Hujan baru saja reda. Aku melepas topi dan jaket tipis berwarna hitam dari tubuhku. Mengibas sisa hujan yang sejak setengah jam lalu turut di perjalananku.
Kedai ini nampak begitu sepi, padahal ini sudah pukul 19.03. Hanya ada seorang perempuan, sendirian di meja sebelah meja di mana aku duduk. Persis.
Sengaja kugeser sedikit kursiku ke kanan, supaya jelas kulihat dia. Biar aku merasa berteman, biar aku tak nampak kesepian.
Tapi, apa aku kesepian?
Di depan perempuan itu, di mejanya, hanya ada secangkir teh yang kupikir sudah dingin -- ia meneguk tanpa meniupnya -- dan juga telepon genggam yang beberapa-kali diperiksanya. Lalu raut mukanya berubah kecewa disertai decak kesal di bibir tipisnya.
Oh, mungkin dia menunggu kabar dari kekasihnya. Aku tidak.
"Aku tidak menunggu siapa-siapa," hatiku berujar pelan kepada diriku sendiri.
Kupesan secangkir kopi panas kepada pelayan yang kebetulan lewat di depan mejaku.
"Mas, pesan satu kopi panas dan satu coklat panas, ya. Tolong nanti antar coklat panasnya ke meja perempuan di sebelah saya ini," suaraku pelan untuk dapat didengar dari jarak satu meter.
Kedai masih saja sepi, pesananku datang dua kali lebih cepat dari biasanya. Coklat panas tiba di meja sebelah, setelah kopiku tiba lebih dulu. Sembari menyeruput kopi, kuperhatikan wajah perempuan itu. Raut muka kecewa berubah menjadi raut muka bingung.
Tiga detik kemudian mata kami sudah bertemu. Ia tersenyum. Aku menyelesaikan tegukanku lalu membalasnya. Aku tersenyum.
"Kau menunggu siapa?" pertanyaanku terlalu polos untuk tiba di telinganya.
"Aku menunggu sepi, dan kau malah datang."
Perempuan itu menyambar telepon genggam di mejanya, lalu pergi. Meninggalkan cangkir teh yang sudah dingin dan cangkir coklatnya yang masih mengepul ke dalam sepi. Meninggalkan aku dan kembali mendatangkan sepi.
(#terasatas dan mendung yang tak juga berakhir hujan - 16:47)