tempatmu bersandar. Kita pakai nanti saat lonceng-lonceng bahagia itu menggema di telinga. Ada yang harus bercahaya saat bahagia."
Kau, tidurlah saja.
kaki-kaki mimpimu akan disambut pecah-pecah hujan, dan berjalanlah di sana.
Sekumpulan angin takkan bawaku pergi, takkan membuatku berlari.
Dan doa-doa yang telah kita panjatkan, tadi, akan membawa kita pada tempat yang tak lagi sepi. Pada sebuah hati yang tinggal lebih tinggi dari gunung Sinai
( Kolaborasi dengan @_bianglala )